Sebuah Pengantar
Inilah buku yang menawarkan rahasia. Ya, rahasia di balik suksesnya setiap amal manusia, rahasia penyelamat hati, dan rahasia menuju kebahagiaan nan lestari. Inilah buku yang menjajakan wisata ke lapis-lapis makna, hakikat, dan kiat-kiat ikhlas.
Buku ini mengajak anda untuk memaksimalkan keikhlasan. Ini penting karena nilai sebuah amal atau perbuatan ditentukan oleh seberapa tulus niat kita. Perbuatan yang dimaksud tentu adalah yang termasuk ketaatan atau perkara yang dibolehkan, bukan hal-hal yang dilarang. Tak ada istilah ikhlas untuk perbuatan-perbuatan yang tergolong kemaksiatan.
Tulusnya niat diukur baik sebelum, selama dan setelah kita berbuat. Kita harus tulus di ketiga tahapan ini, dan tak hanya salah satunya. Tulus sebelum berbuat berarti kita berniat untuk melakukan suatu perbuatan demi Allah semata, bukan demi memperoleh pujian, penghargaan, ataupun balasan dari orang; bukan pula demi harta, jabatan, ataupun popularitas di mata khalayak. Tulus sebelum berbuat juga berarti berkehendak emosi negatif (seperti kemarahan) dari dalam diri, atau karena ingin bereaksi atas suatu situasi (seperti karena dikomentari atau dimaki-maki).
Tulus selama berbuat berarti kita membaguskan perbuatan kita hanya karena keteringatan kita pada Allah, bukan karena keteringatan kita pada manusia; karena merasa senantiasa diawasi oleh Allah, bukan karena merasa sedang diamati oleh manusia. Tulus selama berbuat juga berarti tidak berbuat dengan malas-malasan (saat sendiri ataupun tampak oleh orang); dan tak gampang mundur, panik, atau putus asa saat bertemu kesulitan atau kendala. Tulus selama berbuat juga berarti berbuat tanpa membayangkan bagaimana kita akan dinilai, dipuji, atau dihormati ketika nanti menyudahi perbuatan tersebut, ataupun sebaliknya resah membayangkan anggapan orang-orang yang nantinya meremehkan.
Tulus setelah berbuat berarti tetap mengingat Allah s.w.t. saat disanjung ataupun dicela; tak sombong saat dipuji, dan tak kesal saat dimaki. Kita menisbahkan kemampuan berbuat kepada Allah, dan bukan pada kemampuan kita sendiri; menyerahkan hasil perbuatan kita kepada Allah, dan tidak memandang bahwa hasilnya harus seperti harapan atau kemauan kita. Tulus setelah berbuat berarti kita tak berharap balasan, pujian, ataupun ucapan terima kasih. Tulus setelah berbuat juga berarti tak mengungkit-ungkit perbuatan yang telah lalu, tak memamerkannya atau menyombongkannya pada orang-orang tak membanggakannya dalam hati, dan tak tersinggung kalaupun tak disebut-sebut oleh orang.
Inilah ikhlas yang tanpa balas. Para sufi yang wejangan mereka terhimpun di buku ini mengantar kita ke pemahaman ikhlas yang lebih mendalam lagi; ke ikhlas yang tanpa batas, yakni ikhlas dalam segala hal dan dalam segala perbuatan; suatu ikhlas yang menjadi ekspersi tauhid, yakni ikhlas sebagai pemurnian hati dari segala syirik, dari syirik besar hingga syirik yang sekecil-kecilnya, dari syirik yang nyata hingga syirik yang sesamar-samarnya. Hatta, kita dibawa ke pemahaman bahwa orang yang tulus hanyalah bergantung kepada-Nya, tidak menjadikan amalannya sebagai sandaran kemajuan spiritualnya; hanyalah mendambakan Wajah-Nya, tidak menjadikan surga sebagai pemacu semangat beramalnya.
Di buku ini, anda akan diajak berguru Ilmu ikhlas ke para ahlinya, ke kitab-kitab para syekh dan imam dari berbagai zaman dan dari berbagai penjuru Dunia Islam. Mereka adalah Syekh al-Ḥārits al-Muḥāsibī, seorang sufi Baghdād dari abad ke-3H; Imām al-Ḥākim at-Tirmidzī, seorang ahli hadits sekaligus sufi dari abad ke-4H; Imām al-Ghazālī, tokoh Damaskus dari abad ke-5/6H yang serba-bisa dan amat terkenal di Timur dan Barat, penulis Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn; Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī, sufi masyhur abad ke-6H, pendiri tarekat Qādiriyah; Syekh ‘Abd ar-Raḥmān al-Lajā’ī, sufi kawasan Maghribī dari abad ke-6H; Imām an-Nawawī ad-Dimasyqī, ulama tersohor asal Damaskus dari abad ke-7H, penyusun kitab Riyādh ash-Shāliḥīn; Syekh Ibn ‘Athā’illāh, tokoh terekat Syādziliyah asal Mesir dari abad 7/8H, penulis kitab al-Ḥikam; Syekh Ibn Taimiyah, tokoh pembaru Islam dari abad ke-8H; Syekh ‘Abd ar-Raḥmān al-Anqurī, ulama abad ke-8H; dan Syekh Muḥammad al-Birghawī, ulama Turki abad ke-10H.
Pembaca akan mendapati bahwa mereka telah mengajarkan kedalaman ilmu dan kearifan tentang keikhlasan, melebihi banyak ulama dan ustadz zaman ini. Ajaran mereka ibarat untaian tasbih; biji-bijinya sama dan sebangun namun sambung-menyambung dan saling mengisi dalam sebuah rangkaian; rangkaian yang baru bermanfaat bila kita titi satu per satu, dari pangkal hingga ke ujung, dari awal hingga akhir.
Akhir kata, mudah-mudahan suguhan ini memberi tuntunan dan keberkahan. Amin.
Keikhlasan itu bermanfaat, tidak saja bagi masa depan anda (di dunia maupun di akhirat), namun pula bagi persiapan anda untuk berbuat, bagi perbuatan itu sendiri, dan bagi dampak perbuatan itu.
Selamat tulus membaca!
Isi Buku:
[Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H)]
[Imām al-Nawawī al-Dimasyqī (w. 676 H.)]
[Imām al-Ghazālī (w. 505 H)]
[Imām al-Ḥākim al-Tirmidzī (w. 320 H)]
[Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H)]
[Syekh ‘Abd al-Raḥmān al-Lajā’ī (w. 599 H.)]
[Syekh ‘Abd al-Ḥamīd al-Anqurī (abad 8 H)]
[Syekh Muḥammad al-Birgawī (w. 995 H)]
[Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī (w. 561 H.)]
[Syekh Ibn ‘Athā’illāh (w. 709 H.)]
[Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī (w. 561 H.)]
[Syekh al-Ḥārits al-Muḥāsibī (w. 243 H)]
[Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī (w. 561 H.)]
[Syekh al-Ḥārits al-Muḥāsibī (w. 243 H)]
[Syekh al-Ḥārits al-Muḥāsibī (w. 243 H)]