Penyembuhan Cara Sufi – Pendahuluan (1/5)

Syakh Ghulam Moinuddin

Judul Asli : The Book of Sufi Healing
Penerjemah : Arif Rakhmat
Penyunting : Ahmad Norma Permata
Penerbit : Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta

Bismillahirrahmanirrahim Subhanallahi walhamdulillahi wa laa ilaha illallahu wa-Allahu akbar.

Pertama-tama saya panjatkan segala puji bagi Allah Yang Mahakuasa, untuk keindahan ciptaan-Nya dan untuk kasih sayang-Nya yang selalu ada dan dilimpahkan kepada makhluk Nya. Kebaikan-Nya dilimpahkan kepada ciptaan-Nya, kehidupan serta pengajaran pada seluruh utusan-Nya, dan disempurnakan dalam wujud nabi-Nya yang terakhir, juru selamat bagi umat manusia, pimpinan dunia-akhirat, Muhammad saw.

Insya Allah, jika Allah mengabulkan dan memberi hidayah-Nya, saya berencana untuk merumuskan beberapa prinsip umum dan prinsip khusus kesehatan serta kesejahteraan manusia yang telah dikembangkan oleh para Sufi dalam praktik-praktik kerohanian Islam. Bagi beberapa pembaca, barangkali buku ini merupakan yang pertama berhubungan dengan masalah tersebut, sementara bagi mereka yang telah cukup lama menjalankan cara hidup Islami diharapkan dapat memperkuat kepercayaan serta keyakinannya. Masya Allah.

Ada dua tujuan penting dari buku ini, yaitu untuk memberikan penjelasan mengenai kesehatan dan beberapa praktik penyembuhan yang khas dari para Sufi, dan untuk memberikan beberapa keterangan umum tentang tahap-tahap perkembangan yang harus dilalui dalam rangka mencapai kehidupan Sufi.

Banyak pendekatan yang dapat dilakukan dengan topik utama penyembuhan Sufi. Dan perlu dicamkan bahwa Sufisme merupakan satu topik khusus dalam agama Islam, dan praktik penyembuhan Sufi merupakan suatu topik khusus yang sama pentingnya. Dan sebenarnya pembahasan yang lengkap tentang hal ini akan memerlukan puluhan ribu buku dan teks, tidak hanya satu.

Selain itu, ada suatu masalah dalam mengemukakan praktik Sufisme yang sebenarnya, bagi masyarakat yang barangkali telah memiliki pandangan salah mengenai Sufisme sampai saat ini. Diharapkan mereka yang menganggap Sufisme hanya merupakan persepsi yang tidak jelas mengenai “Tuhan dan Kebaikan”, akan dapat belajar dari buku ini yang merupakan salah satu petunjuk praktis untuk mencapai kondisi tertinggi evolusi manusia. Bagaimanapun, isi buku ini hanyalah setetes air dalam lautan pengetahuan yang sangat luas sekali.

Mari kita coba memisahkan beberapa konsep, definisi dan pandangan istilah “Sufi”. Seorang yang memiliki pengetahuan sejati mengenai topik ini telah mengemukakan: Ada satu kondisi jiwa (hal), yang disebut afghan dalam bahasa Sufi, berarti kegembiraan dan cinta yang dirasakan seseorang sewaktu berjumpa dengan, atau merasakan, kelimpahan llahi. Seseorang akan mencucurkan air mata yang indah. Walaupun kondisi ini tidak diragukan akan datang dan pergi, ia hanya bisa terjadi pada pribadi-pribadi saleh yang mengalami banyak penderitaan, dengan kebahagiaan tertinggi pada akhirnya.

Arti yang kedua dari kata afghan menunjuk pada tingkat spiritual jiwa (maqam) sebagai tanda bagi seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian yang sebenarnya. Orang seperti ini dapat dikatakan telah mampu memadamkan kobaran (atisy) hasrat dirinya (nafs) sampai suatu kondisi yang tidak pernah berkobar lagi. Siapa pun yang mengalami keadaan ini dapat disebut sebagai seorang Sufi, lebih tepatnya dia dapat disebut wali (jamak: awliya), yang berarti “kekasih Allah”.

Banyak orang, terutama di dunia Barat, yang dengan seenaknya menunjuk dirinya sendiri dan orang lain sebagai Sufi, padahal sebenarnya tidak mengetahui seperti apa posisi tertinggi dari orang-orang yang telah mencapai kesucian melalui rahmat dan karunia Allah Yang Mahakuasa. Karenanya, merupakan semacam kesombongan bila menganggap diri sendiri telah ada pada posisi itu. Pendiri Ordo Sufi Chishtiyah di India, Hazrat Khwaja Mu’inuddin Chishti ra. telah menyatakan bahwa Sufi sejati adalah seseorang yang tidak melihat, mendengar, mengucapkan atau memikirkan sesuatu yang dapat menimbulkan dosa.

Walaupun ada lebih dari 150 ordo dalam Sufisme, mereka semuanya sama dalam satu hal: bahwa semua pengikutnya, mulai dari yang belum berpengalaman sampai pada guru tertinggi, dalam pikiran dan tingkah lakunya, sangat mentaati perintah agama Islam, yang dikenal dengan istilah syari’at.

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *