Qunut – Rukun-rukun Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah kesembilan: Qunūt.

 

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat tentang qunūt:

  1. Imām Mālik berpendapat bahwa qunūt untuk shalat Shubuḥ adalah mustaḥabb.
  2. Imām Syāfi‘ī berpendapat hukumnya sunnah.
  3. Imām Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa qunūt dalam shalat Shubuḥ dilarang, sedang tempat qunūt hanya dalam shalat witir.
  4. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa qunūt itu berlaku bagi setiap shalat.
  5. Ada juga yang berpendapat bahwa qunūt hanyalah dilakukan dari setengah pertama bulan Ramadhān.
  6. Fuqahā’ lainnya berpendapat bahwa qunūt hanyalah dilakukan pada setengah terakhir bulan Ramadhān.

 

Sebab perbedaan pendapat: Banyaknya hadits yang diriwayatkan dari Nabi s.a.w. mengenai qunūt, juga karena qiyas shalat yang menggunakan qunūt dengan shalat yang tidak menggunakan qunūt.

Ibnu ‘Abd-il-Barr berpendapat bahwa qunūt yang mengandung cercaan terhadap kaum kafir di bulan Ramadhān sering dilakukan pada periode pertama Islam. Hal ini dalam rangka mengikuti sunnah Rasūl saat berdoa untuk runtuhnya Ra‘l dan Dzakwān (2851) juga geromolan yang membunuh penduduk sumur ma‘ūnah.

Laits bin Sa‘īd berkata: “Sudah empat puluh atau empat puluh lima tahun aku tidak pernah lagi membaca qunūt, kecuali jika aku menjadi ma’mūm sementara imam membaca qunūt. Dalam hal ini, aku berdalil pada sunnah Rasūl s.a.w., sesungguhnya beliau melakukan qunūt selama sebulan atau empat puluh hari, untuk mendoakan kebaikan untuk satu kaum dan mendoakan kejelekan untuk kaum yang lainnya, (2862) sehingga Allah memberikan peringatan kepada beliau dalam firman-Nya:

لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُوْنَ.

Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima Taubat mereka, atau meng‘adzab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zhalim.” (Qs. Āli ‘Imrān [3]: 128).

Kemudian Rasūlullāh s.a.w. meninggalkan qunūt, setelah itu beliau tidak pernah mengucapkan qunūt sampai beliau wafat.

Laits berkata: semenjak aku meriwayatkan hadits di atas, aku tidak pernah lagi membaca qunūt. Pendapat ini juga dipegang oleh Yaḥyā bin Yaḥyā.

Di antara guru saya, ada yang meriwayatkan bahwa yang diberlakukan di masjid Kordova adalah memakai qunūt, yang diberlakukan terus hingga masa kami atau masa sebelum kita.

Muslim meriwayatkan dari Abū Hurairah:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَنَتَ فِيْ صَلَاةِ الصُّبْحِ، ثُمَّ بَلَغَنَا أَنَّهُ تَرَكَ ذلِكَ لَمَّا أُنْزِلَ لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيءٌ أَوْ يَتُوْبَ عَلَيْهِمْ.

“Nabi s.a.w. pernah mengucapkan qunūt pada shalat Shubuḥ, kemudian sampai berita kepada kami bahwa beliau s.a.w. meninggalkannya ketika turun (ayat): “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima Taubat mereka…..” (Qs. Āli ‘Imrān [3]: 128).

Dan diriwayatkan dari Abū Hurairah, bahwa beliau melakukan qunūt pada shalat Zhuhur dan ‘Isyā’, juga shalat Shubuḥ. (2873).

Diriwayatkan darinya pula: “Bahwa beliau s.a.w. melakukan qunūt selama sebulan pada shalat Shubuḥ untuk mendoakan kejelekan kepada Bani Ushayyah.” (2884).

Lalu para ‘ulamā’ berbeda pendapat tentang lafazh qunūt. Imām Mālik menganjurkkan:

اللهُمَّ إِنَّا نَسْتَعِيْنُكَ، وَ نَسْتَغْفِرُكَ، وَ نَسْتَهْدِيْكَ، وَ نُؤْمِنُ بِكَ، وَ نَخْنَعُ لَكَ، وَ نَخْلَعُ وَ نَتْرُكُ مَنْ يَكْفُرُكَ، اللهُمَّ إِيَّاكَ نَعْبُدُ، وَ لَكَ نُصَلِّيْ، وَ نَسْجُدُ، وَ إِلَيْكَ نَسْعَى وَ نَحْفَدُ، نَرْجُوْ رَحْمَتَكَ، وَ نَخَافُ عَذَابَكَ، إِنَّ عَذَابِكَ بِالْكَافِرِيْنَ مُلْحِقٌ.

Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pertolongan kepada-Mu, memohon ampunan kepada-Mu, meminta petunjuk kepada-Mu, beriman kepada-Mu, aku tundak kepada-Mu, membebaskan diri dan meninggalkan orang yang kufur kepada-Mu, Ya Allah, hanya kepada-Mu aku beribadah, kepada-Mu aku berdoa, dan bersujud, aku berusaha menempuh jalan menghadap-Mu, mengharapkan rahmat-Mu, takut akan ‘adzab-Mu, sesungguhnya ‘adzab-Mu akan menimpa orang-orang kafir.” (2895).

Fuqahā’ ‘Irāq menamakan doa tersebut dengan as-sūratain. Dan menurut satu riwayat, doa tersebut ada dalam mushḥaf (lembaran) Ubai bin Ka‘ab.

Imām Syāfi‘ī dan Isḥāq berpendapat bahwa lafazh qunūt yang digunakan adalah:

اللهُمَّ اهْدِنَا فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَ عَافِنَا فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَ قِنَا شَرَّ مَا قَضَيْتَ، إِنَّكَ تَقْضِيْ وَ لَا يُقْضَى عَلَيْكَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَ تَعَالَيْتَ.

Ya Allah, berilah aku petunjuk seperti orang yang telah Engkau berikan petunjuk, selamatkanlah aku sebagaimana orang yang telah Engkau selamatkan, jagalah aku dari segala kejelekan yang Engkau takdirkan, sesungguhnya Engkaulah yang menentukan, dan tidak ada yang menentukan-Mu, Maha Suci Engkau dan Maha Agung.” (2906).

Doa di atas diriwayatkan dari Ḥasan bin ‘Alī dari sanad yang shaḥīḥ bahwa Rasūlullāh s.a.w. mengajarkan qunūt tersebut untuk dibaca dalam shalat.

‘Abdullāh bin Dāūd berkata: “Barang siapa tidak membaca qunūt dengan as-sūratain, maka shalatnya tidak bisa diikuti.” Sementara yang lainnya berpendapat tidak ada bacaan yang ditetapkan dalam qunūt.

Catatan:

  1. 285). Shaḥīḥ. HR. Muslim (679), Aḥmad (4/57), Abū ‘Awānah (2/282), ath-Thabrānī pada al-Kabir (4169, 4170, 4171) dari jalan Khufaf bin Hudhah al-Ghifari.
  2. 286). Ungkapan ini mengisyaratkan kepada hadits Abū Hurairah, beliau berkata:

    قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ صَلَاةِ العَتَمَةِ شَهْرًا يَقُوْلُ فِيْ قُنُوْتِهِ: اللهُمَّ نَجِّ الْوَلِيْدَ بْنَ الْوَلِيْدِ، اللهُمَّ نَجِّ سَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ، اللهُمَّ نَجِّ عِيَاشَ بْنَ أَبِيْ رَبِيْعَةَ، اللهُمَّ نَجِّ الْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ، اللهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى مُضَرَ، اللهُمَّ اجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ سِنِيْنَ كَسِنِيْ يُوْسُفَ.

    Rasūlullāh s.a.w. melakukan qunut dalam shalat ‘Isyā’ selama satu bulan, dalam qunūtnya beliau berdoa: “Ya Allah, selamatkan Walīd bin al-Walīd, ya Allah, selamatkan Salamah bin Hisyām, ya Allah, selamatkan ‘Iyās bin Abī Rabī‘ah, ya Allah, selamatkan orang-orang lemah dari kalangan orang yang beriman, ya Allah, keraskan pukulan-Mu untuk Mudhar, jadikanlah paceklik kepada mereka seperti yang menimpa kaum Yūsuf.” HR. al-Bukhārī (4598), Muslim (675), Abū Dāūd (1442), dan Aḥmad (2/470).

  3. 287). HR. Muslim (676).
  4. 288). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (1003), Muslim (677), Abū Dāūd (1445), an-Nasā’ī (2/200), Ibnu Mājah (1184), Aḥmad (3/259), semuanya dari hadits Anas, yang lafazhnya:

    أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا بَعْدَ الرُّكُوْعِ، يَدْعُوْ عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ رِعْلٍ وَ ذَكْوَانَ، وَ قَالَ: وَ عُصَيَّةَ عَصَتِ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ.

    Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. melakukan qunut selama sebulan setelah rukū‘, ketika itu beliau mendoakan kejelekan untuk beberapa suku ‘Arab Ri‘l dan Dzakwān, beliau berdoa: ‘Ushayyah yang telah berbuat maksiat kepada Allah dan Rasūl-Nya.

  5. 289). Dari ‘Umar, yang diriwayatkan oleh ‘Abd-ur-Razzāq (3/110), Ibnu Abī Syaibah (3/110), dan al-Baihaqī (2/211).
  6. 290). Ḥasan. HR. Abū Dāūd (1425), at-Tirmidzī (464), an-Nasā’ī (3/248), dan dalam al-Kubrā (1442, 1443, 8101), Ibnu Mājah (1178), Aḥmad (1/199, 201), ad-Dārimī (1/452) dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (1096), diriwayatkan pula oleh al-Baihaqī (2/209) dan di-ḥasan-kan oleh al-Albānī dalam Shaḥīḥ Abī Dāūd.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *