BAGIAN SEBELAS
Ada banyak firman Allah s.w.t. yang berkaitan dengan keharusan berlaku ridhā kepada Allah s.w.t. Di antaranya adalah:
فَلَا وَ رَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَ يُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
“Maka demi Tuhanmu! Mereka pada hakikatnya belum beriman, sebelum mereka meminta keputusanmu dalam perkara-perkara yang mereka perselisihkan. Kemudian mereka tidak menaruh keberatan di dalam hatinya terhadap keputusanmu itu, dan mereka menerima sepenuhnya.” (an-Nisā’: 65)
Dan menurut sebagian ‘ulamā’, Allah s.w.t. tidak menganggap mereka telah beriman selagi mereka tidak menerima hukum yang diputuskan oleh Nabi mereka. Dan apalagi jika ada orang yang tidak mau menerima hukum Allah s.w.t., tentunya ia sama sekali dianggap tidak beriman.
T: “Apa tanda ridhā di dalam hati? Apa indikasinya?”
J: “Kegembiraan hati dalam menerima pahit-getirnya keputusan Allah s.w.t. Dan menurut sebagian ‘ulamā’, indikasi ridhā adalah mampu menyambut datangnya musibah dan bencana dengan harapan dan kegembiraan. Sebab pernah pula diriwayatkan dari Anas Ibn Mālik r.a. bahwasanya ia pernah berkata: “Selama aku mengabdi kepada Nabi Muḥammad s.a.w. belum pernah sekali pun beliau menegur atas apa yang aku lakukan. Umpamanya mengatakan: mengapa engkau melakukan itu, atau mengapa engkau tidak berbuat begini? Tapi yang biasa beliau katakan: “Begitulah yang telah ditetapkan Tuhan, dan beginilah yang telah ditentukan Tuhan.”
‘Umar Ibn al-Khaththāb r.a. pun pernah berkata dalam hal ini. Yaitu: “Aku tidak pernah menghiraukan kondisiku di waktu pagi ataupun petang, apakah sesuai dengan harapanku atau justru sebaliknya. Sebab aku tidak pernah tahu kondisi mana yang lebih baik buat diriku.” (331)
Di samping itu, beliau juga pernah berkata: “Jika menurutmu sifat sabar dan syukur adalah bagaikan dua ekor unta, niscaya aku tidak akan keberatan untuk mengendarai salah satu dari keduanya.” Ucapan ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa ‘Umar Ibn al-Khaththāb r.a. telah merasa ridhā dengan sepenuh hati akan qadhā’ dan qadar Allah s.w.t. Karena, sifat sabar tidak bisa dilakukan, kecuali oleh orang yang sudah merasa ridhā atas ketentuan Allah yang buruk, sebagaimana sifat syukur itu tidak akan terlaksana, kecuali terhadap sesuatu yang disukai oleh hati. Dan ketika beliau mengatakan: “Aku tidak keberatan untuk mengendarai salah satu dari keduanya,” maksudnya bahwa dua kendaraan tersebut bernilai sama dalam pandanganmu.
Diriwayatkan dari ‘Abdullāh Ibn Mas‘ūd r.a. bahwasanya beliau berkata: “Selamat datang apa yang tidak aku sukai!” Demi Allah, baik ia kaya mau pun miskin. Sungguh, pada keduanya terdapat kewajiban yang harus ditunaikan. Jika kaya, ia harus menyayangi orang miskin. Dan jika miskin, ia harus bersabar atas keputusan Tuhan.”
Dan ‘Umar Ibn ‘Abd-il-‘Azīz r.a. pun pernah berkata: “Setiap bangun pagi, ku akui bahwa diriku tidak punya pilihan dalam segala urusan.” Ada pula ‘ulamā’ lain yang berkata: “Aku tidak akan pernah mempunyai suatu keni‘matan pun, selain dari yang telah ditentukan oleh Allah.” Setelah itu ia langsung minum racun. Dan ketika ditanya: “Apa yang engkau lakukan dengan racun itu. Apakah berobat?” “Jika aku tahu bahwa penyakitku bisa sembuh dengan hanya menyentuh hidung atau telingaku saja, niscaya aku tidak ingin menyentuhnya”, jawabnya.
Berkaiatan dengan hal ini, pernah pula Nabi Muḥammad s.a.w. berkata kepada Ibn Mas‘ūd r.a.: “Wahai anak hamba Allah! Kamu jangan banyak berfikir, sebab apa-apa yang telah ditakdirkan-Nya pasti akan terjadi. Dan makanlah apa-apa yang bisa engkau peroleh sebagai rezekimu.” Diceritakan pula dalam sebuah kisah panjang antara Nabi Muḥammad s.a.w. dengan Ibn ‘Abbās r.a., beliau berpesan: “Jika enkau bisa ber‘amal dengan penuh keridhaan dan hati yang yakin, itulah yang dikehendaki. Tapi jika tidak, bersabar atas apa yang dibenci juga mengandungi banyak kebaikan.”
Coba renungkan pesan Nabi Muḥammad s.a.w. kepada Ibn ‘Abbās tersebut. Bukankah beliau menyerunya supaya berpegang pada kondisi yang paling tinggi di antara keduanya. Dan sebagian ahli ḥikmah berkata: “Jika seorang hamba telah sempurna memiliki sifat zuhud, tawakkal, cinta, yakin dan malu, maka ketika itulah sifat ridhā telah sempurna menjadi miliknya.” Demikian pula pendapat kami. Tapi yang biasa berlaku pada kebanyakan orang adalah hanya mampu menampakkan keridhāan dalam beberapa kondisi saja, bergantung pada kadar keimanan masing-masing lalu mereka kembali bersabar lagi.
Sebagian ‘ulamā’ lain, ada yang berkata: “Ridhā adalah sifat yang sulit dipenuhi oleh manusia, jadi yang dituntut dari seorang Mu’min adalah sifat sabar.” Mendengar ucapan demikian, saya langsung meminta penjelasan beliau: “Bukankah orang yang ridhā itu adalah orang yang menyambut musibah dan bencana dengan senyuman dan wajah yang gembira?!” “Seorang hamba yang telah mempunyai cinta yang suci terhadap Allah s.w.t. akan mempunyai ikatan keterkaitan dan penyerahan diri prasangka akan lenyap dari dalam hatinya dan menjadikannya senang dan tenang untuk memilih Dzāt yang dicintainya serta tunduk di bawah pengaturan-Nya sampai-sampai ia merasa bahwa eksistensi Allah s.w.t. selalu bersamanya. Karena itu, maka hatinya selalu dilingkupi perasaan gembira, ni‘mat, dan bahagia sehingga jiwanya bisa mengatasi segala macam musibah, bisa menanggung pedihnya segala macam bencana dan bisa menahan pahitnya segala perkara yagn dibencinya.” Ujar sang guru.
Dengan demikian, musibah dan bencana, baginya, hanya tinggal nama saja, karena apabila ia ditimpa oleh bencana, maka akan segera muncul dalam hatinya beberapa hal yang mengagumkan. Yaitu, ia akan selalu merasa bahagia atas perhatian Allah s.w.t. kepadanya dan menyadari bahwa Dia selalu melihat dan memperhatikannya, terutama ketika ia sedang berada dalam kesusahan. Terkadang ia sadar bahwa Allah s.w.t. selalu mengingat akan dirinya, dan karena itu ia dicoba dengan kesusahan. Di samping itu, ia pun mempunyai keyakinan yang penuh bahwasanya Allah s.w.t. tidak akan pernah mengabaikannya, meski Dzāt-Nya Maha Besar dan Maha Tinggi, tapi Dia mengurusi dirinya yang kecil dan lemah dengan menentukan apa yang baik dan berguna buat dirinya. Terkadang ia mengadu kepada Allah bak pengaduan seorang kekasih kepada yang dicintainya; terkadang menangis dan meratap; dan terkadang juga ia sangat berharap agar Allah melihatnya dengan pandangan ridha dan tidak murka. (342) Bekaitan dengan hal ini, Allah telah berfirman:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ. ارْجِعِيْ إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً. فَادْخُلِيْ فِيْ عِبَادِيْ. وَ ادْخُلِيْ جَنَّتِيْ
“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan ridha dan diridhai. Maka, masuklah dalam golongan hamba-Ku yang saleh dan masuklah ke dalam Surga-Ku.” (al-Fajr: 27-30)
Oleh karena itu, orang yang pikirannya normal harus mencari keridhāan Allah s.w.t. di dunia terlebih dahulu sebelum ke Akhirat, supaya bisa keluar dari dunia dalam keadaan ridhā akan kondisinya kelak di Akhirat. Hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam firman berikut:
رَّضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَ رَضُوْا عَنْهُ وَ أَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِيْ تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِيْنَ فِيْهَا أَبَدًا ذلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيْمُ
“Allah mencintai mereka, dan mereka pun mencinta-Nya. Dan Allah menyediakan untuk mereka Surga yang banyak mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang gilang-gemilang.”
(at-Taubah: 100).
Demikian penjelasan kami tentang sebagian sifat orang yang ridhā secara lahir. Dan hanya kepada Allah, kami memohon taufīq.