Hati Senang

Suluk dalam Pandangan Ibnu Taimiyah – Unsur-unsur Tarekat – Sabil-us-Salikin

Sabīl-us-Sālikīn – Jalan Para Sālik Ensiklopedi Tharīqah/Tashawwuf   Tim Penyusun: Santri Mbah KH. Munawir Kertosono Nganjuk Santri KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan   Penerbit: Pondok Pesantren NGALAH

Sulūk dalam Pandangan Ibnu Taimiyah

 

Ibnu Taimiyah yang selama ini dituding sebagai anti tharīqah ternyata justru sangat mendukung sulūk sebagai unsur fundamental dalam tharīqah. Dalam kaitan ini ia menegaskan dalam Majmū‘ al-Fatāwā-nya: “Sulūk adalah menempuh jalan yang diperintahkan Allāh dan Rasūl-Nya berupa realisasi akidah, ibadah, dan akhlak”.

Semua ini sangat jelas dalam ibadah al-Qur’ān dan Sunnah, karena sulūk menempati posisi makanan yang merupakan keharusan bagi orang mu’min. Oleh karena itu, semua sahabat mengenal sulūk dengan petunjuk al-Qur’ān dan Sunnah dan sekaligus dari penyampaian Rasūl sendiri; mereka dalam hal itu tidak membutuhkan ahli-ahli fiqih dari kalangan sahabat, dan mereka pun dalam hal itu tidak pernah saling bertentangan satu sama lain, sebagaimana mereka saling bertentangan dalam kasus-kasus fiqih yang pengetahuan tentang kasus-kasus ini tertutup bagi kebanyakan sahabat, sehingga mereka berbicara dalam fatwa-fatwa yang diminta oleh suatu kelompok dalam kasus-kasus itu.

Adapun (suluk) yang dilakukan oleh orang yang hendak mendekatkan diri kepada Allāh s.w.t. dengan mengintensifkan ibadah yang diwajibkan dan ibadah yang disunnahkan, maka masing-masing dari mereka berpedoman kepada al-Qur’ān dan Sunnah, dan jika salah seorang dari mereka dalam hal itu berbicara dengan perkataan yang tidak ia sandarkan kepada dirinya sendiri, maka perkataan itu atau maknanya disandarkan kepada Allāh dan Rasūl-Nya. Kadang-kadang di antara mereka ada yang mengucapkan kata-kata hikmah, dan hal itu ternyata berasal dari Nabi s.a.w. sendiri. Ini sama dengan kata-kata hikmah, yang dikatakan orang dalam menafsirkan firman Allāh nūrun ‘alā nūrin (cahaya di atas cahaya), (Majmū’ al-Fatāwā, juz 19, halaman: 273).

Lebih jauh Ibn Taimiyah menegaskan bahwa masalah sulūk merupakan bagian dari masalah akidah yang semuanya ditetapkan dalam al-Qur’ān dan Sunnah sehingga tidak layak dipertentangkan: “Masalah sulūk merupakan salah satu jenis masalah akidah; semuanya ditetapkan dalam al-Qur’ān dan Sunnah. Mereka (para sahabat) tidak pernah saling bertentangan dalam masalah akidah dan tidak pula dalam masalah tharīqah (jalan) menuju Allāh yang dengannya seseorang dapat menjadi salah seorang wali dari wali-wali Allāh yang abrār “bebas dari noda durhaka” dan muqarrabīn, “didekatkan kepada Allāh”.

Oleh karena itu, syaikh-syaikh tharīqah sufi jika memerlukan rujukan dalam perkara-perkara syariat seperti yang berkenaan dengan nikah, warisan, bersuci, sujud sahwi, dan yang semacamnya, akan mengikuti (taqlīd) ahli-ahli fiqih…berijtihad. Dan barang siapa di antara mereka mengikuti Rasūl, maka ia benar, dan barang siapa menyimpang dari Rasūl, maka ia salah”. (Majmū’ al-Fatāwā, juz 19, halaman: 274).

Jadi, dalam pandangan Ibn Taimiyah, sebuah pandangan yang sangat ideal, sulūk merupakan masalah akidah sehingga tidak dapat didekati dengan pendekatan fikih, atau merupakan realisasi konkret dari tashawwuf yang oleh Imām Muḥammad Ibn Aḥmad bin Jazī al-Kalabī al-Gharnathī disebut sebagai fikih batin, (al-Qawānin al-Fiqhiyyah li Ibn Jazī, halaman: 277).

Hal-hal yang berkenaan dengan sulūk semuanya didasarkan pada al-Qur’ān dan Sunnah. Khalwat Nabi s.a.w. di Gua Ḥirā’, khususnya, menjadi rujukan utama bagi para sālik sebagaimana ditegaskan juga oleh Buya Hamka ketika ia mengatakan: “Maka kaum Shūfiyyah yang menyucikan dirinya dalam khalwatnya itu, pun mengambillah contoh teladan atas amal-amal mereka dalam khalwat, sulūk dan tharīqah, dan bermacam-macam sistem yang lain: khalawat dan tahannuts Nabi di Gua Ḥirā’, sampai terbuka hijab keghaiban oleh kemurnian jiwa”, (Tashawwuf, Perkembangan dan Pemurniannya, halaman: 23).

Melalui sulūk yang memenuhi syarat dan rukunnya, seseorang dengan idzin Tuhannya akan mencapai tauhid yang murni atau “mengalami” Allāh s.w.t. secara ḥaqq al-Yaqīn (keyakinan yang hak yang tidak bercampur dengan keraguan sedikit pun), sehingga tidak lagi memerlukan argumentasi-argumentasi logis mengenai keberadaan dan keesaan-Nya. Ia sudah mendapatkan pancaran cahaya langsung dari Allāh s.w.t. sehingga ia pun berjalan di muka bumi bagaikan pelita yang menerangi sekelilingnya.

Pelita mereka berasal dari nūrun ‘alā nūrin (cahaya di atas cahaya). Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah sambil mengutip firman Allāh s.w.t. dalam ayat ke 35 dari surah an-Nūr menggambarkan dengan ungkapan: “Lampu-lampu seseorang yang ‘mengalami’ Allāh s.w.t. secara taḥqīq (muwaḥḥid) dan yang berjalan (sālik) di atas jalan dan tharīqah Rasūl menyala dan bersinar dari pohon yang diberkati. Pohon zaitun yang tidak tumbuh di Timur dan tidak pula di Barat, yang minyaknya sudah hampir bisa menerangi tidak disentuh api. Nūrun ‘alā nūrin, Allāh membimbing kepada cahaya-Nya orang-orang yang dikehendaki-Nya, dan Allāh s.w.t. membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia”. (Madārij al-Sālikīn, juz 3, halaman: 98).

Sulūk, Realisasi Khalwat, ‘Uzlah, dan I‘tikāf

Dalam tharīqah sufi suluk dipahami dan diwujudkan dalam bentuk khalwat dan ‘uzlah, yaitu mengasingkan diri selama jangka waktu tertentu (10, 20, atau 40 hari) di sebuah tempat yang bebas dari kebisingan dan hiruk pikuk duniawi.

Teladan yang diambil oleh para sālik dalam hal ini seperti ditegaskan Buya Hamka adalah kegemaran Nabi melakukan khalwat dan taḥannuts di Gua Ḥirā’. Imām al-Bukhārī dan Muslim serta beberapa imam Hadits lainnya meriwayatkan sebuah Hadits bahwa Umm al-Mu’minin ‘Ā’isyah r.a. berkata:

ثُمَّ حُبِّبَ إِلَيْهِ الْخَلَاءُ فَكَانَ يَخْلُوْ بِغَارِ حِرَاءٍ فَيَتَحَنَّثُ فِيْهِ وَ هُوَ التَّعَبُّدُ اللَّيَالِىَ، (سنن الكبرى للبيهقى، ج 9، ص: 6).

Nabi digemarkan oleh Allāh untuk melakukan khalwat, beliau selalu berkhalwat di Gua Ḥirā’ dan melakukan taḥannuts di sana, yaitu beribadah selama beberapa malam tertentu.” (Sunan al-Kubrā lil-Baihaqī, juz 9, halaman: 6).

Para sufi melakukan sulūk di masjid-masjid atau surau-surau yang oleh al-Qur’ān disebut sebagai rumah-rumah yang diidzinkan Allāh s.w.t. untuk dimuliakan dan dijadikan tempat berdzikir menyebut Asmā’-Nya:

فِيْ بُيُوْتٍ أَذِنَ اللهُ أَنْ تُرْفَعَ وَ يُذْكَرَ فِيْهَا اسْمُهُ يُسَبِّحُ لَهُ فِيْهَا بِالْغُدُوِّ وَ الْآصَالِ ﴿٣٦﴾

Bertasbih kepada Allāh di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang.” (al-Nūr, 24:36).

Rumah-rumah semacam inilah yang oleh para sālik dijadikan tempat khalwat dan ‘uzlah; mereka menetap di situ selama beberapa hari untuk melakukan ibadah dan dzikir secara intensif. Dengan demikian, tidak mengherankan apabila sulūk mereka disebut juga dengan I‘tikāf yang dari segi bahasa bermakna berdiam di sebuah tempat selama jangka waktu tertentu.

Dalam kasus ini para sālik merujuk kepada I‘tikāf Nabi s.a.w. selama sepuluh hari dalam bulan Ramadhān. Dalam Shaḥīḥ al-Bukhārī disebutkan bahwa ‘Ā’isyah r.a. berkata:

أن النبي صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ

Nabi s.a.w. selalu I‘tikāf selama sepuluh hari terakhir dari bulan-bulan Ramadhān sampai Allāh mewafatkan beliau.” (Shaḥīḥ Muslim, juz 2, halaman: 830).

Dan satu yang barangkali penting digarisbawahi di sini adalah bahwa I‘tikāf pada dasarnya merupakan ibadah tersendiri; artinya tidak harus terkait dengan keharusan berpuasa dan tidak harus pula terkait dengan bulan Ramadhān. Imām al-Ḥākim dan al-Baihaqī meriwayatkan dari Ibn ‘Abbās bahwa Nabi s.a.w. bersabda:

لَيْسَ عَلَى الْمُعْتَكِفِ صِيَامٌ إِلَّا أَنْ يَجْعَلَهُ عَلَى نَفْسِهِ (هذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحُ الْإِسْنَادِ، المستدرك، ج 1، ص: 439)

Tidak ada keharusan berpuasa atas orang yang beri‘tikāf kecuali ia menetapkan puasa itu untuk dirinya sendiri. (al-Mustadrak, juz 1, halaman: 439).

Imām al-Baihaqī dan beberapa Imām Hadits lainnya meriwayatkan dari ‘Ā’isyah r.a. bahwa ia berkata: “Nabi s.a.w. pernah melakukan I‘tikāf selama sepuluh hari pertama bulan Syawwāl”.

وَ وَاعَدْنَا مُوْسَى ثَلَاثِيْنَ لَيْلَةً وَ أَتْمَمْنَاهَا بِعَشْرٍ فَتَمَّ مِيْقَاتُ رَبِّهِ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً ….﴿١٤٢﴾

Dan telah Kami janjikan kepada Mūsā (memberikan Taurāt) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi), maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam.” (Q.S al-A‘rāf: 142).

Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah mengutip pendapat ‘ulamā’ yang mendukung keabsahan I‘tikāf sebagai ibadah yang mandiri ketika ia mengatakan: “I‘tikāf merupakan ibadah yang berdiri sendiri, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam i‘tikāf sebagaimana halnya ibadah-ibadah lainnya seperti haji, salat, jihad dan ribāth (merabit); i‘tikāf adalah menetap di suatu tempat tertentu untuk melakukan ketaatan kepada Allāh ta‘ālā, sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam i‘tikāf sebagaimana halnya ribāth (merabit); dan i‘tikāf merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allāh) itu sendiri sehingga puasa tidak menjadi syarat dalam i‘tikāf sebagaimana halnya haji”. (Ḥāsyiyah Ibn al-Qayyim, juz 7, halaman: 106).

Satu hal yang pasti adalah bahwa sulūk yang dilakukan dengan ikhlas semata-mata mencari ridhā Allāh s.w.t. akan melahirkan manusia baru, yang dari dalam hatinya memancar mata air dan sumber-sumber hikmah yang kemudian mengalir pada lisannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Nabi s.a.w.:

أبو هريرة رضي الله عنه: قال: قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم: مَنْ أَخْلَصَ للهَ أَرْبَعِيْنَ يَوْمًا ظَهَرَتْ يَنَابِيْعُ الْحِكْمَةَ مِنْ قَلْبِهِ عَلَى لِسَانِهِ. (أخرجه رزين، جامع الأصول فى أحادث الرسول، ج 11، ص: 557، عوارف المعارف، ص: 255)

Barang siapa mengikhlaskan dirinya selama empat puluh hari, keluarlah dari qalbunya memancar sumber-sumber hikmah yang mengalir pada lisannya.(Jāmi’ Ushūl fī Aḥādits ar-Rasūl, juz 11, halaman: 557; ‘Awārif al-Ma’ārif, halaman: 255).

Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa sulūk dapat membidani kelahiran manusia baru yang utuh sehingga layak dijadikan sarana pembangunan manusia seutuhnya, pembangunan yang selama ini lebih banyak menjadi slogan daripada kenyataan.

Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.