(lanjutan)
Beberapa ordo secara keliru menyatakan bahwa Sufisme terpisah dari agama Islam. Bahwa Sufisme lebih berpikiran luas dan terbuka, sementara agama Islam itu sempit, statis, terbelakang dan kuno. Pernyataan ini tidak hanya merupakan konsep yang tidak beralasan, tetapi juga tindakan yang sangat merugikan bagi mereka yang sedang berusaha mencari jalan kehidupan yang benar, yaitu petunjuk Allah. Bagi mereka yang menyatakan bahwa seluruh jalan akan menuju kepada Allah, Dia sendiri telah memberitahukan: “Jika engkau tidak tahu ke mana akan pergi, jalan yang akan dilalui.”
Jutaan naskah yang dapat dipercaya telah menyatakan bahwa Sufisme secara langsung berasal dari Islam, dikembangkan oleh orang-orang Islam dan mencapai kematangannya di dalam agama Islam. Sufisme merupakan jiwa Islam yang menyatu dalam suatu kerangka kerja konseptual.
Para Sufi adalah suatu golongan khusus di dalam agama Islam, yang bertanggung jawab mempertahankan dan menyebarkan pengetahuan yang lebih mendalam dan ghaib (ilm), yang terkandung dalam Al-Qur’an. Ada beberapa ajaran Kitab Suci yang mudah diketahui dan dipahami, yang disebut ayat ayat muhkamat, yang dapat dimengerti oleh setiap orang. Dan ada pula beberapa ajaran yang dianggap mengandung rahasia yang disebut ayat-ayat mutasyabihat yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. kepada sahabat Ali ra., yang kemudian di sampaikan kepada sahabat yang lain dari mulut ke mulut dan terus berlangsung sampai sekarang melalui para Sufi, di yang sebut silsilah.
Kehidupan Sufi adalah kehidupan spiritual, sesuai petunjuk yang diberikan oleh Allah dalam Al-Qur’an. Pada akhir nya, orang yang berhasil akan diakui sebagai orang yang dapat berjumpa atau menyatu dalam realitas Sang Pencipta, Pemilik, Pelindung kehidupan, yaitu Allah.
Perlu dicatat bahwa kata Allah tidaklah berarti satu jenis Tuhan, atau Tuhannya orang Islam saja. Umat Nasrani yang berbahasa Arab menggunakan kata Allah untuk menyebut Tuhan. Kita menggunakan kata Allah, karena istilah ini tidak pernah digunakan untuk menunjuk selain Tuhan Yang Maha Esa. Keuntungan selanjutnya yang didapat dari huruf-huruf dan suara bahasa Arab akan dijelaskan dalam buku ini, Insya Allah.
Bagi para Sufi, tujuan hidup tertinggi adalah melayani dan mengabdi kepada Allah, untuk “membalas” semua kebaikan Nya. Sebagaimana Sang Pencipta dengan tanpa pilih kasih telah mencurahkan matahari, hujan dan kasih sayang kepada semua makhluk-Nya, demikian juga para Sufi berusaha untuk mengasihi seluruh umat manusia tanpa memperhatikan kasta, kepercayaan, usia, jenis kelamin, warna kulit, agama atau asal kebangsaan. Tahap-tahap dalam Sufisme berpijak pada asumsi bahwa dengan mengingat Allah, seseorang, melalui karunia Allah, akan menjadi sirna (fana’) dalam Allah yang selalu diingatnya.
Dalam Ordo Chishtiyah di Ajmer, India, terdapat salah satu jalan (seperti jalan kecil) yang terhampar sepanjang dargah (tempat peristirahatan) milik Hazrat Khwaja Mu’inuddin Chishti ra. Sepanjang jalan itu duduk sekitar tiga lusin pria dan wanita pada waktu tertentu, dan dari penampilan luarnya, mereka seperti orang yang terasing dan hina. Namun bila kita melihat pandangan-mata mereka, maka akan terlihat air muka kebahagiaan dan ketenangan, kepuasan, kepercayaan serta kepasrahan yang sangat mendalam kepada Allah (tawakkul Allah), bahwa Allah akan memberikan semua yang mereka perlukan. Makan atau tidak bukanlah masalah bagi mereka, bahkan mereka juga tidak tahu apakah mereka bersih atau kotor. Setiap orang yang berpapasan dengan mereka, entah orang jahat atau orang baik selalu diberi ucapan salam yang sama, suatu ungkapan kasih sayang yang tiada batas, dan doa yang paling dalam, semoga orang-orang tersebut mendapatkan rahmat dan karunia Allah. Sekali kondisi itu terbentuk, maka tidak akan pernah berakhir, SubhaanAllah, SubhaanAllah, SubhaanAllah.
(bersambung)