20
Shalat adalah tempat munājat dan tambang pembersihan. Di dalamnya terbentang hamparan rahasia dan kilauan cahaya. Bila engkau ingin mengenali dirimu, itu bisa dilakukan lewat shalat. Ukurlah ia dengan timbangannya. Kalau tidak mengarah pada hal-hal yang bersifat duniawi berarti engkau bahagia. Namun, jika yang terjadi sebaliknya, tangisilah dirimu. Jika kakimu masih sulit untuk dilangkahkan menuju shalat, berarti engkau belum mengetahui rahasia shalat. Pernahkah engkau saksikan ada seseorang yang tidak ingin berjumpa dengan kekasihnya?
Allah berfirman: “Sungguh shalat bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (al-‘Ankabūt [20]: 45). Oleh karena itu, shalat yang tidak mencegah pelakunya dari perbuatan keji dan munkar tidak disebut shalat dan tidak bernilai di sisi Allah. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Siapa yang shalatnya tidak mencegah orang tersebut dari perbuatan keji dan mungkar, shalatnya itu bukanlah disebut shalat.”
Engkau baru saja menunaikan shalat dan bermunājat kepada Allah dengan berkata: “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta.” Lalu engkau juga memberi salām kepada Nabi s.a.w. dengan mengucapkan: “Salām sejahtera, rahmat, dan keberkahan semoga tercurah kepadamu wahai Nabi.” Semua itu kau lakukan dalam shalat. Tetapi, sayang sekali, engkau kemudian kembali kepada dosa setelah Allah memberimu nikmat ibadah.
Siapa yang ingin mengetahui jati dirinya yang sebenarnya di sisi Allah, hendaknya mencermati shalat yang ia lakukan. Apakah ia melakukan shalat tersebut dengan khusyū‘ dan tenang, atau dengan lalai dan tergesa-gesa. Jika yang terakhir yang kau lakukan, sesalilah dirimu. Orang yang duduk dengan pemilik minyak kesturi, ia juga akan mendapat aroma wanginya. Dalam shalat sebenarnya kita sedang duduk bersama Allah. Bika engkau duduk bersama-Nya, tetapi tidak mendapat apa-apa dari-Nya, itu menunjukkan ada penyakit dalam qalbumu. Bisa berupa sifat sombong atau tidak kenal etika. Allah berfirman: “Akan Aku palingkan dari ayat-ayat Kami orang-orang yang bersikap sombong di muka bumi secara tidak benar.” (al-A‘rāf [7]: 146).
Tidak semestinya orang yang shalat tergesa-gesa untuk keluar dari masjid. Namun, selepas shalat tersebut hendaknya ia berdzikir seraya beristighfār atas segala kekurangannya. Barangkali shalatnya tidak layak diterima, namun setelah istighfār akhirnya diterima juga.
Rasūlullāh s.a.w. sendiri, sehabis shalat biasa membaca istighfār sebanyak tiga kali. Diriwayatkan bahwa Tsaubān r.a. berkata: “Apabila Rasūlullāh s.a.w. selesai shalat, beliau membaca istighfār sebanyak tiga kali dan berdoa:
اللهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَ مِنْكَ السَّلاَمُ، تَبَارَكْتَ يَا ذَا الْجَلاَلِ وَ الْإِكْرَامِ
“Ya Allah, Engkaulah (Pemberi) Keselamatan, dan dari-Mu keselamatan berasal. Maha Suci Engkau wahai Dzāt Yang Agung dan Mulia.” (H.R. Muslim).
Orang yang menunaikan shalat dengan qalbu yang tidak tumakninah dan khusyū‘, serta tidak dengan perenungan, seperti orang yang memberikan seratus peti kosong kepada raja. Ia pantas mendapatkan hukuman atas tindakannya itu. Selain itu, sang Raja pun akan
Orang yang duduk dengan pemilik minyak kesturi, ia juga akan mendapat aroma wanginya. Dalam shalat sebenarnya kita sedang duduk bersama Allah. Bila engkau duduk bersama-Nya, tetapi tidak mendapat apa-apa dari-Nya, itu menunjukkan ada penyakit dalam qalbumu.
terus mengingatnya sebagai orang yang tidak sadar dan kurang perhatian.
Sebaliknya, orang yang menunaikan shalat dengan qalbu tenang dan khusyū‘ seperti orang yang mempersembahkan mutiara berharga senilai seribu dinar kepada raja. Tentu saja sang raja merasa senang, ia akan membalas dan senantiasa mengingat orang tadi sebagai orang yang pintar dan penuh perhatian.
Wahai hamba Allah, saat melaksanakan shalat, ingatlah bahwa sebenarnya engkau sedang berdialog dengan Tuhan dan berbicara dengan Rasūlullāh s.a.w. Sebab, dalam shalat kau berucap: “Salam sejahtera, rahmat, dan keberkahan semoga tercurah kepadamu, wahai Nabi.” Lalu ingatlah selalu keagungannya.
Wahai manusia, untuk tubuhmu kau pilih makanan yang enak-enak, bahkan untuk binatang tungganganmu kau beri makanan yang baik. Lalu, mengapa engkau perlakukan Allah dengan buruk dan kasar? Barangkali engkau akan membolak-balik dua puluh semangka yang ada untuk dipilih satu saja yang layak dimakan. Setalah itu, engkau pun mulai makan semangka tersebut, kau masukkan ia ke dalam perut sambil duduk melonjor dengan berlama-lama dan tenang. Tetapi, anehnya mengapa engkau mengerjakan shalat seperti ayam yang sedang mematuk-matuk?
Berbagai bisikan bertengger di benakmu dan beragam pikiran buruk melintas ketika shalat. Kemudian kau sudahi shalat dengan cepat tanpa ingat lagi, apakah sudah tiga raka‘at atau empat raka‘at. Orang yang demikian seperti orang yang menempatkan dirinya sebagai sasaran tembak dan tikaman tombak. Ia duduk dengan panah-panah mengarah padanya dari seluruh penjuru. Bukankah ia bodoh?
Jika engkau ingin mengetahui bagaimana nanti akan melintasi ash-shirāth pada hari kiamat, perhatikan kondisimu ketika pergi ke masjid untuk shalat. Imbalan bagi orang yang datang ke masjid sebelum adzan ia akan bisa melintasi shirath seperti kilat, orang yang datang di awal waktu ia akan melintasi shirāth seperti kuda tangkas terbaik, sementara orang yang datang terlambat karena malas, ia akan melintas pelan di atas shirāth dengan api yang membakar.
Di sini ada shirāth istiqāmah yang tak bisa dilihat oleh mata biasa. Tetapi, ia hanya bisa dilihat oleh qalbu yang bersinar dan mata bāthin yang bersih. Allah berfirman: “Ini adalah jalanku yang lurus, maka ikutilah ia.” (al-An‘ām [6]: 153). Tentu saja, Tuhan tidak menunjuk dengan kata “ini” kecuali pada sesuatu yang memang ada. Apabila jalan orang tersebut tenang, ia akan bisa mengikutinya. Tetapi, apabila jalan tersebut gelap ia takkan bisa melihat dan tak bisa berjalan di atasnya sehingga tetap diam di tempat dalam keadaan bingung.
Abū Hurairah meriwayatkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Kaum muslim yang fakir lebih dulu masuk ke surga setengah hari sebelum yang kaya. Yakni, seukuran lima ratus tahun.” (H.R. at-Tirmidzī. Menurut hadits tersebut ḥasan shaḥīḥ).
Sebabnya, mereka di dunia ini lebih cekatan dalam beribadah. Mereka menjaga shalat Jum‘at dan shalat berjamā‘ah. Sedangkan engkau tidak melakukan shalat berjamā‘ah di masjid, tetapi shalat sendirian saja. Di samping itu, shalat tersebut dilakukan seperti ayam mematuk. Lalu engkau berharap shalatmu diterima dan diberi ganjaran sempurna seperti yang lain.
Apa yang dihadiahkan kepada raja biasanya barang yang bagus, pilihan, dan istimewa. Para fakir miskin itu masuk terlebih dahulu ke dalam surga, karena selama di dunia, mereka cekatan dalam beribadah kepada Allah. Yang dimaksud dengan fakir miskin di sini adalah mereka yang sabar dan qanā‘ah (merasa cukup). Mereka bersabar dengan kemiskinan yang ada dan menghadapi berbagai kesulitan hidup dengan tabah, kuat, ridha, dan mengharap balasan-Nya. sampai-sampai ada di antara mereka yang bergembira manakala menghadapi kesulitan seperti gembiranya engkau kalau mendapat kenikmatan. Masuknya para fakir miskin ke surga sebagai pertanda bahwa mereka qanā‘ah dan ridha terhadap kondisi yang ada.
Wahai saudaraku, dua raka‘at yang kau lakukan di malam hari lebih baik daripada seribu raka‘at yang kau lakukan di siang hari. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Hendaknya kalian melaksanakan shalat malam. Ia merupakan kebiasaan orang-orang saleh di antara kalian. Selain itu, ia merupakan bentuk pendekatan diri kepada Tuhan, penebus dosa, dan pencegah keburukan.” (H.R. Muslim). Shalat dua raka‘at yang kau lakukan di malam hari hanyalah agar engkau mendapat balasannya nanti dalam timbangan ‘amalmu di hari kiamat.
Bukankah engkau membeli seorang budak atau pelayan untuk mengabdi. Pernahkan kau saksikan seorang budak dibeli hanya untuk makan dan tidur? Engkau hanyalah seorang hamba yang Allah ciptakan untuk beribadah dan taat kepada-Nya. Dia membelimu agar engkau mengabdi untuk-Nya. Allah berfirman: “Tidaklah Aku ciptakan jinn dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezeki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak meminta mereka memberi-Ku makan. Sesungguhnya Allah Yang Maha Pemberi rezeki, Yang Mempunyai kekuatan, lagi Yang Sangat Kukuh.” (adz-Dzāriyāt [51]: 56-58). Allah juga berfirman: “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (at-Taubah [9]: 111).
Suatu ketika Syaikh Abul-Ḥasan asy-Syādzilī r.a. didatangi oleh beberapa fukaha yang berasal dari kota Iskandariah untuk mengetahui kealiman beliau. Beliau tatap mereka semua sambil bertanya: “Wahai para fuqahā’, apakah kalian sudah shalat?” Dengan tegas mereka menjawab: “Apakah ada di antara kami yang tidak shalat?” Beliau menegaskan: “Allah berfirman: “Sesungguhnya manusia diciptakan dalam keadaan keluh-kesah. Kalau ditimpa musibah ia gelisah, kalau mendapat kebaikan dia amat kikir. Kecuali orang-orang yang shalat.” (al-Ma‘ārij [70]: 19-22). Apakah kalian demikian? Yakni, jika ditimpa musibah kalian gelisah dan jika mendapat kebaikan kalian kikir.” Mereka pun diam. Akhirnya beliau meneruskan: “Kalau begitu kalian masih belum shalat.”