Shalat Orang Yang Khusyuk – Sayyid Abdul Husain Dastghaib – Orang Yang Khusyuk (1/3)

Shalat Orang Yang Khusyuk
Sayyid Abdul Husain Dastghaib
Penerjemah & Editor : Irwan Kurniawan
Penerbit : Yayasan Bahtera Cinta Al Musthofa

ORANG YANG KHUSYUK DALAM SHALATNYA AKAN BERJAYA

Pembahasan di sini adalah menjelaskan dalil-dalil yang mewajibkan kehadiran hati dalam shalat, yang menunjukkan perlunya ketundukan dan kerendahan hati di dalamnya. Demikian pula, kita akan membahas ihwal keutamaan kehadiran hati, syarat diterimanya shalat, dan hikmah apa saja yang dapat diambil dari ayat dan riwayat mengenai bagaimana membangkitkan kehadiran hati dalam shalat, bahkan hukum akal tentang hal tersebut.

Di antara ayat-ayat mulia tentang hal ini adalah firman Allah Swt:

قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُوْنَ

Sungguh, beruntunglah orang-orang mukmin. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalat. (QS al- Mu’minûn [23]: 1-2)

Mereka adalah orang-orang yang takut dan tunduk kepada Allah Swt.

Jadi, apa yang disebutkan dalam ayat yang mulia tersebut adalah bahwa seorang mukmin termasuk orang-orang yang mendapat keselamatan hanya jika ia khusyuk dalam shalatnya. Jelas bahwa kekhusyukan tidak mungkin tercapai tanpa kehadiran hati.

Allah Swt berfirman dalam ayat yang lain:

وَأَقِمِ الصَّلوةَ لِذِكْرِي

dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku. (QS Thâha [20]: 14).

Sudah pasti, kelalaian adalah lawan dari ingat (dzikr). Oleh karena itu, bagaimana mungkin orang yang lalai dalam shalatnya dapat mengingat Allah Swt di dalamnya, dan bagaimana perintah ini dapat ditaati: dan tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.

Allah Swt telah melarang adanya kelalaian, dan berfirman:

وَلَا تَكُنْ مِّنَ الْغَافِلِينَ

dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lengah. (QS al-A’raf [7]: 205).  Mereka adalah orang orang yang lalai dari berzikir dan berdoa.

MABUK KELALAIAN

Dalam ayat yang lain, secara tegas, Allah Swt melarang shalat yang berupa kelalaian dan kemabukan:

لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنتُمْ سُكارَى حَتَّى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ

janganlah mendekati shalat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar akan apa yang kamu ucapkan. (QS an-Nisa’ [4]: 43)

Dalam Tafsir Manhaj ash Shadiqin, disebutkan: Larangan ini, menurut para muhaqqiq, ditujukan kepada kekuatan-kekuatan ruhani yang karenanya keimanan dapat disaksikan di alam ruh, sehingga mereka tidak boleh mendekati shalat di masjid selama hati mereka dalam keadaan mabuk dan kurang minat hingga mereka sadar dari kelalaian dan kemabukan mereka, mengetahui apa yang mereka ucapkan, dan mengetahui dengan siapa mereka berbicara:

الْمُصَلِّي يُنَاجِي رَبَّهُ

“Orang yang shalat bermunajat kepada Tuhannya.” (HR Ahmad, no. 18249)

Hal ini dikuatkan dengan hadis berikut:

لَا صَلَاةَ إِلَّا بِحُضُورِ الْقَلْبِ

“Tidak ada shalat kecuali dengan kehadiran hati.”

KEHADIRAN HATI ADALAH KRITERIA DITERIMANYA SHALAT

Diriwayatkan dari Rasulullah saw:

كمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الظَّمَأُ وَالْجُوعُ وَكَمْ مِنْ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا الْعَنَاءُ

“Betapa banyak orang yang berpuasa yang tidak mendapat apa pun dari puasanya kecuali rasa haus dan lapar, dan betapa banyak orang yang berdiri (shalat) yang tidak memperoleh apa pun dari berdirinya kecuali kelelahan1.”

Maksud dari hadis ini adalah bahwa mereka tidak memperoleh manfaat ruhani dan moral apa pun dari shalat mereka karena tidak dibarengi dengan kehadiran hati.

(bersambung)

Catatan:

  1. Wasa’il asy Syi’ah, Muqaddimah al-Ibadah, bab 12, hadis no. 8