Para ‘ulamā’ berbeda pendapat tentang salām setelah shalat.
‘Ulamā’ yang menghukumi wājib, ada yang berpendapat wājib pada shalat sendirian dan imām hanya sekali, dan ada pula yang berpendapat wājibnya itu dua kali.
Jumhur ‘ulamā’ berpedoman pada zhahir hadits ‘Alī yang menceritakan sabda Nabi s.a.w.:
وَ تَحْلِيْلُهَا التَّسْلِيْمُ.
“Dan penutupnya adalah salām.” (2831).
‘Ulamā’ yang mewajibkan salām dua kali berdalil pada hadits Nabi s.a.w.: “Bahwa Nabi mengucapkan salām dua kali.” (2842).
Ini bagi kelompok yang berpendirian bahwa perbuatan Nabi diartikan sebagai wājib.
Imām Mālik berpendapat bahwa dua kali salām untuk ma’mūm, sedang untuk imam cukup sekali. Bahkan, diriwayatkan dari Imām Mālik bahwa ma’mūm mengucapkan salām sebanyak tiga kali, sekali sebagai penutup shalat, yang kedua untuk pemberitahuan kepada imam, dan yang ketiga untuk orang yang berada di samping kirinya.
Dalam hal ini, Imām Abū Ḥanīfah berpegang pada riwayat ‘Abd-ur-Raḥmān bin Zihād al-Ifriqī yang menyatakan bahwa ‘Abd-ur-Raḥmān bin Rāfi‘ dan Bakar bin Sawwādah meriwayatkan dari ‘Abdullāh bin ‘Amru al-‘Āsh, beliau berkata: Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
إِذَا جَلَسَ الرَّجُلَ فِيْ آخِرِ صَلَاتِهِ، فَأَحْدَثَ قَبْلَ أَنْ يُسَلِّمَ فَقَدْ تَمَّتْ صَلَاتُهُ.
“Apabila duduk seseorang di akhir shalatnya, lalu ia berhadats sebelum mengucapkan salām, maka shalatnya sudah sempurna.”
Ibnu ‘Abd-il-Barr mengatakan: “Hadits ‘Alī terdahulu, menurut ahli riwayat, dinilai lebih kuat. Sebab, Hadits ‘Abdullāh bin ‘Amru bin al-‘Āsh hanya diriwayatkan oleh al-Ifriqī. Padahal, menurut ahli riwayat, ia termasuk orang yang dha‘īf.”
Al-Qādhī berkata: Meski hadits ‘Alī dilihat dari segi riwayat lebih kuat, tetapi dari segi matan masih memiliki berbagai pengertian. Karena hadits tersebut tidak menunjukkan arti bahwa keluar dari shalat hanya dilakukan dengan salām, terkecuali jika memakai dalīl khithāb, tetapi dalīl khithāb ini menurut para ‘ulamā’ merupakan pemahaman yang lemah.
Namun, jumhur ‘ulamā’ bisa berkata lain bahwa alif lām dalam pemakaiannya sebagai ḥashr (pembatasan) lebih kuat dibanding dalīl khithāb. Yaitu, bahwa hukum sesuatu yang tidak disebutkan merupakan kebalikan hukum sesuatu yang disebutkan.
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ كَانَ يُسَلِّمُ عَنْ يَمِيْنِهِ وَ عَنْ شِمَالِهِ، حَتَّى يُرَى بَيَاضَ خَدِّهِ: السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ، السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَةُ اللهِ.
“Sesungguhnya Nabi s.a.w. mengucapkan salam ke sebelah kanan dan kiri hingga terlihat putih pipinya, seraya mengucapkan: “As-Salāmu ‘alaikum wa raḥmatullāh, As-Salāmu ‘alaikum wa raḥmatullāh.” (HR. Abū Dāūd (996), at-Tirmidzī (295), an-Nasā’ī (13223), Ibnu Mājah (914), dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī, dalam masalah ini ada hadits dari Sa‘ad bin Abī Waqqāsh yang diriwayatkan oleh Muslim (583), dan dari Wā’il bin Ḥajar yang diriwayatkan oleh Abū Dāūd (933).