Surat-Surat Sang Sufi | Surat Kedua (4/8)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Karena itu, ambillah pendekatan positif terhadap kondisi tersebut, yang dengan kondisi tersebut Tuhanmu telah dengan murah hati memberimu pelajaran. Dengan bersyukur kepada Tuhanmu, sibukkan dirimu dengan ridha atasnya dan dengan menginginkannya lagi. Pandanglah kecemasan, kegelisahan, depresi, dan derita sedih apapun yang telah engkau alami sebagai rahmat berlimpah dan hikmah yang luas. Arahkan pikiranmu pada pahala yang diberikan kepadamu berkat penilaian Allah Swt. atas dirimu. Sebuah kisah menceritakan bagaimana seorang Syaikh melihat seorang anak muda memasuki Makkah setelah musim haji berakhir. Anak muda itu putus asa dan sedih seperti kehilangan segalanya. Lalu syaikh itu berkata kepadanya, “Sudah demikian sering aku beribadah haji. Karenanya berikan penderitaan dan kesengsaraan yang engkau pikul padaku, dan aku akan memberikan semua ibadah hajiku kepadamu.1 Yang demikian itu harus membuatmu yakin bahwa Allah, melalui kondisi spiritualmu kini, telah melindungimu dari berbagai marabahaya dan serangan hebat sebagai kecongkakan, keangkuhan dan segala macam kesombongan. Yang juga seperti itu adalah segala sesuatu yang engkau alami, yang mungkin membuat jiwamu gelisah dan hatimu terluka.

Engkau curiga jangan-jangan engkau berada diambang hukuman, yang merupakan keselamatan dan keuntungan bagimu, menurut pendapat kaum sufi terkemuka. Sebab, jika engkau tidak curiga seperti itu, engkau akan seperti orang sakit yang butuh penyembuhan. Seorang pernah berkata kepada Hudzaifah, semoga Allah meridhainya, “Aku takut kalau-kalau aku ini munafik, maka engkau tidak perlu takut kepada kemunafikan.2 Yang paling penting dilakukan seorang pencari adalah memperlihatkan sikap ini, dan bersikap hati-hati kalau-kalau dia memilikinya, yaitu agar dia harus menyucikan amal-amalnya dan berhasil dalam usahanya. Hal itu akan menunjukkan kebaikan niatnya dan ketulusan keinginannya.

Betapa banyak orang yang berusaha beribadah kepada Allah melalui amal-amal kepatuhan lahiriah sambil tetap memperlihatkan keburukan-keburukan seperti keangkuhan, kesombongan, kepongahan, dan – demi usaha itu – terus menyusuri jalan perpisahan dan menjauh dari Allah. Betapa banyak orang yang meninggalkan dan mengingkari dunia ini, sementara orang yang paling hina dan memalukan pun menikmati kedudukan tinggi bersama Tuhannya, ketimbang golongan orang pertama! Sebab, orang yang mengalami kejauhan dalam kedekatan kepada Allah adalah orang yang diberi kedekatan melalui rasa takutnya, dan dengan demikian naik ke tingkat yang tinggi. Sebaliknya, orang yang melihat kedekatan dalam kejauhan, ditipu oleh rasa amannya, dan dengan demikianpun direndahkan kedudukannya.

Seperti dikatakan Ibn ‘Athaillah, “Mungkin saja Dia akan membukakan untukmu pintu kepatuhan tanpa membukakan untukmu pintu penerimaan; atau barangkali Dia akan menetapkan dosa bagimu, sehingga dosa itu menjadi saranamu untuk datang kepada-Nya.” Itulah makna ucapan, “ada banyak dosa yang memberi sang pendosa jalan masuk ke surga.”3 Hah, jika engkau menambahkan pada hal itu persepsimu tentang kesalahan-kesalahan tersembunyi dan tentang apa yang telah disembunyikan jiwa rendahmu darimu dan bentuk nafsu yang bisa mengalahkanmu maka, itulah karunia paling besar. Ia selaras dengan jalan yang ditempuh orang-orang cerdik untuk menggelincirkan musuh-musuh mereka lewat kata-kata mereka sendiri; keadaan ini tak ada bandingannya.

(bersambung)

Catatan:

  1. Ibn ‘Abbad tidak menyebutkan nama Syaikh itu dalam kisah ini, tapi MSM 131 menuturkan kisah yang amat mirip dengan ini, tentang Sufyan Al-Tsawri (715-778M).
  2. Hudzayfah (wafat 656/7M di Madinah) adalah seorang Sahabat Nabi, memegang jabatan-jabatan militer dan pemerintahan, dan seorang ahli tentang kemunafikan. Dia adalah sumber dari banyak hadits (IN 1006; SM 82-83, catatan 251). Anekdot ini terdapat dalam FH 64, di mana Al-Ghazali menyebutkan secara khusus keahlian Hudzayfah dalam mengetahui cara-cara orang munafik.
  3. IAA 124-125, #88. Menurut BW 138-139, Ibn Ajibah (wafat 1809M) mengutip hadits yang sama ini, sebagai komentar atas bait-bait yang sama dari Ibn ‘Athaillah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *