Perbuatan itu Bergantung pada Niatnya – Ikhlas Tanpa Batas

Ikhlas Tanpa Batas
 
Belajar Hidup Tulus dan Wajar

Kepada 10 Ulama – Psikolog Klasik
 
Imām al-Ghazālī (w. 505 H)
Imām al-Ḥākim al-Tirmidzī (w. 320 H)
Imām al-Nawawī al-Dimasyqī (w. 676 H.)
Syekh al-Ḥārits al-Muḥāsibī (w. 243 H)
Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī (w. 561 H.)
Syekh Ibn ‘Athā’illāh (w. 709 H.)
Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H)
Syekh ‘Abd al-Raḥmān al-Lajā’ī (w. 599 H.)
Syekh ‘Abd al-Ḥamīd al-Anqūrī (abad 8 H)
Syekh Muḥammad al-Birgawī (w. 995 H)
 
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Perbuatan itu Bergantung pada Niatnya - Ikhlas Tanpa Batas

Seperti halnya jasad tak bernilai tanpa ruh, demikian juga amal; ia tak bernilai tanpa niat. Niat adalah hatinya hati. Kalau saja niat tak bertempat di hati, entah seperti apa nilai hati.” (Syekh Abū Thālib al-Makkī)

Marilah mulai wisata hati ini dengan niat yang sebenar-benarnya. Niat itu penting. Mulai dari niatlah ketulusan kita diuji. Agar yakin akan hal ini, marilah simak ujaran Syekh Ibn Taimiyah dalam sebuah risalahnya, Syarḥ Ḥadīts Innamā al-A‘māl bi an-Niyyāt.

 

1

Perbuatan itu Bergantung pada Niatnya

[Syekh Ibn Taimiyah (w. 728 H)]

 

Inti amal saleh adalah keikhlasan hamba karena Allah dalam niatnya. Karena itulah, ulama salaf suka mengawali majelis dan kitab mereka dengan hadits: “Perbuatan itu bergantung pada niatnya.” Kita perlu mengikuti tradisi mereka ini karena merekalah generasi Islam terbaik.

‘Umar ibn al-Khaththāb mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَ إِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى. فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ فِهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ. وَ مَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.

Amal itu bergantung pada niatnya. Bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Siapa hijrahnya adalah karena Allah dan Rasūl-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasūl-Nya. Sedangkan siapa hijrahnya adalah karena dunia yang ia ingin miliki atau perempuan yang ia ingin nikahi, maka hijrahnya karena hal itu pula.

Hadits ini disepakati kesahihannya. Umat Islam menerima dan membenarkannya, sekalipun hadits ini diriwayatkan oleh satu orang di salah satu tingkatan perawinya (gharīb). Hadits ini sebetulnya mempunyai banyak jalur periwayatan ke Nabi, namun ahli hadits sepakat bahwa satu-satunya yang shaḥīḥ adalah jalur ‘Umar ibn al-Khaththāb.

Makna hadits ini adalah salah satu ajaran pokok agama, bahkan inti setiap perbuatan. Inilah mengapa para ulama mengatakan bahwa poros Islam terletak pada tiga hadits, dan salah satunya hadits ini. Aḥmad misalnya menyebutkan: 1). Hadits “Segala perbuatan itu bergantung pada niatnya. 2). Hadits “Siapa melakukan amalan yang tak diperintahkan, maka tertolak,” dan 3). Hadits “Yang halal itu jelas, dan yang haram itu pun jelas.”

Sesungguhnya agama berarti melakukan apa yang Allah perintahkan dan meninggalkan apa yang Allah larang. Hadits ketiga menerangkan apa yang dilarang.

Sedangkan apa yang Allah perintahkan itu dua macam: 1). Amal lahir, yaitu apa yang diwajibkan atau dianjurkan, dan 2). Amal batin, yakni ikhlas karena Allah. Hadits kedua menolak cara ber-taqarrub kepada Allah dengan selain apa yang Allah perintahkan, yang wajib ataupun sunnah. Adapun hadits pertama menjelaskan amal batin, dan menyatakan bahwa taqarrub kepada Allah haruslah disertai keikhlasan karena Allah.

Terkait dengan ini, al-Fudhail menafsirkan firman Allah: “untuk menguji kalian siapa dari kalian yang paling bagus amalnya.” (al-Mulk: 2), berarti sebagai yang paling ikhlas dan benar amalnya.

Ia mengatakan: kalaupun amal dilakukan dengan ikhlas, namun tidak benar, maka tidaklah diterima; dan kalaupun dilakukan dengan benar, namun tidak ikhlas, tidaklah diterima; yang diterima adalah yang dilakukan dengan ikhals dan benar sekaligus. Ikhlas berarti dilakukan karena Allah; benar berarti dilakukan berdasarkan sunnah. Ini pula yang ditunjukkan oleh firman Allah: “Barang siapa mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah beramal saleh dan tidak mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.” (al-Kahf: 110). Amal saleh adalah yang diperintahkan Allah dan Rasūl-Nya, baik perintah wajib ataupun anjuran, sedangkan tidak mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Allah berarti ikhlas karena Allah.

Juga oleh firman Allah: “Bahkan barang siapa yang berserah diri kepada Allah sedang ia pelaku ihsan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya.” (al-Baqarah: 112).

Juga firman Allah: “Dan siapakah yang lebih baik agamanya daripada orang yang ikhlas berserah diri kepada Allah sedang ia pelaku ihsan dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus?” (al-Nisā’: 125).

Juga firman Allah: “Dan barang siapa yang berserah diri kepada Allah sedang ia pelaku ihsan, maka sungguh ia telah berpegang pada buhul tali yang kokoh.” (Luqmān: 22).

Berserah diri kepada Allah mengandung pengertian mengikhlaskan amal karena Allah, sedangkan ihsan berarti membaguskan amal demi Allah, yakni mengerjakan apa yang diperintahkan, sebagaimana difirmankan: “Kami tentu tak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang membaguskan amalnya.” (al-Kahf: 30). Buruk dalam beramal baik mengandung pengertian meremehkan perintah mengenai amal baik itu, meremehkan amal baik itu sendiri, meremehkan ganjaran yang dijanjikan Allah.

Jika hamba ikhlas dalam beragama karena Allah, dan membaguskan amal demi Allah, maka ia termasuk “orang yang berserah diri kepada Allah sedang ia pelaku ihsan,” dan karenanya termasuk “orang yang bagi mereka pahala pada sisi Tuhannya, dan mereka tidak mempunyai kekhawatiran dan tidak pula bersedih.”

Kata “niat” (niyyah) dalam istilah orang ‘Arab hampir sinonim dengan “kehendak” (qashd) dan “keinginan” (irādah). Niat adakalanya dipahami sebagai salah satu macam keinginan, dan adakalanya dipahami semakna dengan keinginan. Akan tetapi, sebagian orang berpendapat niat itu lebih spesifik daripada keinginan, karena keinginan itu berkaitan dengan perbuatan sendiri ataupun perbuatan orang lain, sedangkan niat hanya berkaitan dengan perbuatan sendiri. Anda bisa mengatakan: “Aku niat orang itu begini.”

Orang-orang berselisih pendapat mengenai hadits: “Innama al-a‘mal bi an-niyyat (amal itu bergantung pada niat).” Ulama muta’akhirin berpendapat bahwa yang dimaksud di sini adalah niat dalam amal syariat yang diwajibkan atau dianjurkan. Tidak semua amal mensyaratkan niat ini. Dalam urusan pemenuhan hak seperti penyerahan barang titipan atau pelunasan utang, tidak diperlukan niat secara syar‘i.

Ada yang mengatakan, maksud hadits ini adalah “pahala amal itu bergantung pada niatnya,” atau “terimanya amal itu bergantung pada niatnya”. Yang lain berpendapat, maksudnya adalah amal syar‘i atau sahnya amal syar‘i atau dibalasnya amal syar‘i.

Mayoritas (jumhur) ulama mengatakan bahwa hadits ini berlaku umum, tidak hanya berlaku pada amal saleh saja; melainkan mencakup niat baik ataupun buruk, dan amal baik ataupun buruk – itulah mengapa hadits tersebut selanjutnya menyebutkan niat yang baik: “siapa berhijrah karena Allah dan Rasūl-Nya….” dan niat yang buruk: “siapa berhijrah karena perempuan atau harta…”

Diriwayatkan bahwa sebab keluarnya sabda Nabi ini adalah: seorang lelaki berhijrah dari Makkah ke Madīnah demi seorang wanita berjuluk Umm Qais yang ia cintai. Orang ini pun dijuluki Muhūjir Umm Qais (Yang Menghijrahi Umm Qais). Inilah mengapa yang disebut dalam hadits adalah “wanita yang ingin ia nikahi,” (sedang pria tidak disebut) yakni karena cerita tadi.

Hijrah secara lahir adalah bepergian dari satu tempat ke tempat lain. Bepergian sendiri bisa bermacam-macam, bisa wajib seperti berhaji atau berjihad, dan bisa terlarang seperti pergi merampok atau memberontak kaum muslimin.

Karena itulah fuqahā’ membedakan maksiat dengan bepergian dan maksiat dalam bepergian. Mereka berpendapat: jika orang melakukan perjalanan yang diperbolehkan seperti haji, umrah atau jihad, maka bolehlah ia mengqasar shalat atau berbuka puasa, sekalipun ia bermaksiat dalam perjalanan tersebut. Akan tetapi, bila orang bermaksiat dengan perjalanan tersebut, seperti membegal, maka mengenai apakah mereka mendapatkan rukhsah terdapat perbedaan pendapat. Pendapat Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad: tidak berhak mendapatkan rukhsah. Sedangkan pendapat Abū Ḥanīfah berhak.

Nabi s.a.w. menyebut hijrah, yang maksudnya adalah untuk mencakup segala jenis amal, dan bukan amal yang dengan sendirinya merupakan sarana taqarrub seperti shalat atau puasa, dan maksudnya adalah untuk menyebut jenis niat. Teranglah bahwa sabda Nabi: “innamā al-a‘māl bi an-niyyāt” termasuk karunia Allah kepada Nabi berupa jawāmi‘ al-kalim (perkataan singkat yang sarat makna) – sebagaimana sabdanya: “Aku diutus dengan bekal jawāmi‘ al-kalim.”

Hadits di atas termasuk kalimat singkat yang padat makna, yang mengandung pengertian bahwa setiap amal baik dan buruk itu tergantung pada niatnya. Jika ia menghendaki tujuan yang baik dengan amalnya, maka baginya tujuan yang baik, dan sebaliknya jika ia menghendaki tujuan yang buruk, maka baginya apa yang diniatkannya itu.

Dalam perkataan ulama, niat bisa bermakna sebagai pembeda antara satu amal dan amal lain, antara satu ibadah dan ibadah lain, dan bisa bermakna sebagai pembeda antara seorang pengamal dan pengamal lain. Yang terakhir ini seperti pembeda antara orang yang ikhlas beramal karena Allah dan orang yang riyā’ atau sum‘ah; antara yang menginginkan Allah dan yang menginginkan dunia.

Ada yang mendefinisikan orang ikhlas sebagai yang tak peduli bila orang-orang berpikiran lain tentangnya demi terjaganya hatinya bersama Allah, dan tak pula senang bila barang secuil pun amalnya tampak di mata manusia. Akan tetapi, definisi ini mencakup ikhlas pada sembarang amal, dan ini tak berlaku pada semua manusia, karena kebanyakan kaum muslimin ikhlas karena Allah dalam banyak amal mereka yang sama-sama mereka lakukan, seperti puasa dan shalat.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *