Surat-Surat Sang Sufi | Surat Kedua (6/8)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Selain itu, yang sedang aku bicarakan ini berkaitan dengan sifat-sifat penghambaan. Ia adalah bagian integral dari kedudukan perenungan (musyahadah) tentang Tuhan, karena ia mengajari seseorang bagaimana mesti memimpin diri sendiri dengan benar dihadapan Allah Swt. dengan memusatkan perhatian kepada-Nya. Seseorang yang memiliki sifat-sifat seorang hamba, merasa semua kebutuhannya dipenuhi, seperti ditunjukkan oleh firman Allah Swt. “Bukankah Allah cukup bagi hambaNya?” (QS 39 : 36). Seseorang yang merasa Allah cukup baginya, pasti menjadikan Allah sebagai penyembuh dan pemulihnya.

Akhirnya, kekhawatiran orang yang mengajukan keberatan tentang berkurangnya rasa takut, tidaklah beralasan sama sekali. Perasaan takut yang benar muncul karena pengetahuan mendalam sang hamba tentang bujukan jiwa rendah (nafsu-ed.) nya dan perbuatan dosanya. Seseorang yang memiliki mendalam tentang jiwa rendahnya, melihat bahwa jiwa rendahnya adalah musuhnya yang paling jahat,1 sebab semua bujukannya membuka pintu bagi masuknya akibat-akibat yang membahayakan. Kemudian, orang itu mengundang amarah dan dendam jiwa rendah. Jiwa rendah memperdayakan dirinya dan menyebabkan dia jatuh ke dalam kejahatan yang berkedok kebaikan dan dia pun benar-benar tak menyadarinya. Jiwa rendah tak menjanjikan bantuan, tapi justru meninggalkannya dalam keadaan yang sangat memalukan. Sebab jiwa rendah ingin menyakiti dan menghancurkannya. Adakah musuh yang lebih memusuhi ketimbang ini?

Allah Swt. telah memberitahukan hal itu kepada kita dalam sebuah kalimat yang sangat jelas dan tegas: “Sesungguhnya jiwa rendah (nafsu) menyuruh kepada kejahatan, “(QS 12 : 53). Sifat-sifat jahatnya adalah sedemikian rupa, sehingga seseorang tak bisa membayangkan dirinya dapat terbebas dari sifat-sifat itu kecuali lewat rahmat dan perlindungan Allah Swt. Seperti difirmankan oleh Allah Swt. dalam ayat yang sama, “kecuali bila Tuhanku memberikan rahmat-Nya,” (QS 12 : 53).

Mengingat semuanya ini, mana mungkin seseorang  membayangkan bahwa rasa takut bakal berkurang? Tidak ada alasan bagi kepedulian orang yang berkeberatan. Betul-betul bertentangan rasa takut sangat mungkin bakal bertambah, disebabkan bertambahnya pengetahuan mendalam tentang Kebenaran Mistik. Itulah salah satu rahmat Allah Swt. yang paling besar kepada hamba-Nya: rahmat itu sendiri menjadi sarana untuk menemukan rahmat, terlepas dari hubungan langsung dengan perbuatan sang hamba. Banyak orang melewatkan hal ini begitu saja, dan tidak menikmati manfaat-manfaat yang telah aku uraikan. Diluar manfaat-manfaat yang baru saja disebutkan, berbagai anugerah dan karunia pun bertambah dan meningkat. Seperti dikatakan oleh kaum sufi: “Kedudukan-kedudukan dalam keyakinan sama sekali tidak membatalkan satu sama lain; justru, semuanya itu memperkuat satu sama lain.

Setelah kekaguman dan takut ini sepenuhnya disadari sang hamba, melalui keduanya dia menerima warisan mulia, yang dengan warisan itu Allah Swt. memasukkan cahaya ke dalam qalbunya. Keuntungan segera dari cahaya ini adalah bahwa sang hamba dapat menyadari  kesalahan dan kelemahan tersembunyinya. Cahaya itu menjadi tolak ukur baginya, dan membantunya mematuhi Tuhannya Yang Maha Agung lagi Maha Mulia. Ibn ‘Athaillah berkata, “Cahaya adalah tentara qalbu, persis seperti kegelapan adalah tentara jiwa rendah (nafsu). Karenanya, ketika Allah membantu hamba-Nya, Dia memperkuatnya dengan pasukan cahaya. Juga menyingkirkan darinya kekuatan kegelapan dan segala sesuatu selain Allah.” Ibn ‘Athaillah memandang cahaya sebagai pelindung, senantiasa hadir dan mengawasi sang hamba dalam segala situasi: entah ketika sang hamba patuh, bersemangat, memiliki pengetahuan spiritual dan melihat terus-menerus, atau ketika tidak patuh, sementara jiwa rendah tak mampu membebaskan dirinya dari ketidakpatuhan itu, karena telah dikalahkan dan ditawan. Dengan demikian cenderung kepada ketidakpatuhan, atau dalam kasus-kasus yang lazim atau di mana keinginan menguasai seseorang, sehingga dia tidak dapat menemukan kebahagiaan atau cahaya dalam berbagai anugerah yang diterimanya, tetapi lebih mendapati anugerah itu sebagai pembangkit rasa benci, membebani dan mengganggu.

(bersambung)

Catatan:

  1. Ibn ‘Abbad dengan jelas disini menunjuk pada sebuah hadits: “Musuhmu paling jahat ada diantara kedua sisimu,(MDI 112; KL 12).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *