(lanjutan)
JALAN MENUJU KEHADIRAN HATI
Adapun diperolehnya kehadiran hati dalam shalat bergantung pada terpenuhinya syarat dan dihilangkannya hambatan, artinya harus dipersiapkan hal-hal yang bisa membantu kehadiran hati, sementara hambatan yang mengarah pada kelalaian hendaklah disingkirkan.
Mengenai syarat, terlebih dahulu orang yang shalat harus memandang shalat lebih penting daripada apa pun. Sekiranya dalam pandangannya masih ada sesuatu yang lebih penting daripada shalat, maka dengan sendirinya jiwa manusia akan berpaling padanya, dan hal ini menghalangi kehadiran hati saat shalat.
Dengan demikian, jika orang yang shalat tidak yakin bahwa shalat adalah lebih penting daripada apa pun, maka ia tidak dapat mengharapkan kehadiran hati. la tidak dapat menyadari pentingnya shalat kecuali setelah ia yakin akan punahnya dunia ini dan lenyapnya kenikmatan materi, dan yakin akan keabadian dan kelanggengan akhirat. Kemudian ia mengetahui bahwa shalat adalah cara terbaik untuk memperoleh pahala dan kebahagiaan abadi itu. Hal ini seperti yang tercantum dalam hadis:
إِنْ قُبِلَتْ قُبِلَ سِوَاهُ وَإِنْ رُدَّتْ رُدَّ مَا سِوَاهُ
“Jika [shalat] diterima maka yang lainnya pun diterima, tetapi jika ia ditolak maka yang lainnya pun ditolak.”
Kondisi manusia berbeda-beda dalam hal kehadiran hati dalam shalat. Oleh karena itu, derajatnya pun berbeda beda sesuai dengan tingkat keimanannya ter hadap dunia dan akhirat.
Pokok masalahnya adalah bahwa tidak mungkin mencintai dua hal yang berlawanan. Allah Swt berfirman:
مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِّنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ
Allah tidak menjadikan bagi seseorang dua hati dalam rongganya. (QS al-Ahzab [33]: 4)
Maksud menjadikan dua hati dalam rongganya adalah ia mencintai akhirat dan juga mencintai dunia sekaligus. Hal ini tidak mungkin, karena semakin dekat seseorang dengan yang satu maka ia semakin menjauh dari yang lain.
PENCINTA DUNIA TIDAK MENIKMATI IBADAH
Nabi Isa putra Maryam as bersabda [kepada para pengikutnya atau Hawariyyun], “Dengan sungguh- sungguh aku katakan kepada kalian, bahwa sebagaimana orang yang sakit melihat makanan yang enak namun ia tidak bisa menikmatinya selama penderitaannya sangat berat, demikian pula pemilik duniawi tidak akan menikmati ibadah dan tidak merasakan manisnya selama ia masih memiliki cinta pada harta. Dengan sungguh- sungguh aku katakan kepada kalian, bahwa seorang hamba tidak akan mampu mengabdi kepada dua tuhan dan tidak dapat dipungkiri bahwa ia akan lebih memilih salah satu ketimbang yang lain sekalipun ia berusaha sekuat tenaga. Demikian pula cinta kepada Allah dan cinta dunia tidak akan bersatu pada kalian.”
Hendaklah diketahui bahwa tujuan mencela dunia adalah karena mencintainya serta bergantung padanya dan pada kemateriannya, mengingat akibat yang ditimbulkannya, akan menyebabkan seseorang melalaikan akhirat dan kenikmatannya. Betapa banyak orang fakir dan miskin yang hati mereka dipenuhi dengan cinta terhadap dunia. Sebaliknya, betapa banyak orang kaya yang tidak mencintai dunia, dan mereka menjadikan kekayaan mereka sebagai pengantar dan jalan menuju akhirat. Penjelasannya akan kami kemukakan pada bagian akhir buku ini.
BAGAIMANA CARA MENGHILANGKAN CINTA DUNIA?
Apa yang harus kita lakukan untuk membebaskan diri dari cinta dunia dan dari kelalaian terhadap Allah Swt? Jawabannya mungkin sudah jelas dan sudah diketahui semua orang, namun sulit untuk dipraktikkan. Langkah dalam hal itu adalah: mengingat kematian dan mengurangi angan-angan duniawi. Hendaklah kita banyak merenung ihwal kemerosotan dan kehancuran dunia, serta mengambil pelajaran dari keadaan orang- orang zaman dahulu dan kelalaian mereka terhadap kematian. Bagaimana harapan dan cita-cita mereka tidak terwujud. Bagaimana mereka bekerja untuk hidup di dunia ini dalam hari-hari yang panjang. Mereka membangun istana, kebun, dan taman, lalu mereka meninggalkannya setelah kematian merenggut mereka. Sekiranya seseorang memperhatikan akhiratnya dengan satu persen dari perhatiannya pada dunia dan bekerja untuknya, serta mempersiapkan bekal untuk perjalanan akhiratnya, tentulah ia akan mencapai maqam yang tinggi dan derajat yang luhur.
Dari apa yang telah kami sebutkan, jelas terlihat bahwa kegagalan mencapai kehadiran hati dalam shalat semata-mata karena kelalaian terhadap akhirat, dan kurangnya perhatian dalam mempersiapkan sarana- sarana keselamatan dari kengeriannya.
Jika sebuah ruangan di rumah salah seorang dari kita runtuh, atau jika kamar yang kita tempati kekurangan tempat tidur, maka pikiran kita tidak akan tenang sampai kita menghilangkan kekurangan ini dan mengerahkan segala perhatian kita untuk memenuhinya. Sebaliknya, terhadap akhirat, kita lalai dan meremehkan, seolah- olah kita meragukannya dan tertipu oleh diri sendiri dengan menganggap bahwa kita akan mendapatkan ampunan dan kemurahan Allah. Kita seolah-olah tidak pernah membaca Al-Quran dan tidak menyadari apa yang difirmankan Allah Swt:
وَأَنْ لَّيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى
bahwa manusia hanya memperoleh apa yang telah diusahakannya, bahwa sesungguhnya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya)(QS an-Najm [53]: 39-40).
(bersambung)