Surat-Surat Sang Sufi | Surat Keempat (2/2)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Barangkali engkau akan bertanya, “Bagaimana bisa murid dan guru menjadi orang yang menempuh jalan Sunnah Nabi dan mengikuti apa yang dikehendaki umat beriman ini?” Hubungan timbal balik antara pengajaran seorang guru dan kegiatan belajar seorang murid adalah seperti berikut ini: Sunnah Nabi tentang kegiatan pengkajian murid mengharuskan bahwa, dalam soal-soal kewajiban hukum tertentu, dia mesti menaruh kepercayaan kepada guru yang paling alim dan bertakwa kepada Allah dan bisa dijumpainya. Tentang pengajaran guru, Sunnah Nabi memerintahkan berbuat kebaikan kepada murid, bersikap ramah kepadanya dan guru memberikan pengajaran sejelas mungkin. Malahan dalam soal-soal yang tidak melibatkan dalam syarat-syarat hukum tertentu, Sunnah Nabi mensyaratkan agar guru dan murid memiliki niat yang tulus, agar mereka menghindari tindakan-tindakan terlarang dan tercela, serta agar mereka tidak bersikap terlalu bebas dalam memenuhi syarat-syarat itu, dan mengira bahwa mereka telah mengerjakan amal kebaikan, maka mereka termasuk ahli bid’ah. Pandangan mereka adalah bid’ah juga. Sebab hal itu tidak selaras dengan jalan pendahulu-pendahulu kita dalam agama ini. Sebaliknya, jika mereka mengakui dosa-dosa mereka dan ingin selamat darinya, tapi karena semata-mata tak mampu, maka mereka bukanlah ahli bid’ah. Melainkan hanya orang-orang membangkang yang mengesampingkan perbuatan yang lebih mulia.

Inilah beberapa pelanggaran yang umumnya dilakukan oleh sang murid. Dia mungkin belajar dengan seseorang yang amat suka mempunyai banyak pengikut atau melawan orang yang mempunyai bukti, atau tidak menghapuskan hal-hal tercela dalam kelasnya. Hal-hal tercela ini bisa mencakup fitnah, pertikaian, sok aksi, suka bertengkar, dan berteriak-teriak, baik di dalam masjid atau selama mendengarkan hadis-hadis Nabi Saw. Termasuk juga menentang seorang ulama dengan  cara sangat sengit, menyakiti sesama murid dengan tuduhan palsu, menolak mematuhi pandangan mayoritas orang, melanggar tata krama kesusilaan dan hal-hal yang sejenisnya. Dalam pengertian umum, ini meliputi juga perilaku kasar, yaitu mengusiknya dengan berbagai pertanyaan, atau menentang apa yang dikatakannya, atau menyakiti, dengan kata dan tindakan, mereka yang dekat dengannya di kelas, atau berburuk sangka kepadanya, dan sebagainya.

Adapun guru, dia bisa saja gagal karena menerima murid-murid yang benaknya jelas-jelas dikaruniai niat kotor atau pikiran buruk. Sungguh, kurangnya memperhatikan masalah inilah, persisnya, yang menyebabkan timbulnya banyak kerusakan di zaman kita sekarang. Guru bisa juga melakukan kesalahan, berupa duduk di tempat yang tinggi di atas sahabat-sahabatnya tanpa alasan yang cukup kuat; atau berupa memperturutkan perilaku yang jelek, entah ditujukan kepada guru atau pada murid; kadang-kadang tak bisa berbicara dengan benar, dan bahkan memerintahkan murid keluar meninggalkan kelas; atau berupa mengutamakan orang-orang kaya dan anak-anak yang tempatnya berdekatan dengannya, seraya mengesampingkan orang miskin – suatu tindakan yang sama sekali tidak berkaitan dengan tuntutan agama.

Guru bisa juga berbuat kesalahan, karena tidak memberi nasehat kepada murid di saat yang tepat; atau karena tak bisa menghidupkan kelasnya dengan mengingat Allah (dzikir), membaca ayat-ayat Kitab-Nya dan hadis-hadis Nabi Saw. serta tradisi orang sholeh; atau karena tidak mengucapkan shalawat atas Nabi Saw., atau tidak memohon ampunan dan rahmat Allah serta mencari perlindungan kepada-Nya – sebab kesempurnaan ini jelas-jelas diwajibkan atas semua orang. Sesungguhnya, guru mesti menjadikan semuanya ini sebagai fondasi dalam kelas. Memperhatikannya dan seksama, serta memandangnya sebagai manfaat-manfaat terbesar dalam kelas.

Soal-soal seperti ini menunjukan kewaspadaan qalbu dan kesucian jiwa guru. Jika dia memang memiliki banyak pengetahuan tentang kepastian dan juga memiliki keadaan spiritual kaum sufi dan orang-orang memiliki keberhasilan spiritual, tentu saja dia akan berbicara kepada murid-muridnya tentang pengetahuannya yang sangat berharga ini, sampai mereka bisa memahaminya. Dia tentu akan membiarkan mereka melihat sebagian spiritualnya yang mulia, agar dengan begitu keadaan mereka bertambah kuat. Dia tentu akan menunjukkan kepada mereka hubungan timbal balik antara Hukum Wahyu dan Kebenaran Mistik, serta menjelaskan pemahaman tentang berbagai rahasia jalan yang amat terang, yang ingin mereka ketahui. Dengan perhatian dan cara berbicaranya, guru supaya mencegah murid agar tidak memberikan perhatian pada segala sesuatu yang baru dan berlangsung sekilas. Membantu mereka menyadari dan mewujudkan makna kata-kata Nabi Saw., “Bait paling benar yang pernah dilantunkan penyair adalah: ‘Bukankah segala sesuatu, yang tidak mengundang Tuhan, kosong belaka?”1

Demikianlah jalan leluhur kita yang saleh dalam agama dan nasihat ulama kita yang otoritatif. Siapa saja yang meneladani dan mengikuti mereka, akan beroleh keberhasilan dalam kehidupannya dan kesalehan abadi sebagai hasil akhir dihadapan Tuhannya. Siapa saja yang berpaling dari mengikuti perilaku teladan itu, dan memutuskan tali persahabatan dengan leluhur kita, berarti telah menukar akherat dengan dunia ini (bandingkan dengan QS 2 : 86), dan akan mengundang murka Tuhannya serta akan terkena firman Allah Swt., “Katakanlah: akankah kami beritahu kepadamu orang-orang yang paling merugi amal-amalnya? Mereka itulah orang-orang yang telah sia-sia amal perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka telah berbuat sebaik-baiknya,” (QS 1:103 – 104). Semoga Allah melindungi kita dari hal sedemikian itu.[*]

Catatan:

  1. Nabi mengutip penyair Labib (lahir pada akhir abad keenam, wafat kira-kira 661 M), yang termuda dari tujuh pengubah Mu’allaqat. Penyair pra Islam jarang berbicara tentang Allah; tapi Labid menjadi seorang Muslim, dan meriwayatkan telah meninggalkan puisinya dengan mengatakan, “Allah telah memberiku Al-Qur’an sebagai gantinya.” Bahkan sebelum masuk Islam, dia dan rekan penyairnya Juhayr, sama-sama telah memperlihatkan minat-minat keagamaan dalam puisi mereka (R.A.Nicholson, A Literary History of the Arabs [Cambrige, 1969], hlm. 119). Hadis ini terdapat dalam MM 1000, dan dikutip dalam KL 110 dan 387.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *