Selagi Ajal Belum Tiba – Tutur Penerang Hati – Ibn ‘Atha’illah

Terapi Ma‘rifat
 
Tutur Penerang Hati

Oleh: Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī
Judul Asli: Bahjat-un-Nufūs
 
 
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahreisy
Penerbit: Zaman

8

Selagi Ajal Belum Tiba

 

Istighfār Membersihkan Dosa

Jika ingin selamat dalam kehidupan dunia ini, jauhilah dosa, yang terang-terangan maupun yang samar. Janganlah beristighfār atas dosa tersebut lalu kembali melakukannya. Perumpamaan orang yang banyak melakukan dosa sekaligus istighfār seperti orang yang banyak meminum obat, tapi juga sering meminum racun. Orang itu patut dinasihati dengan berkata: “Bisa jadi sebelum sempat meminum obat engkau sudah mati terlebih dahulu. Bisa jadi ajal menjemput setelah engkau berbuat dosa padahal engkau belum sempat bertobat. Sehingga engkau pun mati dalam keadaan bermaksiat dan berdosa. Sungguh ini merupakan bahaya besar.”

Siapa yang tidak menjauhi perbuatan terlarang, percuma ia melakukan kewajiban. Ia ibarat orang yang sedang sakit. Selama ia tidak menahan diri dari semua makanan dan tak melakukan diet, percuma ia meminum obat. Ia juga seperti orang yang membersihkan pakaiannya sementara ia jatuhkan dirinya dalam kubangan lumpur. Mana mungkin bisa bersihkan pakaiannya. Berbeda halnya jika ia menjauhkan pakaian tadi dari lumpur dan menjaganya secara baik, ia akan bisa membersihkan pakaian tersebut secara mudah.

Dalam pandangan mereka yang mempunyai ketajaman mata hati dan mereka yang wara‘, dosa itu adalah seperti bangkai yang dimakan anjing. Bagaimana pendapatmu apabila engkau melihat seseorang sedang menggigit bangkai tersebut? Tidakkah engkau merasa jijik dan risih?

Demikianlah kondisi orang yang jatuh dalam kubangan dosa dan tidak bertobat. Ia sama seperti orang yang sedang menggigit bangkai yang kotor lagi menjijikkan. Kalau orang yang berpakaian kotor saja tidak pantas untuk duduk bersama para raja dan pemimpin, bagaimana dengan orang yang mulutnya najis dan kotor. Pantaskah ia menghampiri Tuhan? Apakah orang yang najis karena memakan barang ḥarām layak bermunājat kepada Tuhan?

Demikian pula dengan dirimu. Engkau menghampiri Allah dalam keadaan kotor karena maksiat. Engkau memakan, melihat, dan melakukan sesuatu yang haram, serta menyembunyikan keburukan. Lalu engkau menganggap dirimu sudah sampai kepada Tuhan? Anggapan tersebut sama sekali tidak benar.

Orang yang melakukan penyimpangan, terjerumus dalam dosa, dan mengerjakan perbuatan terlarang berarti telah menganiaya qalbunya, mengotori jiwanya, dan mengurangi kadar keimanannya.

Wahai saudaraku, ketika engkau tidak bertobat dalam keadaan sehat, barangkali Allah akan mengujimu dengan berbagai penyakit dan musibah agar bersih dari dosa. Itu ibarat pakaian yang dicuci dengan air dan disetrika dengan listrik. Dengan begitu diharapkan pakaian tadi bebas dari kotoran, serta kembali bersih dan suci.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menguji kalian dengan ujian sebagaimana kalian menguji emas dengan api. Ada yang berupa emas murni. Begitulah kondisi orang yang terlindung dari syubhat. Tetapi, ada pula yang ternyata berupa tembaga. Itulah orang yang gagal menerima ujian.” (H.R. ath-Thabrānī).

Keimanan yang tertanam dalam qalbu ibarat pohon rindang yang tertancap di tanah. Jika ia tidak mendapat pengairan dan pupuk yang cukup, lalu ditimpa panas dan kekeringan, serta diterpa hama padang pasir, maka pohon tersebut menjadi kering dan daun-daunnya berguguran. Sehingga ia pun hanya bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar.

Begitu pula dengan pohon keimanan. Apabila terputus dari perbuatan taat dan ‘amal shāliḥ, lalu ia diterpa angin dosa dan maksiat, pohon keimanan itupun mengering, tak bisa berproduksi, tidak kukuh, atau malah akan mati dan musnah. Karena itu, siapa hendak melaksanakan kewajiban agama, ia harus meninggalkan semua perbuatan yang terlarang serta menutup pintu-pintu dosa dan maksiat.

Siapa meninggalkan sesuatu yang makrūh, akan dibantu meraih berbagai kebaikan. Sedangkan siapa meninggalkan yang mubāḥ, Allah akan membukakan untuknya pintu ketaatan, menolongnya dalam mengerjakan kewajiban, memberinya kelapangan, membukakan peluang baginya merasakan kehadiran Tuhan, dan mencerahkan cahaya keimanan dalam qalbunya. Semua itu tampak pada seluruh anggota badannya, gerakan jiwanya, ucapan lisannya, serta tanda-tanda keimanan terpantul jelas dari raut wajahnya. Orang yang dipersiapkan mendapat kedudukan mulia, Allah tak rela bila ia duduk di tempat sampah.

An-Nu‘mān ibn Basyīr r.a. mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Yang ḥalāl itu jelas. Yang ḥarām juga jelas. Antara keduanya ada sesuatu yang syubhat yang tak diketahui oleh sebagian besar orang. Siapa yang meninggalkan barang syubhat, bersihlah kehormatan dan agamanya. Sementara siapa yang terjatuh dalam syubhat, maka ia seperti penggembala yang memelihara ternaknya di sekitar tempat terlarang, besar peluang ia terjerumus ke dalamnya. Ketahuilah bahwa setiap raja memiliki wilayah terlarang. Dan wilayah terlarang milik Allah adalah semua yang diḥarāmkan. Sesungguhnya dalam diri manusia terdapat segumpal daging. Jika segumpal daging itu baik, semua anggota badannya akan menjadi baik. Tetapi, jika segumpal daging itu rusak, semua anggota badannya juga menjadi rusak.” (H.R. al-Bukhārī).

Ketahuilah bahwa yang bisa membuatmu malu pada hari kiamat nanti adalah harta yang kau peroleh lewat cara ḥarām atau kau belanjakan pada sesuatu yang ḥarām. Sungguh yang dikhawatirkan atas dirimu kalau engkau melakukan perbuatan dosa terus-menerus sehingga Allah membinasakan mereka secara berangsur-angsur (istidrāj). Allah berfirman: “Kami akan membinasakan mereka secara berangsur-angsur dengan cara yang tidak mereka ketahui.” (al-A‘rāf [7]: 182).

Wahai manusia yang mengaku beriman, bertaqwālah kepada Allah dan jagalah agamamu sebagaimana engkau menjaga pendengaran dan penglihatanmu. Jauhilah dosa sebagaimana engkau menjauhi penyakit yang mematikan dan bakteri yang membinasakan. Janganlah engkau mendekat kepadanya lalu mengandalkan tobat. Sebab, menjaga diri lebih baik daripada mengobati.

Siapa meninggalkan sesuatu yang makrūh, akan dibantu meraih berbagai kebaikan. Sedangkan siapa meninggalkan yang mubāḥ, Allah akan membukakan untuknya pintu ketaatan, menolongnya dalam mengerjakan kewajiban, memberinya kelapangan, membukakan peluang baginya merasakan kehadiran Tuhan, dan mencerahkan cahaya keimanan dalam qalbunya.

Bisa jadi Allah menjatuhkanmu pada dosa guna mengeluarkan benih kesombongan dan ujub dari dirimu. Sebab, adakalanya seseorang melakukan shalat dua rakaat kemudian mengandalkan shalat tersebut dan merasa ‘ujub dengannya. Atau adakalanya ia berhaji ke Baitullāh lalu merasa yakin dengan hajinya tersebut. Inilah kebaikan yang terbingkai oleh kejahatan. Sebaliknya, bisa jadi seseorang terperosok ke dalam dosa lalu ia merasa hina dan bersalah. Inilah kejahatan yang terbingkai oleh kebaikan.

Menghindari Tipuan Dunia Sebelum Akhir yang Buruk Tiba.

Wahai hamba Allah, ketahuilah bahwa yang paling mengkhawatirkan kalau engkau terjatuh dalam sū’-ul-khātimah (akhir yang buruk). Itu bisa terjadi disebabkan oleh padamnya cahaya iman yang ada dalam qalbumu akibat kelamnya maksiat. Artinya, dosa telah bertumpuk di atas dosa tanpa sempat tobat sehingga qalbu menjadi hitam dan gelap gulita. Tak ubahnya seperti bunga mawar putih yang ditutupi oleh debu dan tanah. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Apabila seorang mukmin melakukan dosa, ada noda hitam di dalam qalbunya. Apabila ia bertobat, menyesal, dan meminta ampunan, terhapuslah noda hitam tadi. Namun, kalau ia menambah dosa bertambah pula noda hitam tersebut hingga akhirnya menutupi qalbu. Itulah yang dimaksud dengan ar-rān (kotoran) yang disebutkan oleh Allah dalam al-Qur’ān: “Sekali-kali tidak (janganlah demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutup hati mereka, tetapi kalbunya tertutup ar-rān (noda hitam) karena apa yang mereka perbuat.” (H.R. at-Tirmidzī).

Wahai saudaraku, janganlah meremehkan ‘amal ketaatan sedikitpun. Waspadalah terhadap hawa nafsu yang ada di dalam dirimu sendiri. Pasalnya, ia merupakan musuh yang paling utama. Nafsu takkan berpisah dengan pemiliknya sampai mati. Adapun syaithan barangkali akan berpisah dengan engkau tatkala Ramadhān tiba. Sebab, di saat Ramadhān, Allah merantai semua setan dan jinn yang jahat. Tetapi, saat itu engkau mungkin masih menyaksikan ada orang yang membunuh atau melakukan dosa di bulan Ramadhān. Tentu saja itu berasal dari nafs-ul-ammārah bis-sū’ (yang memerintahkan kepada keburukan). Apabila nafsumu telah condong pada maksiat, ingatkanlah ia dengan siksa Allah. Kalau kemudian engkau terputus hubungan dengan Allah, itu karena maksiat yang kau lakukan.

Madu yang beracun tentu tak akan diminum walaupun terasa manis. Sebab, engkau tahu di dalamnya terdapat bahaya yang mengancam kesehatan tubuh. Demikian pula dengan dosa, walaupun ia nikmat, tetapi harus ditinggalkan karena bisa membuat seseorang terputus dari Allah. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Dunia itu terasa manis dan rindang.” (51) Tetapi, dalam hadits yang lain beliau mengatakan: “Dunia itu laksana bangkai yang menjijikkan.” Artinya, dunia terasa manis dan rindang dalam pandangan orang-orang yang lalai. Sebaliknya, dunia laksana bangkai menjijikkan dalam pandangan orang-orang yang mulia dan berakal. Dunia manis dan rindang dalam pandangan jiwa yang jahat, tetapi bangkai menjijikkan dalam pandangan qalbu yang bersih. Dunia itu diibaratkan manis dan rindang sebagai peringatan bagi manusia, tetapi diibaratkan bangkai menjijikkan agar manusia tidak tamak kepadanya.

Karena itu, janganlah tertipu dengan manisnya dunia sebab ia pahit akhirnya. Ada yang berkata: “Dunia adalah bangkai, sementara pemangsanya adalah anjing-anjing.”

Dunia dengan segenap isinya berkata:
“Waspadalah, waspadalah dari kekuatan dan sifat kerasku!
Jangan engkau terpedaya oleh senyumku
Ucapanku menggelikan, sementara sikapku membuat tangisan.”

Dunia terasa manis dan rindang dalam pandangan orang-orang yang lalai. Sebaliknya, dunia laksana bangkai menjijikkan dalam pandangan orang-orang yang mulia dan berakal. Dunia manis dan rindang dalam pandangan jiwa yang jahat, tetapi bangkai menjijikkan dalam pandangan qalbu yang bersih.

Bila seorang hamba berbangga dengan ketaatannya, lalu menyombongkan akhlaq dan ‘ilmunya, merasa mulia dengan ibadahnya, meminta dihargai oleh manusia, sementara ia sendiri tidak menghargai mereka, maka ia termasuk orang sombong yang ‘ujub. Dikhawatirkan ia terjerumus pada sū’-ul-khātimah. Na‘ūdzu billāh.

Kemudian bila seorang hamba terjerumus ke dalam maksiat atau meninggalkan kewajiban, lalu ia menangis, menyesal, sering mengunjungi orang shāliḥ, senantiasa mendatangi majelis para ‘ulamā’, juga menundukkan diri di hadapan Tuhan disertai pengakuan atas kesalahan dan penyimpangannya, memohon maaf dan ampunan-Nya, serta bersegera melakukan ‘amal shāliḥ guna menghapus dosanya, maka orang tersebut bisa diharapkan mendapatkan ḥusn-ul-khātimah dan ada kemungkinan tobatnya diterima.

Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Ada tiga hal yang merusak: merasa ‘ujub (bangga) dengan dirinya sendiri, sifat kikir yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti.” (62).

Catatan:

  1. 5). Hadits yang berbunyi: “Dunia itu rindang dan manis. Allah memercayakannya pada kalian serta menyaksikan apa yang kalian lakukan….” terdapat dalam Shaḥīḥ Muslim dan lainnya yang diriwayatkan dari Abū Sa‘īd secara marfū‘.
  2. 6). Hadits tersebut di-takhrīj oleh al-‘Askarī dari Ibn ‘Abbās secara marfū‘. Demikian pula yang berasal dari Anas. Sementara Abū Bakr ibn al-‘Arabī menetapkannya sebagai hadits shaḥīḥ.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *