Prof. Dr. Hamka dalam bukunya Tashawwuf Perkembangan dan Pemurniannya mengutip salah satu ‘ulamā’ Minangkabau, Syaikh Aḥmad bin ‘Abd-il-Lathīf al-Minankabawī, (611) penulis kitab an-Nafaḥātu syarḥ-ul-Waraqāti fī Ushūl-Fiqh, yang mengkritik habis amaliah tarekat Naqsyābandiyyah yang menghadirkan guru dalam ingatan saat tawajjuh. Bahkan beliau mengklaim jika praktik seperti itu adalah sama dengan menyembah berhala. Kitab Syaikh Aḥmad Khathīb tersebut mendapat sanggahan dari Syaikh Sa‘ad Munka Payakumbuh yang kemudian dijawab kembali. (622).
Ini juga salah satu syubhat yang didengarkan oleh kelompok anti tarekat seperti Prof. Dr. Hamka sendiri. Lalu bagaimana menjawabnya?
Sesuai yang kami baca di dalam literatur kitab-kitab tashawwuf, praktik rābithah dengan membayangkan shūrah atau gambar guru mursyid saat memulai dzikir mujahadahnya tidak hanya dilakukan oleh pengikut tarekat Naqsyābandiyyah saja. Tetapi beberapa tarekat lain juga melakukannya. Dan bahkan Syaikh ‘Abd-ul-Wahhāb asy-Sya‘rānī dalam kitabnya, al-Anwār-ul-Qudsiyyah, juga memasukkannya dalam salah satu adab dzikir. (633).
Satu yang pasti, kami tidak sepakat dengan Syaikh Aḥmad Khathīb yang begitu mudah menyamakan pelaku rabithah dengan menyembah berhala. Meski kami menghormati pendapat beliau.
Dan penyamaan tersebut, menurut hemat kami, adalah sangat ekstrim dan mirip dengan prilaku golongan Khawārij yang mudah menampilkan ayat yang obyeknya adalah orang kafir dan disitir untuk orang Islam.
Syaikh Aḥmad Khathīb dalam mengkritik praktik rābithah di atas adalah pendapat beliau sendiri dan mungkin didukung beberapa ‘ulamā’. Tetapi kami tidak bisa mengklaim bahwa beliau telah tertulari virus Salafī Wahhābī, karena beliau adalah murid Sayyid Aḥmad Zaini Dahlān, seorang ‘ulamā’ yang gigih membela kaum Sunni dan membongkar sejarah hitam sekte Salafī Wahhābī yang membangun madzhabnya di atas “darah” muslimin. Oleh karena itu, kami tidak sepakat dengan sangkaan Prof. Dr. Hamka yang mengklaim bahwa beliau telah tertulari pemikiran Ibnu Taimiyyah (atau Salafī Wahhābī). (644).
Masalah rābithah dengan foto (shūrah) guru mursyidnya, di kalangan ahli tashawwuf masih menjadi pembahasan hangat dan masih khilāfiyyah. Tetapi, tata krama yang menganjurkan ber-rābithah dengan foto mursyidnya tersebut, sebagaimana pelajaran dalam tarekat Naqsyābandiyyah, adalah hasil ijtihad mereka.
Mereka mengambil dalil dari beberapa ayat al-Qur’ān, yang beberapa di antaranya adalah:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ ابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah wasilah kepada-Nya.” (QS. al-Mā’idah: 35).
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ كُوْنُوْا مَعَ الصَّادِقِيْنَ.
“Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. at-Taubah: 119).
وَ اتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ.
“Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku.” (QS. Luqmān: 15).
مَثَلُ الْجَلِيْسِ الصَّالِحِ وَ الْجَلِيْسِ السُّوْءِ كَمَثَلِ صَاحِبِ الْمِسْكِ وَ كِيْرِ الْحَدَّادِ.
“Sesungguhnya perumpamaan teman duduk yang shalih dan yang buruk adalah seperti orang yang membawa misik dan tempat pembakaran besi….” (HR. Bukhārī Muslim).
أَنْتَ مَعَ مَنْ أَحْبَبْتَ.
“Engkau akan bersama orang yang engkau sukai.” (HR. Bukhārī Muslim).
Dan beberapa ayat dan hadits lain yang menganjurkan untuk selalu bersama dengan orang-orang shalih.
Para ‘ārifūn berkata: “Bersamalah Allah. dan jika tidak bisa maka bersamalah orang yang bersama Allah.” (655).
Apa yang dipahami dan diijtihadi oleh sebagian shūfī pengamal tarekat tersebut adalah murni pemahaman dari mereka terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut. Orang lain berhak setuju dan tidak, karena mereka bukan rasūl yang terjaga ijtihad dan pemikirannya.
Imām Mālik bin Anas berkata: “Setiap dari kita, (pendapatnya; pent.) dapat diambil dan ditolak, kecuali Rasūlullāh.” Wallāhu A‘lam.