Halaman-halaman berikut ini akan membahas empat segi sejarah spiritualitas Islam, karena berkaitan dengan latar belakang religius Ibn ‘Abbad. Pertama, latar belakang umum sejarah tasawuf sampai abad keempatbelas akan menyoroti beberapa perhatian yang berbeda didalam tradisi itu. Kedua, dengan melihat perkembangan-perkembangan di dalam tasawuf Afrika Utara dan Spanyol, maka kita akan memperoleh konteks bagi segi ketiga, yaitu asal-usul khusus akan dicurahkan kepada pendiri Tarikat Syadziliyah, Abu Hasan Al-Syadzili, dan pada Ibn ‘Athaillah, pemimpin ketiga dari tarikat itu. Sampainya tarikat itu di Maroko, akhirnya akan menggariskan kehidupan Ibn ‘Abbad sendiri.
Paul Nwiya telah mengajukan analisis tiga bagian atas materi ini. (221) Periode pertama, yang oleh Annemarie Schimmel disebut “periode normatif”. (232) Berlangsung dari masa Nabi-atau menggunakan perhitungan Sulami, yaitu lima generasi,” yang dimulai dengan Hasan Al-Bashri (meninggal 728)- sampai sekitar 950.
Kaum sufi paling awal telah berupaya menginteriorisasikan respon mereka kepada Allah, dan memupuk dalam diri mereka sendiri kesadaran yang lebih tajam akan perubahan-perubahan yang ditimbulkan oleh interiorisasi ke dalam maujud-maujud mereka ini. Mereka menggunakan bahasa Al-Quran untuk mengungkapkan penemuan-penemuan baru mereka. Juga mengembangkan “hermeneutic simbolis” (istilah Nwiya) yang berbeda dengan literisme faqih-faqih Sunni. Kaum sufi dan faqih memusatkan perhatian mereka pada Data Wahyu yang sama, tapi mereka menggunakan metode-metode pengungkapan yang berbeda untuk menggambarkan temuan-temuan mereka. Nwiya percaya bahwa temuan utama kaum sufi awal adalah bahwa baik dalam Al-Quran maupun dalam “tanda-tanda” Allah pada ciptaan secara keseluruhan, dapat ditemukan makna batiniah yang implikasi-implikasinya jauh melampaui implikasi-implikasi makna lahiriahnya. (241)
Surat-surat Ibn ‘Abbad menyebutkan sejumlah sufi dari periode normatif, yang kesemuanya diuraikan secara singkat dalam catatan dari terjemahan Surat-Surat ini. Di antaranya adalah: Abu Yazid Al-Bisthami, Bisyr Al-Hafi. Dzun Nun Al-Misrhri, Al-Hallaj, Hasan Al-Bashri, Ibn Khafif, Ibrahim ibn Adham, Al-Junayd, Ibrahim Al-Khawashsh, Al-Muhasibi, Nuri, Ruwaym, Sahl Al-Tustari, Sari Al-Saqathi, Sybli, Summun Al-Muhibb. Tokoh-tokoh yang disebutkan namanya atau dikutip oleh Ibn ‘Abbad dalam surat-suratnya yang diterjemahkan disini, kebanyakan adalah kaum sufi dari periode formatif.
Nwiya menamai dari satu setengah abad dari 950 sampai 1100 periode “penjelasan”. Sedangkan Schimmel menamainya periode “konsolidasi”. (253) Kalau dalam periode pertama kaum sufi mulai meminta agar memperhatikan sisi batiniah pengalaman mereka akan wahyu Allah dan berbagai macam manifestasi pengalaman itu, maka periode kedua menyaksikan pembakuan kosakata dan praktek sufi. Himpunan-himpunan berbagai tulisan, amalan, dan ucapan-ucapan kaum sufi terawal menyebabkan berkembangnya berbagai tipologi pengalaman pribadi dalam agama. “Buku-buku pedoman” itu juga memberikan kepada pembacanya yang lebih luas kekayaan informasi tentang beberapa pribadi Islam yang sangat menarik.
Demikian kemanfaatan orang yang mulai merasa bahwa beberapa sufi sedikit terlalu eksentrik, dengan adanya perilaku dan pernyataan mereka yang kadang-kadang ganjil dan terlihat mendekati pemfitnahan atau pendewaan diri, risalah-risalah yang membela tasawuf mulai bermunculan. Ibn ‘Abbad menyebutkan dua karya semacam itu beberapa kali: Santapan Kalbu (Qut Al-Qulub) oleh Abu Thalib al-Makki (meninggal 996); dan Risalah tentang Tasawuf (Risalah) oleh Al-Qusyairi (meninggal 1072). Meskipun tidak menyebutkan Abu Nashr Al-Sarraj (meninggal 988) dalam Surat-surat ini, dia toh mengutip Namanya (pada saat merujuk ke materi dalam Kitab Al-Luma’) ketika mengulas Kitab Al-Hikam karya Ibn ‘Athaillah. (264) Ini merupakan tiga diantara banyak tulisan yang mendahului karya lain yang sangat mempengaruhi Ibn ‘Abbad, Ihya’ ‘Ulum Al-Din oleh Abu Hamid Al-Ghazali (meninggal 1111). Risalah-risalah mengenai kehidupan ruhani ini mensistematisasikan tipologi-tipologi perkembangan spiritual yang berasal dari mengikuti jalan-jalan yang ditunjuki oleh Allah bagi hamba-hamba-Nya. Begitu disistematisasikan, tipologi-tipologi ini terbuka bagi penyalahgunaan. Bukan menggunakannya sebagai petunjuk-petunjuk umum dan gambaran-gambaran tentang kehidupan spiritual, Sebagian orang malah cenderung menerapkan tingkatan dan kategori ini secara serampangan pada semua pendamba kehidupan spiritual (murid).Namun manfaat melestarikan tradisi sufi yang kaya lebih banyak dari bahaya yang inheren dalam pengkodifikasian pengalaman kehidupan nyata.
Dua kecenderungan muncul pada periode ketiga sejarah tasawuf, sejak dari sekitar 1100 dan seterusnya. Yang pertama, adalah suatu gerakan menuju pelembagaan apa yang telah disistematisasikan dalam risalah-risalah. Yang kedua, adalah kecenderungan untuk melakukan intelektualisasi. Menurut Nwiya, perkembangan tasawuf spekulatif sejak dari akhir abad ke duabelas sampai pertengahan abad ketigabelas benar-benar merupakan kebangkitan kembali tasawuf. Karenanya dia percaya bahwa orang-orang Persia, Suhrawardi Maqtul dari Aleppo (meninggal 1191) dan Ruzbihan Baqli dari Syiraz (meninggal 1209), adalah dari mazhab Magribi Ibn Masarra dari Almeria (meninggal 931), yang diakhiri oleh Ibn ‘Arabi (meninggal 1240). Perjalanan singkat kedua tasawuf spekulatif akan menarik, namun tidak berhubungan langsung dengan studi kita tentang Ibn ‘Abbad yang tidak spekulatif itu. Tak ada seorang pun berpikir dalam masyarakat yang dapat sepenuhnya melepaskan diri dari gelombang arus intelektual yang dahsyat. Namun, untuk saat ini, cukup kalau menyebutkan bahwa Ibn ‘Abbad amat menyadari sisi intelektual tasawuf. Secara eksplisit beberapa kali dia menyebutkan salah seorang pengikut Mahzab Almeria, Ibn Al-‘Arif (1088-1141). (275)
(286)
Pelembagaan tasawuf bisa dikatakan telah menjadi “tentu” ketika kelompok-kelompok yang telah ada secara lebih kurang informal sejak abad kedelapan menjadi cukup besar dan memerlukan tempat yang lebih besar daripada rumah, serta cukup ekslusif karena memerlukan tempat yang lebih khusus daripada masjid. Tanda kedua pelembagaan terlihat ketika ikatan murid dengan sang ahli terjadi berkat hubungan guru-murid dengan perjanjian guru-murid. Ciri ketiga adalah bahwa syarat-syarat bagi anggota, akhirnya dicantumkan dalam “konstitusi” tertulis atau piagam yang berlaku bagi berbagai tarikat.
Sampai separuh terakhir abad kedua belas, kelompok-kelompok sufi masih agak labil. Bangunan-bangunan yang khusus sampai saat itu berfungsi sebagai persinggahan sufi-sufi pengembara, lambat laun digunakan sebagai tempat tinggal permanen. Guru-guru spiritual menghubungkan diri dengan tempat tertentu. Ketika reputasi mereka tersebar luar, kaum sufi dari tempat lain berdatangan untuk mengungkapkan niat mereka mengikuti disiplin ketat di bawah bimbingan sang syaikh. J.S. Trimingham menerangkan hubungan antara arsitektur dan pelembagaan dalam tasawuf. Nama dua orang yang berhubungan dengan pendirian dua tarikat paling awal yang dilembagakan secara formal, perlu disebutkan di sini.
‘Abd Al-Qadir Al-Jailani (1088-1166), yang terkenal sebagai “syaikh dari Timur”, sering dipercaya sebagai pendiri tarikat sufi pertama. “Leluhur Pendiri” mungkin merupakan istilah yang lebih tepat ketimbang pendiri. Pada akhir abad keduabelas, tarikat Qadariyah berhasil mengembangkan sayapnya sampai Maroko. (297) Syihab Al-Din Abu Hafs ‘Umar Al-Suhrawardi (1145-1234) adalah orang kedua. Dia menulis Manfaat Pengetahuan Mendalam (‘Awarif Al-Ma’arif), sebuah karya yang sangat dianjurkan oleh Ibn ’Abbad. Dia adalah kemenakan ‘Abd Al-Qahir Al-Suhrawadi (meninggal 1168), yang pada umumnya dianggap sebagai pendiri tarikat Suhrawardiyah. Meskipun tarikat sang paham ini tidak begitu popular di daerah Ibn ‘Abbad. Toh tulisan sang kemenakan ini mendapat tempat terhormat dalam nasihat Ibn ‘Abbad untuk seorang sahabat yang sedang mencari bacaan bermanfaat tentang tasawuf. (308)
Pada umumnya tasawuf berkembang di tiga daerah geografis yang terpisah. Masing-masing memiliki citarasanya tersendiri. Ketiga daerah itu adalah Irak, Khurasan, atau Asia Tengah, dan Maghrib. Tasawuf Irak sering dihubungkan dengan semangat “shahw” (tidak mabuk, lawan dari “sukr”-penerj.) Junayd Al-Baghdadi (meninggal 910); tasawuf Khurasan dikaitkan dengan semangat sukr (mabuk) Abu Yazid Al-Bisthami (meninggal 874). Trimingham selanjutnya mencirikan dengan: selamat/curiga, konfirmis/menerangi, teis/monis, yang didasarkan pada kepercayaan/kesalahan, menganjurkan persahabatan/penyendirian, yang dibimbing oleh syaikh duniawi/syaikh ruhani. (319) Tasawuf Maghribi (wilayah Barat) mendapatkan perhatian yang jauh kurang ilmiah ketimbang tasawuf Irak atau Khurasan, barangkali karena kaum sufi Maghrib sedikit sumbangannya kepada tasawuf selama periode formatif dan konsilidasi. Lagi pula, perkembangan Maghrib selama ketiga fase ketiga sejarah tasawuf hampir tidak pernah keluar Spanyol dan Afrika Utara. Begitu tasawuf mapan di Maghrib, pada saat itu pula berkembang sampai ke timur selama hampir empat abad. (bersambung)