Hati merupakan sumber ketaqwāan, ketenangan, rasa takut, ketundukan, kelembutan, ketenteraman, kekhusyū‘an, kebersihan, dan kesucian. Allah s.w.t. berfirman:
وَ أَلْزَمَهُمْ كَلِمَةَ التَّقْوى وَ كَانُوْا أَحَقَّ بِهَا
“Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan mereka memang berhak atasnya.” (501)
هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ فِيْ قُلُوْبِ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Dialah yang menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang berīmān.”(512)
فَعَلِمَ مَا فِيْ قُلُوْبِهِمْ فَأَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَيْهِمْ
“Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka dan Dia menurunkan ketenangan pada mereka.”(523)
Dalam kisah Ibrāhīm a.s. Allah menyatakan:
وَ لكِن لِّيَطْمَئِنَّ قَلْبِي
“ Namun agar hatiku menjadi tenang.”(534)
وَ تَطْمَئِنَّ قُلُوبُنَا
“Dan hati kami menjadi tenteram.”(545)
أُولئِكَ الَّذِيْنَ امْتَحَنَ اللهُ قُلُوْبَهُمْ لِلتَّقْوى لَهُمْ
“Mereka adalah orang-orang yang Allah uji hati mereka dengan ketaqwāan.”(556)
Rasūl s.a.w. menjelaskan ketaqwāan dengan menunjuk ke hati beliau. Allah s.w.t. berfirman:
إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ
“Allah hanya menerima dari orang-orang yang bertaqwā.”(567).
Pangkal takwa tumbuh di dalam hati. Yaitu, dengan menjauhi keraguan, kemusyrikan, kemunafīqan, dan ria.
Terkait dengan kesucian, Allah berfirman:
ذلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوْبِكُمْ
“Itu adalah lebih suci bagi hati kalian.”(578)
أُولئِكَ الَّذِينَ لَمْ يُرِدِ اللهُ أَن يُطَهِّرَ قُلُوبَهُمْ
“Mereka adalah orang-orang yang Allah tidak ingin menyucikan hati mereka.”(589)
وَ لِيُمَحَّصَ مَا فِي قُلُوبِكُمْ
“Untuk membersihkan apa yang terdapat dalam hati mereka.”(5910)
Terkait dengan rasa takut, Allah berfirman:
قُلُوْبُهُمْ وَجِلَةٌ
“Sementara hati mereka merasa takut.”(6011)
وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
“Hati mereka takut.” (6112)
Terkait dengan kutundukkan, Allah berfirman:
فَتُخْبِتَ لَهُ قُلُوْبُهُمْ
“Hati mereka tunduk kepada-Nya.”(6213)
Terkait dengan kelembutan, Allah berfirman:
ثُمَّ تَلِيْنُ جُلُوْدُهُمْ وَ قُلُوْبُهُمْ إِلى ذِكْرِ اللهِ
“Kemudian kulit dan hati mereka lembut (tenang) dengan mengingat Allah.”(6314)
Terkait dengan ketidakpahaman, Allah berfirman:
لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا
“Mereka mempunyai hati, tetapi tidak bisa memahami dengannya.”(6415)
Terkait dengan kekhusyukan, Allah berfirman:
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوْبُهُمْ لِذِكْرِ اللهِ
“Sudah tiba waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk mengkhusyukkan hati guna mengingat Allah.”(6516)
Suatu ketika Rasūlullāh s.a.w. melihat seseorang sedang salat dalam kondisi sedang memainkan janggutnya. Maka, Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Seandainya hati orang ini khusyū‘, seluruh anggota tubuhnya juga khusyū‘.” (6617)
Sebagian ahli tafsir menyatakan bahwa pengertian khusyū‘ adalah rasa takut yang senantiasa tertanam dalam hati. (6718)
Perlu diketahui, tidak ada ciptaan Allah yang lebih baik daripada hati yang merasa tenteram dengan cahaya tauḥīd, makrifat, dan īmān. Tidak ada yang lebih suci, yang lebih bersih, yang lebih bertaqwā, yang lebih murni, dan yang lebih lapang daripadanya jika Allah membersihkannya dari berbagai najis, menghidupkannya lewat cahaya kebenaran, memelihara dan menjaganya, serta menambahkan padanya berbagai manfaat. Itulah hati seorang mu’min. Cahayanya tidak terkira-kira. Sebaliknya, tidak ada yang lebih buruk daripada hati tersebut ketika Allah menelantarkan pemiliknya, membiarkannya, serta menyerahkannya kepada syaithan. Itulah hati orang munāfiq. Sebab, ia merupakan sumber kemusyrikan, keraguan, kemunafīqan, keraguan, dan penyakit. Allah s.w.t. berfirman:
إِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ
“Sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis.”(6819)
Terkait dengan orang munāfiq, Allah berfirman:
إِنَّهُمْ رِجْسٌ
“Mereka adalah najis.”(6920)
Terkait dengan keraguan, Allah berfirman:
قُلُوْبُهُمْ فَهُمْ فِيْ رَيْبِهِمْ
“Hati mereka ragu.”(7021)
Terkait dengan pengingkaran, Allah berfirman:
قُلُوْبُهُمْ مُّنْكِرَةٌ
“Hati mereka ingkar.”(7122)
Terkait dengan penyakit:
فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَّرَضٌ
“Dalam hati mereka terdapat penyakit.”(7223)
Pangkal segala dosa adalah kesatnya hati. Al-Ḥākim (7324) berkata: “Apabila hati telah kesat, ia tidak peduli jika berbuat salah.” Ketika hati bersinar dengan cahaya Allah dan cahaya iman, Allah akan turun tangan memeliharanya sekaligus memenuhinya dengan rasa cinta dan takut. Lalu Dia menguncinya dengan gembok kekuasaan serta meletakkan kunci kehendak-Nya dalam khazanah ghaib-Nya. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang mampu mengetahuinya kecuali saat sakarat-ul-maut. Ketika itulah akan tampak baginya apa yang ghaib. Sebaliknya, apabila hati terisi oleh gelapnya kekufuran, keraguan, dan kemunāfiqan, Allah akan menjadikan syaithan sebagai temannya. Sehingga, setan itulah yang memelihara dan menguncinya dengan gembok kelalaian. Hanya Allah yang mengetahui kesudahannya. Hal itu baru tampak ketika napas sudah di tenggorokan. Itulah rahasia Allah yang tidak dapat diketahui oleh siapa pun juga. Betapa banyak orang kafir yang kemudian diberi taufīq keimanan sehingga mati dalam keadaan bahagia. Dan betapa banyak orang mu’min yang dekat dengan Allah lalu Tuhan mengabaikannya sehingga ia mati dalam keadaan celaka.
Ketahuilah bahwa kekuasaan Allah pasti berlaku. Tidak ada yang mengetahui tujuan dan kehendak-Nya terhadap makhlūq dan ‘amal-‘amal penutup mereka kecuali sekelompok nabi. Itu adalah pertanda benarnya kenabian mereka. Rasūlullāh s.a.w. pernah memberitahukan sepuluh orang sahabat beliau yang akan masuk surga sebagai bentuk kemuliaan dan karunia Allah atas beliau. (7425)
Ketahuilah bahwa wilayah wajibnya pahala dan hukuman adalah hati berikut pelaksanaannya oleh diri ini. Allah s.w.t. berfirman:
وَ لكِن يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا كَسَبَتْ قُلُوْبُكُمْ
“Akan tetapi, Allah akan menghukum mereka karena apa yang disengaja oleh hati mereka.” (7526).
Ini terkait dengan hukum di akhirat. Adapun yang terkait dengan hukum dunia, maka diri ini dihukum dengan apa yang diperbuatnya. Sementara apa yang terkait antara hamba dan Tuhan, hukumnya didasarkan pada apa yang ada di hati. Sehubungan dengan kasus yang menimpa ‘Ammār ibn Yāsir, (7627) Allah s.w.t. berfirman:
“ kecuali jika ia dalam kondisi dipaksa, sementara hatinya merasa tenteram dengan keimanan.”
Allah menjelaskan bahwa hal itu tidak membahayakannya karena hatinya masih merasa tenteram di atas īmān. Seorang hamba diberi pahala ketika melakukan rukun agama apabila niat hatinya lurus di atas cahaya īmān. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Manusia diberi pahala sesuai dengan kadar niat mereka.” “‘Amal perbuatan bergantung kepada niatnya.” “Tidak ada ‘amal bagi orang yang tidak mempunyai niat.”
Shadr merupakan tempat bermuaranya ‘ilmu ‘ibārah. Sementara hati merupakan sumber ‘ilmu yang berada di bawah ‘ilmu ‘ibārah menjadi argumen (ḥujjah) Allah atas makhlūq. Allah akan berkata kepada mereka: “Apa yang kalian lakukan terhadap ilmu yang kalian ketahui?” Adapun ‘ilmu isyārah adalah jalan hamba menuju Allah lewat petunjuk-Nya padanya. Allah memberikan padanya kondisi hati terbuka yang menyaksikan apa yang tersembunyi dan melihat apa yang dibalik ḥijāb. Seolah-olah ia melihatnya dengan mata kepala. Hati merupakan tempat ilmu ‘isyārah. Yang dimaksud dengan ‘ilmu ‘ibārah adalah ‘ilmu yang diungkapkan lewat lisan, sementara ‘ilmu isyārah adalah ‘ilmu yang menuntun qalbu seseorang menuju rubūbiyyah, keesaan, keagungan, kemuliaan, kekuasaan, dan semua sifat-Nya berikut berbagai hakikat ciptaan dan perbuatan-Nya.
Sumber cahaya iman dan cahaya al-Qur’ān adalah satu, yaitu hati. Kedua cahaya tersebut serupa. Allah s.w.t. berfirman: “Sesungguhnya engkau tidak mengetahui apa itu al-Qur’ān dan apa itu iman. Akan tetapi, Kami jadikan ia sebagai cahaya.” (7728) Allah menggabungkan dua cahaya itu dengan huruf hā’ (ia) sebagai ganti dari sesuatu yang satu. Ma‘na isyārah adalah bahwa sejak menuju kepada Tuhan lewat rubūbiyyah-Nya, ia tidak mengingkari-Nya, tidak mensyukuri selain-Nya, dan tidak mengharap selain-Nya. Ketahuilah, cahaya hati tidak pernah terpecah dan tidak terbagi. Sebab, ia merupakan pangkal yang jika datang, ia datang secara keseluruhan, dan jika pergi, ia pun pergi secara keseluruhan. Demikian pula dengan gelapnya kekufuran. Sebab, ia merupakan pangkal segala musibah kecuali jika pergi. Bisa saja kekuatannya melemah, menua, dan terpecah seperti lampu. Ia tetap merupakan sebuah lampu, meskipun kekuatan cahaya bertambah atau berkurang. Selanjutnya, cahaya shadr dan kegelapannya bisa bertambah dan berkurang. Sebab, ia merupakan cabang, Ia bisa tegak dengan nafs. Darinya masuk kekurangan dalam aspek agama atau bisa pula bertambah. Dalilnya adalah sabda Rasūlullāh s.a.w. terkait dengan para wanita. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kekurangan dalam hal akal dan agama.” (7829) Maksudnya adalah dalam cabang agama saat mengalami haid dan nifas. Jadi, jelas bahwa cahaya shadr beragam dan mengamalkannya juga pada banyak waktu dan ukuran. Siapa yang menginginkan pengetahuan darinya, maka cahaya di shadr-nya juga kian terang sesuai dengan kadar yang ada. Sebaliknya, cahayanya meredup ketika tidak dipergunakan. Sebab, yang mengemban (membalut) pengetahuan jenis ini adalah nafs. Sebagaimana ia bisa bertambah dan berkurang, demikian pula dengan perbuatan dan sifat-sifatnya. Ia juga bisa bertambah dan berkurang.
Selanjutnya, cahaya hati pada dasarnya sempurna. Ia seperti matahari yang terbit sempurna. Hanya saja ketika cuaca tidak baik, seperti mendung, berkabut, sangat dingin, dan sangat panas, maka semua itu akan menutupi cahaya matahari. Sehingga, kekuatan cahaya dan panasnya menjadi berkurang. Ketika berbagai gangguan di atas kian meningkat, ia bisa melenyapkan cahayanya. Jadi, bukan zatnya yang cacat, tetapi berbagai manfaatnya terputus lantaran berbagai gangguan tersebut. Demikian pula dengan cahaya iman, cahaya makrifat, dan cahaya tauḥīd ketika gelapnya kelalaian, awan kealpaan, dan tirai kemaksiatan menutupinya serta ketika shadr dikotori debu syahwat, kabut keburukan jiwa, dan sikap putus asa dari rahmat Allah. Ketika itu, kekuatan cahaya tersebut berkurang dari nafs dan ia berada di bawah tirai-tirai tadi. Ketika semua penyakit di atas terangkat dari shadr berkat anugerah dan taufīq dari Allah dan ketika tobat hamba kepada-Nya telah benar, maka tirai penutup tadi tersingkap dan kekuasaannya meluas. Siapa yang dengan taufīq dari Allah mau merenungkan masalah ini serta berpegang pada sunnah, niscaya Allah akan melenyapkan segala macam syubhat dari hatinya serta akan menghilangkan kotoran keraguan dari shadr-nya. Selain itu, Allah akan mencurahkan hidāyah padanya untuk menyaksikan berbagai hakikat yang tersembunyi. Ini sangat jelas bagi mereka yang Allah berikan kemudahan dalam memahami.
Selanjutnya, cahaya hukum-hukum syarī‘at, yakni cahaya Islām di dalam shadr, bisa bertambah dengan benarnya mu‘āmalah dan usaha. Tetapi cahayanya bisa meredup jika tidak menegakkan syarī‘at dan tidak mengamalkannya. Cahaya hukum tersebut sama seperti bulan. Ia bisa bertambah dan berkurang.
Islām merupakan nama yang mencakup pokok dan cabang-cabang agama. Allah telah menyempurnakan agama ini dengan berbagai cabang dan hukumnya selama dua puluh tahun lebih. Hanya saja, ada beberapa hukum yang Dia hapuskan untuk diganti dengan hukum yang lain. Sementara iman, makrifat, dan tauḥīd tidak boleh dihapus dan diganti. Orang yang berakal dan diberi taufīq, jika merenungkannya, bisa memahami perbedaan antara apa yang dibawa oleh nafs dan apa yang dibawa oleh hati. Namun, orang mu’min adalah orang yang Allah tambahkan kebaikan pada setiap waktu sehingga posisinya menjadi mulia dilihat dari kemampuannya menyaksikan berbagai kelembutan Allah s.w.t. serta bagaimana tersingkap baginya berbagai tirai ghaib dari waktu ke waktu yang sebelumnya hal itu tidak ia ketahui. Demikian pula kondisi seorang hamba. Kadang kala melemah dan diseret kelalaian. Ia seperti lampu tertutup tirai. Dilihat dari dalam, kondisinya tidak berubah. Hanya saja, cahaya dan manfaatnya tertabiri dan tidak bisa memancar. Ia pun sama seperti cermin yang terbungkus kain. Pada dasarnya ia tetap, hanya saja manfaat keluar tidak ada. Ketahuilah bahwa kitab suci yang diturunkan ini sama seperti ketika Jibrīl a.s menurunkannya dengan pengetahuan Allah s.w.t. Sumbernya adalah hati nabi s.a.w. Allah berfirman:
قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِّجِبْرِيْلَ فَإِنَّهُ نَزَّلَهُ عَلى قَلْبِكَ بِإِذْنِ اللهِ
“Katakan, Siapa yang menjadi musuh Jibrīl, maka sesungguhnya Dia telah menurunkannya ke dalam hatimu dengan idzin Allah.” (7930)
نَزَلَ بِهِ الرُّوْحُ الأَمِيْنُ
“Ia diturunkan oleh Rūḥ-ul-Amīn (Jibrīl a.s.) ke dalam hatimu.”(8031)