Penyembuhan Cara Sufi – Shalat : Postur Para Nabi – Nasehat Shalat (3/3)

Syakh Ghulam Moinuddin

Judul Asli : The Book of Sufi Healing
Penerjemah : Arif Rakhmat
Penyunting : Ahmad Norma Permata
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta

(lanjutan)

Sayangnya ada beberapa orang yang menyatakan dirinya sebagai Sufi palsu di Barat, yang secara sembrono menyatakan bahwa shalât itu tidak perlu. Mereka menyatakan bahwa aktivitas-aktivitas formal seperti shalât hanyalah aktivitas ritual, yang tidak lagi diperlukan oleh para pengikut spiritual. Orang yang salah mengerti ini memberi contoh Ibnu’Arabi ra., Maulânâ Rûmî ra., Imam al-Ghazali ra., dan Manshur al-Hallaj ra. sebagai contoh-contoh Sufi yang liberal dan berpikiran benar-benar bebas. Dan mereka meremehkan siapa saja yang mengerjakan shalat atau menganggap kewajiban untuk me- ngerjakannya sebagai seorang fundamentalis yang berpikiran kolot.

Saya berharap bahwa penjelasan beberapa aspek praktik shalât yang sangat dalam tadi akan memberikan inspirasi bagi orang-orang untuk mempelajari dan mempraktikkan shalât agar dapat mempelajari pengaruh-pengaruhnya yang sangat banyak. Orang-orang besar yang disebutkan di atas, seperti Maulânâ Rûmî ra. dan Ibnu ‘Arabi, pada kenyataanya meru- pakan para penganut spiritual yang shalât-nya paling rajin dan tulus.

Suatu hari di bulan Desember di Konya, Maulânâ Rumî ra. masuk ke dalam hujrah-nya (tempat meditasi) untuk me- ngerjakan shalât malamnya. Pada saat waktu shalât subuh telah tiba, dia tidak kelihatan. Para pengikutnya menjadi khawatir karena dalam dua belas tahun Maulânâ tidak pernah meninggalkan mereka dalam shalat berjamaah. Waktu terus berlalu dan kegelisahan para murid semakin bertambah, akhirnya seseorang memutuskan untuk membuka pintu. Di dalam, mereka sangat terkejut menemukan Maulânâ dengan janggutnya yang membeku di lantai, sedang berusaha untuk melepaskan dirinya sendiri. Dalam shalât nya, Maulana meneteskan air mata sedemikian banyaknya sehingga terjadi segenang air mata, dan sujudnya dalam cuaca dingin sedemikian lamanya sehingga air matanya membeku, yang akhirnya menjerat dirinya pada janggutnya.

Mansur al-Hallaj ra. menjadi terkenal dalam sejarah Sufisme karena tuduhan pelanggaran terhadap para ulama ortodoks. Namun demikian, dia sebenarnya telah diperiksa dan dinyatakan bersalah karena membocorkan rahasia-rahasia suci, yang dia dengar sewaktu menguping saudara perempuannya, yang juga seorang ulama sufi. Pemeriksaan berlangsung selama lebih delapan tahun. Dan sewaktu Mansur al Hallaj menunggu pelaksanaan eksekusi selama satu minggu terakhir hidupnya, dia menghabiskan waktunya dengan mengerjakan shalât secara terus-menerus, dan pada hari terakhir hidupnya dia telah mengerjakan 500 rakaat shalât.

Para Sufi merupakan pendukung shalât yang paling aktif. Ada sebuah cerita tentang Hazrat Abdul-Qadir Jailani ra., yang pada suatu pagi hampir kehilangan waktu shalât subuh. Seekor kucing datang ke sisinya sewaktu beliau masih tertidur dan mulai mengusiknya sampai beliau terbangun. Menyadari akan keterlambatan waktunya, Abdul-Qadir ra. segera mengerjakan dua rakaat shalât subuhnya. Sewaktu selesai mengerjakan shalât-nya, beliau memperhatikan kucing tadi, dan dengan penglihatan spiritualnya, beliau melihat bahwa kucing tersebut sebenarnya adalah setan. Hal ini mengherankan beliau, mengapa setan mau membangunkannya untuk mengerjakan shalát, sehingga beliau bertanya, “Saya dapat melihat bahwa engkau adalah setan, tetapi mengapa engkau membangunkan aku untuk shalât subuh?

Kucing itu menjawab, “Engkau benar-benar taat dan pandai seperti kata setan-setan kawanku. Karena engkau telah mengetahui aku, maka aku akan menceritakannya padamu. Aku tahu bahwa jika engkau kehilangan waktu shalât wajibmu, engkau akan mengerjakan seratus rakaat shalat sebagai penggantinya, maka aku bangunkan engkau sehingga engkau hanya mendapatkan keuntungan dari dua rakaat shalât saja.

Dalam Kesufian, Syeikh menetapkan beberapa praktik ibadah bagi para muridnya yang memperpanjang dan memper- banyak praktik shalât. Pertama, yang ditambahkan pada shalât wajibnya (fardh), adalah shalât-shalât tambahan yang biasa dikerjakan oleh Nabi Muhammad saw. Shalât-shalât tambahan ini disebut shalât sunnah, dan menambah lebih banyak aktivitas ibadah para murid. Yang terakhir, postur-postur shalat dikerjakan selama periode yang berbeda-beda, sampai satu jam atau lebih – dan dibacakan beberapa ayat Al-Qur’an yang penuh dengan makna spiritual.

Shalât merupakan langkah pertama dan langkah terakhir bagi orang yang beriman. Inilah maksud sebenarnya dari penyatuan seseorang dengan seluruh kemanusiannya dan dengan Allah Yang Mahakuasa. Shalât ini tidak pernah mengalami perubahan dalam pelaksanaannya (dan tidak pernah terjadi se lama 1.400 tahun) sehingga menjadi fondasi terbentuknya praktik-praktik spiritual yang lebih murni. Bagi setiap orang yang ingin menikmati kesehatan yang paling baik, yang dapat menyelaraskan kehidupan fisik, mental, emosi dan spiritual, tak ada lagi obat yang lebih baik selain shalât. Seperti yang telah dikatakan Hazrat Khwaja Gharib Nawaz kepada para pengikutnya, “Cepatlah dan kerjakanlah shalât, sebelum Saat-saat Terakhir datang.

Tidaklah tepat untuk mengatakan, seperti beberapa orang telah mengatakannya, bahwa apabila seorang “pencari” telah mendapatkan apa yang diinginkannya, maka ibadah dan pengabdian tidak lagi diwajibkan padanya, karena Pemimpin Dunia, Rasulullah saw., selalu bersujud dalam shalât dan pengabdiannya di hadapan Allah. Walaupun beliau telah mencapai puncak pengabdian, beliau selalu berkata, “Ya Allah, aku malu, karena aku tidak beribadah kepada Engkau seperti yang aku sebenarnya mampu kerjakan.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *