SURAT KEEMPAT
Kepada Muhammad Ibn Adibah. Sebuah bab tentang perilaku yang menekuni ilmu-ilmu hukum (fikih), tentang bid’ah, serta berbagai kesalahan yang menjadi tanggung jawab mereka.1
Hendaknya engkau memahami bahwa dewasa ini bid’ah merajalela di kalangan orang-orang seperti ini, dan akibatnya adalah perpecahan serta pengaruh yang membahayakan. Penyebabnya adalah niat buruk metode penyelidikan mereka dan karena mereka tidak mengetahui kegunaan dan penerapan hukum. Kekeliruan niat mereka selalu menjerumuskan mereka ke jurang ketertipuan. Karena tak mengetahui makna hakiki ilmu, qalbu mereka tak memiliki cahaya. Mereka telah menjadi lambang memudarnya penglihatan dan akan menyadari rasa malu mereka ketika relung qalbu mereka diadili. Engkau hanya perlu mengamati tindakan mereka dan memiliki pengetahuan mendalam tentang keadaan spiritual mereka agar engkau meyakini kelogisan dan ketetapan dari apa yang telah aku katakan tentang mereka. Kabar angin tidaklah bisa menggantikan kesaksian. Tak ada sesuatu pun yang bisa memberikan kejelasan, kecuali melihat dengan mata kepala sendiri.
Singkatnya, seseorang yang mengakui ilmu-ilmu ini, dengan maksud jahat dan tipu muslihat dalam qalbunya, akan terpedaya sejak permulaan. Biasanya, orang seperti ini akan mengemukakan berbagai macam penafsiran yang akan bisa diterima, dan dalam proses itu sifat-sifat hawa nafsu tercelanya menjadi bertambah kuat. Keadaan ini tak pelak lagi mengakibatkan timbulnya banyak kemaksiatan dan kemunduran, sementara orang tersebut mengira bahwa Tuhannyalah yang telah memberikan wewenang kepadanya untuk melakukan hal itu!
Andaikan salah seorang faqih ini menekuni pekerjaannya dengan hal-hal yang telah dinyatakannya sebagai niat yang suci. Dia yakin bahwa Tuhannya bakal memberinya ganjaran atas kegiatan pengkajian dan belajarnya. Dia mengira bahwa dia menghabiskan waktunya sebagaimana mestinya, dan bahwa dia terbebas dari motif-motif jahat. Lalu, musuh-terkutuknya menjarah dirinya, mengalahkannya dengan segala macam muslihat dan kebenaran setengah-setengah, membuatnya hanya ingat kepada sifat-sifat mulia orang-orang alim dan status tinggi kaum faqih dan kaum intelektual. Sementara orang yang malang itu tidak menyadari bahwa dirinya telah dikelabui oleh setan. Dia telah terjerumus dalam cengkeraman musuh, menolak hal-hal yang mengikat dirinya dan yang menjadi tanggung jawabnya.
Seorang faqih lainnya mungkin mengawali tugasnya dengan niat baik. Dia bersungguh-sungguh menghindari dosa-dosa ini, menempatkan berbagai masalah pada perspektifnya yang benar, dan terus-menerus mengamati motif-motif dan kecenderungan-kecenderungan jiwa rendah atau hawa nafsunya. Akan tetapi, orang ini tak bisa menemukan seorang pun yang bisa memberinya petunjuk dalam keadaannya sekarang, sehingga dia tetap berada didalamnya; dan keadaan memaksa dia menjalin persahabatan dengan orang-orang yang tidak dikenalnya. Jauh sebelumnya, demam batiniah mulai menjalar dalam dirinya, dan tanda-tanda kemunafikan mulai tampak dalam perilaku lahiriahnya. Kerusakan kalbu telah menggusur ketulusan dan jalan keberhasilan. Kesempurnaan pun menjadi tidak jelas bagi dirinya, “kecuali orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan amat sedikit jumlah mereka ini, “ (QS 38 : 25).
Dari guru umat manusia, Muhammad Saw.,kita dapatkan hadis ini, “Orang paling munafik dikalangan umatku adalah pembaca Al-Quran.”2 Al-Hasan Ibn Abi Al-Hasan mengatakan, “Manakala seseorang berangkat pergi mencari pengetahuan, maka pengetahuan itu akan segera tampak dalam kerendahan hatinya, pakaiannya, pandangannya, ucapannya, gerak-geriknya, shalatnya, petunjuknya, dan kezuhudannya. Jika orang itu mau mencapai pintu gerbang pengetahuan terakhir, dia mestilah bertindak sesuai dengan pengetahuan itu. Segala sesuatunya akan menjadi baik buat dirinya di dunia ini, sejauh hal itu memungkinkan; dan jika tidak di sini, maka dia bisa mengharapkan hal itu dalam kehidupan akhirat nanti.”
Seterusnya, dia mengatakan, “Allah tidak menerima puasa, shalat, pembebasan budak, ibadah haji atau umrah, jihad, zakat atau amal seseorang ahli bid’ah. Sungguh, akan datang masanya ketika orang-orang mencampur-adukkan kebenaran. Jika hal itu terjadi, maka tidak ada sesuatu pun yang berguna, kecuali teriakannya. Seperti teriakan orang yang tenggelam. Karena itu, bantulah dirimu sendiri untuk pengetahuan; akan tetapi, ingatlah bahwa pengetahuan tidak bakal membuat (terhitung sebagai-ed.) amal orang-orang yang mempelajarinya.”3. Al-Hasan, semoga Allah merahmatinya, mengacu di sini kepada pencarian ilmu, ketiadaan pengetahuan spiritual, yang terlihat jelas di zamannya.
Sufyan Al-Tsawri mengatakan, “Berhati-hatilah terhadap banyak bujukan ulama lancung yang suka menipu! dan berhati-hatilah terhadap kerendahan hati orang munafik!”
Malik berkata, “Aku pergi mengunjungi Abd Rahman Ibn Hurmuz. Meski telah melanggar hukum secara sembunyi-sembunyi, dia tetap berbicara tentang hukum-hukum Islam, dan tentang bagaimana dia merasa takut lantaran apa yang telah dia lakukan. Dia banyak sekali menangis.” Malik meneruskan, “Nah Ibn Hurmuz adalah orang yang hendak aku tandingi. Dia tak banyak berbicara, tak banyak menjelaskan pendapat-pendapat hukum, teguh dalam menjalankan ibadah, sangat berhati-hati dalam berbicara, keras dalam berurusan dengan orang lancang, dan salah seorang ahli debat paling pandai.”4
Malik melanjutkan, “Aku pergi mengunjungi Rabi’ah, dan mendapatinya sedang menangis. Lalu aku bertanya kepadanya, ‘Semoga Allah memberimu keberanian, mengapa engkau menangis?’ Dia menjawab, ‘Wahai Malik, orang kafir dan orang terkutuk menjelas-uraikan hukum dan berbicara tentang agama kita!’” dan Malik menyimpulkan, “Rabia’ah benar-benar memahami keadaan kita.”5
Seseorang lainnya mengatakan, “Aku melihat Sufyan Al-Tsauri sedang sedih, lalu aku bertanya kepadanya tentang hal itu. Dia berkata, ‘Kita telah sampai pada soal berurusan dengan anak -anak dunia ini.’ Maka aku bertanya, ‘Bagaimana bisa demikian?’ Dia menjawab salah seorang dari mereka tetap bersama kita, hingga kita memiliki hubungan dengan kita. Kemudian dia pergi untuk menjadi pekerja, orang istana, pemungut pajak. Lalu dia berkata, ‘Al-Tsawri meriwayatkan hadis ini kepadaku…’.”
(bersambung)