Dan Allah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang berpikir (Al-Qur’an 45:13).
Apakah kesehatan itu? Apabila kita membicarakan organisme manusia dalam masalah kesehatan, maka kita pertama kali harus memahami beberapa masalah yang terkait.
Apakah manusia itu? Bagaimana ia diciptakan? Bagaimana ia bertahan dalam kehidupannya? Dan apakah tujuan hidup manusia? Tanpa memahami jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan tadi kita tidak pernah dapat mengenal jenis kesehatan yang seharusnya kita usahakan. Karena tanpa kriteria yang tepat tentang manusia, bagaimana mungkin kita dapat mengatakan apakah kita sakit ataukah sehat? Karena sesuatu yang di rasakan “baik” tidak selalu berarti keuntungan bagi kita. Sebaliknya, pada saat kita terlihat sakit, kita tidak dapat menganggap pengalaman itu sebagai hal yang “buruk”, kecuali jika kita memahami bagaimana dan apa akibat-akibat yang akan terjadi dari kondisi seperti ini.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Ada hal-hal yang diberikan untukmu tetapi kamu tidak menyukainya walaupun itu baik bagimu, dan ada hal-hal yang kamu menyukainya tetapi itu tidak baik bagimu.” Sufi besar, Imam al-Ghazali ra, menyatakan ide ini sebagai berikut: rasa sakit merupakan salah satu bentuk pengalaman yang dapat membawa manusia pada pengetahuan Allah, seperti yang difirmankan-Nya: “Keadaan sakit adalah kehendak-Ku yang aku berikan bagi hamba-hamba-Ku yang terpilih.”
Jadi kita tidak perlu menganggap sakit sebagai musuh kita, lebih baik kita menganggapnya sebagai suatu kejadian, suatu mekanisme tubuh, yang akan membantu kita membersihkan, mensucikan dan menyeimbangkan aspek fisik, emosi, mental dan spiritual. Dengan pandangan semacam ini, serangan flu, demam, diare, bahkan berbagai jenis rasa sakit yang membuat kita menderita, adalah sahabat yang akan membuat tubuh kita mampu membersihkan efek samping metabolisme yang bersifat meracuni dan memang tidak diperlukan.
Para ahli pengobatan Barat berusaha keras untuk meng hentikan atau menghambat berbagai fungsi eliminatif tubuh; untuk menghentikan dorongan muntah dengan obat-obat perut, menahan diare dengan minuman pengeras cairan, menghilangkan demam dengan aspirin atau obat-obat sejenisnya. Setiap kerja alamiah tubuh manusia merupakan suatu keadaan yang terjadi dengan sendirinya, suatu mekanisme yang memungkinkan tubuh menyembuhkan dirinya sendiri. Tidak ada tumbuhan, makanan atau substansi dan prosedur yang dapat melakukan penyembuhan di dalam tubuh; semua itu hanya membantu tubuh dalam menyembuhkan dirinya sendiri. Jika jari anda teriris pisau, bukan jahitan, pembalut atau iodium yang menyebabkan jari anda sembuh, tetapi kulit itu sendiri yang melakukan penyembuhan.
Apabila kita memikirkan keadaan sakit, kita pertama kali selalu memikirkan adanya luka atau rasa sakit akut sebagai penyebabnya. Akan tetapi sekarang banyak orang yang mulai menyadari bahwa aspek lain, yaitu mental, pikiran dan perasaan kita dapat menjadi tidak seimbang dan menimbulkan rasa sakit dan penderitaan, walaupun secara klinis tidak ada yang “salah” dengan fisik kita. Pendekatan terhadap kesehatan dan penyakit seperti ini dikenal sebagai pendekatan holistik.
Memang akan lebih mudah memahami aspek fisik. Tubuh memberi tahu kita dengan indera perseptif (penglihatan, suara, sentuhan, rasa dan penciuman) dan indera vegetatif (apabila sesuatu yang tidak beres telah terjadi dan kita mengambil langkah-langkah untuk memperbaiki masalah tersebut). Fungsi vegetatif, atau instingtif, dari tubuh untuk mempertahankan hidup, ada pada liver yang kadang-kadang juga disebut pengatur kehidupan. Seluruh kerja fisik kita diatur oleh fungsi liver dan enzim-enzim yang terdapat di dalamnya.
Dalam bahasa Arab, nafs adalah istilah untuk tubuh dengan segala kebutuhannya. Nafs berarti permintaan tubuh terhadap makanan, kehangatan, kemasyhuran, dan keberuntungan (yang mencakup kebutuhan dan dorongan emosional). Semua penyakit fisik dapat ditandai dengan salah satu atau beberapa dimensi fisik tersebut.
Kata nafs memiliki banyak arti: napas, kehidupan hewani, jiwa, diri seseorang, esensi, dan sebagainya. Dalam Sufisme, perkembangan jiwa digambarkan dengan mempertimbangkan evolusi nafs, yang terlihat dalam tingkah laku manusia sebagai karakter, kepribadian dan tingkah laku seseorang. Nafs amarah merupakan jiwa penguasa, yang menciptakan keinginan-keinginan. Inilah kondisi nafs yang terlihat apabila se seorang mengalami tahapan egotisme (maqam an-nafs).
Tingkah laku yang dianjurkan dalam Al-Qur’an (syari’at) merupakan sarana untuk mengendalikan dan mengurangi keinginan-keinginan tersebut, yang mengarahkan nafs kepada kondisi yang lebih baik. Jiwa yang suci disebut nafsi kull, yang berarti jiwa universal yang menyatu dengan Allah pada tahap akhir Sufisme. Namun demikian sekalipun sudah berada pada tahap-tahap terakhir dari praktik Sufisme, seseorang tidak dapat menganggap dirinya kebal dari kelemahan jiwa.
Aspek kedua dari kehidupan kita adalah dunia pikiran atau kita sebut saja dunia emosi dan mental. Pikiran tidak sepenuh nya terpisah dari tubuh, tetapi merupakan bagian dari, dan berhubungan erat dengan, fungsi fisik. Suasana hati dan perasaan yang berasal dari pikiran (emosi, seperti perasaan marah, khawatir dan bahagia) seringkali berpengaruh terhadap tubuh. Apabila salah satu atau beberapa unsur itu dialami, maka tekanan darah dapat naik atau turun, keringat tubuh, air mata akan keluar.
Yang menarik adalah adanya beberapa penyakit dan kondisi yang kita anggap sebagai kondisi emosional, ternyata berasal dari ketidakseimbangan fisik. Misalnya, rasa marah yang sangat. Para psikolog biasanya menandai hal ini sebagai suatu kondisi pikiran atau emosi. Tetapi menurut sistem Thibb dari seorang dokter berkebangsaan Persia, Ibnu Sina, kemarahan yang sangat merupakan salah satu cara paling efektif dari tubuh untuk menghilangkan pengendapan yang berlebihan di sekeliling jantung. Hal ini dapat dikoreksi dengan mudah melalui pengaturan diet.
(bersambung)