Shalat Orang Yang Khusyuk – Sayyid Abdul Husain Dastghaib – Pendahuluan (2/8)

Shalat Orang Yang Khusyuk
Sayyid Abdul Husain Dastghaib
Penerjemah & Editor : Irwan Kurniawan
Penerbit : Yayasan Bahtera Cinta Al Musthofa

(lanjutan)

Demikian pula halnya dengan manusia. Ia mempunyai kesempurnaan dalam dirinya yang tidak terdapat pada makhluk yang lain, yaitu akal atau pikiran yang diberikan Allah kepadanya agar dengannya ia dapat belajar tentang Tuhannya, memahami keajaiban ciptaan-Nya, membebaskan diri dari kungkungan syahwat dan amarah, serta mempersiapkan segala hal yang diperlukan untuk perjalanannya menuju akhirat.

KELALAIAN ADALAH PENYEBABNYA

Adapun cacat yang fatal dalam menuju kesempurnaan terletak pada kelupaan dan kelalaian manusia terhadap kenyataan bahwa ia diciptakan untuk hal lain. Oleh karena itu, ia harus mengetahui awal penciptaan dan tempat kembalinya. Disebabkan seseorang lupa dan lalai terhadap kehidupan akhirat, ia membayangkan bahwa dirinya adalah seperti hewan lain yang perhatiannya hanyalah pada makan, minum, tidur, dan bersanggama, serta memenuhi segala hal yang diperlukan untuknya. Keadaannya seperti binatang. Atau, ia menghabiskan hidupnya dengan berusaha menaklukkan orang lain dan merampas hak-haknya, sehingga ia menjadi seperti binatang buas.

Dengan makan, minum, tidur, bersanggama, dan memenuhi segala hal yang diperlukan untuk itu semua, tujuan utamanya adalah untuk memenuhi kebutuhan biologis dan keperluan fisik. Itu bukanlah tujuan dasar manusia, yakni bahwa manusia tidak diciptakan untuk makan, tidur, dan bersanggama. Itu hanyalah hal-hal yang diperlukan bagi tubuh dan kelangsungan hidupnya. Hal-hal ini harus diperoleh sejauh diperlukan dan seperlunya. Seseorang tidak boleh mencurahkan seluruh perhatian dan kehidupannya pada hal-hal materi seperti ini.

Malanglah orang yang lupa akan kebutuhan dirinya, dan lalai untuk mencapai kesempurnaannya. Ia akan ditimpa penyesalan pada hari dia terbangun dari kemabukan dan kegilaannya. Allah Swt berfirman:

وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْحَسْرَةِ إِذْ قُضِيَ الْأَمْرُ

Berilah mereka peringatan tentang hari penyesalan ketika segala perkara telah diputuskan. (QS Maryam [19]: 39)

MENGENAL TUHAN BERARTI MENGENAL DIRI SENDIRI

Manusia diciptakan untuk mengetahui awal penciptaan (mabda) dan tempat kembali (ma’ad). Pada hakikatnya, kebahagiaan manusia terkandung di dalam pengenalannya pada Tuhannya, yang diperoleh dari mengenal dirinya sendiri. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadis terkenal:

مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ

Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.

Penjelasannya secara ringkas begini: Hendaklah seseorang memikirkan dan memperhatikan kenyataan bahwa pada tahun-tahun yang lalu, ia tidak ada di dunia ini dan tidak mempunyai nama ataupun rancangan. Al-Quran menyebutkan kenyataan ini dengan cara bertanya-tanya, dan mendorong manusia untuk memikirkan hal tersebut. Allah Swt bertanya dengan jelas:

هَلْ أَتَى عَلَى الْإِنْسَانِ حِينٌ مِّنَ الدَّهْرِ لَمْ يَكُنْ شَيْئًا مذْكُورًا

Bukankah telah datang kepada manusia suatu waktu dari masa yang ia belum merupakan sesuatu yang dapat disebut? (QS al-Insân [76]: 1)

Jawabannya tentu saja ya. Seratus tahun yang lalu, tidak ada satu pun dari kita di dunia ini, dan seratus tahun kemudian, tidak akan ada seorang pun dari kita yang masih hidup.

MERENUNGKAN PENCIPTAAN TUBUH MANUSIA

Manusia asalnya adalah sperma yang kotor, lalu tangan Kuasa Ilahi membekalinya dengan indera berupa pendengaran, penglihatan, lidah, telinga, dan anggota

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *