(lanjutan)
Manfaat lain dari cahaya itu adalah pengetahuan mendalam sang hamba tentang kekuatan jiwa rendahnya (nafsunya-ed.). Pengetahuan itu membuat semua perilaku congkak dan sombong, entah dalam hubungan dengan Tuhan atau dengan sesama hamba Tuhan. Dengan demikian, sang hamba mempunyai sifat rendah hati, halus, lemah lembut, patuh dan ridha kepada Allah, dan kasih sayang, tidak suka menyakiti orang lain, toleransi saling mengingatkan sesama muslim dengan tulus, mencintai apa yang baik bagi mereka dan membuat mereka bahagia. Singkat kata, sang hamba memimpin dirinya sendiri dengan benar di hadapan Allah Swt. dengan harapan meningkatkan segenap anugerah dari-Nya dan mengurangi kesombongan perilaku dan kebanggaan dirinya. Disadarinya bahwa hanya rahmat dan kebaikan Allah sajalah yang bisa membantu dia, dan satu-satunya tempat pelindung bagi dirinya adalah rahmat dan kebaikan-Nya.
Memohon ampunan Allah dan menerima maaf-Nya adalah keinginan paling utama seorang hamba. Seperti kata seseorang, “Perhatian seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam terpusat hanya pada meminta ampunan.”1 Tentang orang-orang yang sangat ridha kepada-Nya, Allah Swt. berfirman, “banyak Nabi bersama dengan sejumlah besar orang bertakwa berperang. Mereka tidak menjadi lemah lantaran apa yang menimpa diri mereka di Jalan Allah, tidak lesu dan tidak menyerah. Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar,” (QS 3 : 146). Selanjutnya, dia mengatakan, “Dan yang harus mereka katakan adalah: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan berbagai tindakan berlebihan kami,’” (QS 3 : 147).
Dituturkan dalam sebuah kisah tentang bagaimana Ibn Al-Mubarak mendatangi beberapa sahabatnya pada suatu hari dan berkata, “Kemaren aku berlaku lancang kepada Allah SWT. Aku meminta surga kepada-Nya.”2Begitulah keadaan spiritual yang baik dari orang-orang seperti ini, dan sifat-sifat mulia mereka. Allah menghendaki agar kita beroleh manfaat karena menginginkan keadaan dan sifat serupa.
Karena berkah yang aku uraikan itu adalah milikmu, mengapa engkau tidak mengambil manfaat darinya? Mengapa engkau menipu dirimu sendiri tentang semuanya itu, membuang-buang waktu berhargamu dengan menduga-duga Tuhan dan meremehkan apa yang Dia inginkan untukmu, hingga akhirnya engkau berada dalam kondisi yang telah engkau uraikan? Ibn ‘Athaillah berkata, “Orang yang pada saat tertentu menginginkan agar terjadi sesuatu selain apa yang telah ditampakkan Allah saat itu, berarti berpegang kuat pada kebodohan.”3
Karenanya, isilah ingatanmu dengan pikiran-pikiran tentang kekuatan dan kekuasaan Allah. Jadikan caramu memohon ampun sedemikian rupa, sehingga menghilangkan sisa-sisa kotoran yang telah merasuk ke dalam jiwamu, sebagaimana engkau banyak berdoa seperti dilakukan oleh utusan Allah, Yunus a.s., di dalam kegelapan, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sungguh aku termasuk orang yang dzalim,” (QS 21 : 87 – 88). Lalu Allah Swt. berfirman, “Maka kami kabulkan doanya, dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami meyelamatkan orang beriman,” (QS 21 : 87-88). Salah seorang ulama berkata, “Setiap orang beriman yang berdoa seperti Dzun Nun, sesuai dengan firman-Nya, ‘Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang beriman.” 4
Sejauh ini kita telah mengkaji sampai dimana dosa dan keingkaran dalam keadaan spiritualmu. Kini, aku beralih pada kesalahan yang engkau sebutkan, seperti rongrongan hawa nafsu di saat timbul godaan; kegelisahan yang timbul dan berbagai serbuan godaan, kesusahan, dan kegagalan serta tiadanya kesabaran. Semua itu adalah kelemahan-kelemahan yang ada di dalam kemanusiaanmu dan berakar kuat di dalam watak alamiah. Itu semuanya tidak usah disalahkan. Sesungguhnya, dalam keadaan-keadaan tertentu, kelemahan-kelemahan itu memiliki nilai positif selama sang hamba mengakui berbagai kelemahan, kekurangan, kerendahan, kefakiran, dan kebutuhannya. Seperti dikatakan oleh Ibn ‘Athaillah, “Saat terbaikmu adalah saat ketika engkau melihat dengan jelas hakikat kefakiranmu, dan engkau pun lalu pasrah.” Dia juga mengatakan, “Ketika saat-saat sulit datang, para “pencari” menikmati hari perayaan,” sebab mereka mungkin menemukan keberlimpahan di waktu-waktu yang tidak mereka temukan di dalam puasa dan shalat, itulah cara Allah SWT menguji beberapa orang pilihannya.
Sebuah kisah bercerita bagaimana – ketika Abu ‘Utsman Al-Hiri bersama dengan gurunya, Abu Hafsh – dia mengulurkan tangan untuk mengambil kismis. Abu Hafsh memegang kerongkongannya dan mencoba mengocok kismis itu agar keluar darinya. Ketika Abu Hafsh sudah tenang, Abu ‘Utsman berkata, “Wahai guru, aku tahu bahwa hal-hal duniawi ini tidak berarti dalam pandanganmu; karena itu bagaimana engkau begitu marah kepadaku soal kismis itu?” Abu Hafsh menjawab, “Engkau bodoh karena telah menaruh kepercayaan pada qalbu yang tidak diperintah oleh tuannya.”5
Orang lain berkata, “Aku pernah bepergian bersama Al-Khawashsh. Kami berhenti untuk berkemah di bawah sebatang pohon. Kemudian datang seekor singa serta berbaring di situ untuk istirahat. Aku sangat takut. Lalu aku memanjat pohon itu dan berpegangan pada dahan itu sampai fajar tiba karena takut kepada singa itu. Tetapi Al-Khawashsh tidak memperhatikan binatang buas itu. Malam berikutnya kami berhenti untuk beristirahat di sebuah masjid. Al-Khawashsh tertidur; tetapi ketika seekor kutu busuk melintasi wajahnya, dia menginjaknya. Aku berkata, “Sungguh aneh! Kemaren seekor singa tidak membuatmu tersentak ketakutan, malam ini engkau malah takut kepada seekor kutu busuk.” Dia menjawab, “Kemaren aku tidak sadar, malam ini aku kembali sadar. Itulah sebabnya aku takut.”6
(bersambung)