Berikutnya keterangan mengenai murāqabah. Murāqabah secara bahasa berarti pendekatan. Sedangakan secara istilah, murāqabah adalah mata hati yang selalu memandang Allāh s.w.t. dengan ta‘zhīm (mengagungkan-Nya), (Majmū‘-ur-Rasā’il-il-Imām-il-Ghazālī, halaman: 179). Murāqabah juga berarti mengetahui dan meyakini bahwa sesungguhnya Allāh s.w.t. Maha Melihat segala sesuatu yang ada di dalam hati dan mengetahui semua itu. Allāh s.w.t. selalu memantau setiap getaran yang tercela yang membuat hati sibuk hingga lupa berdzikir. (al-Luma‘ fī Tārīkh at-Tashawwuf al-Islāmī, halaman: 51).
Al-Ḥārits berkata: “Barang siapa yang memperbaiki hati/bāthinnya dengan jalan murāqabah dan ikhlāsh dalam beramal, maka Allāh akan menghiasi zhāhir/lahirnya dengan perilaku mujāhadah serta senang melakukan amalan-amalan yang sunnah, (Thabaqāt-ush-Shūfiyyah, halaman: 62).
Selanjutnya adalah penjelasan tentang maḥabbatullāh. Yakni cinta kepada Allāh s.w.t. dengan mengikuti jejaknya Nabi Muḥammad s.a.w. dari segi akhlak/perilakunya, pekerjaanya, serta hal-hal yang telah diperintahkan. Sunnahnya yaitu mengikuti syarī‘atnya sebagaimana mencintai Allāh adalah dengan mencintai Rasūl-Nya, (Nasy’at-ut-Tashawwuf-il-Islāmī, halaman: 278).
وَ لَا تَحْصُلُ حَقِيْقَةُ الْمَحَبَّةِ مِنَ الْعَبْدِ لِرَبِّهِ إِلَّا بَعْدَ سَلَامَةِ الْقَلْبِ مِنْ كُدُوْرَاتِ النَّفْسِ. فَإِذَا اسْتَقَرَّتْ مَحَبَّةُ اللهِ فِي الْقَلْبِ خَرَجَتْ مَحَبَّةُ الْغَيْرِ. لِأَنَّ الْمَحَبَّةَ صِفَةٌ مُحْرِقَةٌ تَحْرُقُ كُلَّ شَيْءٍ لَيْسَ مِنْ جِنْسِهَا (وَ عَلَامَتُهَا) قَطْعُ شَهَوَاتِ الدُّنْيَا وَ الْآخِرَةِ. وَ قَالَ يَحْيَ بْنُ مُعَاذٍ: صَبْرُ الْمُحِبِّيْنَ أَشَدُّ مِنْ صَبْرِ الزَّاهِدِيْنَ، (تنوير القلوب، ص: 485).
Hakikat kecintaan seorang hamba kepada Allāh tidak akan terwujud kecuali dengan hati yang telah bersih dari segala kotoran. Ketika maḥabbatullāh telah ada dalam hati, maka cinta kepada selain-Nya akan sirna. Ini disebabkan karena maḥabbah adalah satu sifat yang bisa membakar segala sesuatu yang tidak termasuk bagian dari maḥabbah itu sendiri. Di antara tanda-tanda maḥabbatullāh adalah hilangnya keinginan duniawi maupun ukhrawi. Yaḥyā ibn Mu‘ādz berkata: “Kesabaran para pecinta Allāh s.w.t. itu lebih dahsyat daripada kesabaran orang-orang yang ahli zuhud”, (Tanwīr-ul-Qulūb, halaman: 485).
وَ قَالَ عَلَيْهِ السَّلَامِ: عَلَامَةُ حُبِّ اللهِ حُبُّ ذِكْرِهِ.
Nabi s.a.w. bersabda: “Tanda cinta kepada Allāh s.w.t. adalah cinta menyebut-Nya”. (Jāmi’-ul-Ushūli fil-Auliyā’, halaman: 290).
وَ حَدَّثَنِيْ عَنْ مَالِكٍ عَنْ سُهِيْلٍ بنِ أَبِيْ صَالِحٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَحَبَّ اللهُ الْعَبْدَ قَالَ لِجِبْرِيْلَ قَدْ أَحْبَبْتُ فُلَانًا فَأُحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ ثُمَّ يُنَادِيْ فِيْ أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّ فُلَانًا فَأُحِبُّوْهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي الْأَرْضِ وَ إِذَا أَبْغَضَ اللهُ الْعَبْدَ قَالَ مَالِكٌ لَا أَحْسَبُهُ إِلَّا أَنَّهُ قَالَ فِي الْبُغْضِ مِثْلَ ذلِكَ، (تنوير الحوالك، ج 3، ص: 128).
Sementara itu, Ketika Allāh s.w.t. mencintai seorang hamba karena mulia budi pekerti, kearifan, dan kebijaksanaannya yang selalu bermanfaat bagi orang di sekitarnya. Maka, tidaklah sulit bagi Allāh s.w.t. untuk mengangkat derajat hamba yang dicintai-Nya. Allāh s.w.t. akan mengatakannya kepada malaikat Jibrīl bahwa Dia mencintai seorang hamba, yang kemudian Jibrīl mengumumkannya kepada seluruh penduduk langit. Dan jika sudah demikian, maka seluruh penduduk langit pun turut mencintai hamba tersebut. Demikan halnya dengan hamba yang dimurkai-Nya, jika Allāh s.w.t. murka terhadap seorang hamba, maka Allāh s.w.t. akan mengatakannya kepada malaikat Jibrīl, kemudian Jibrīl mengumumkannya kepada seluruh penduduk langit. Sehingga seluruh penduduk langit pun turut murka pada hamba tersebut. (Tanwīr-ul-Hawālik, juz 3, halaman: 128).
Berikutnya tentang prasangka atau praduga yang memiliki peran besar dan hikmah yang agung dalam kehidupan ini. Maka sudah sepatutnya kita harus selalu menjaga setiap bisikan hati agar tetap berprasangka baik (Ḥusn-uzh-Zhann) terhadap segala sesuatu yang telah Allāh s.w.t. tetapkan, agar kita termasuk orang-orang yang beruntung. Dan sebaliknya, dengan berburuk sangka (Su’-uzh-Zhann) kepada-Nya akan memberikan kemadharatan pada diri kita sendiri.
Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
قَالَ اللهُ تَعَالٰى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ إِنْ ظَنَّ خَيْرًا فَلَهُ وَ إِنْ ظَنَّ شَرًّا فَلَهُ.
Allāh s.w.t. berfirman: “Aku sebagaimana prasangka hamba-Ku kepada-Ku. Jika dia berprasangka baik, maka (baik) baginya. Dan jika dia berprasangka buruk, maka (buruk) baginya”, (Faydh-ul-Qadīr, juz 4, halaman: 643).
وَ قَدْ قَالَ: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ فَلْيَظُنَّ بِيْ خَيْرًا، (إحياء علوم الدين، ج 3، ص: 374).
Allāh s.w.t. berfirman: “Aku tergantung prasangka hamba-Ku kepada-Ku, oleh karena itu berbaik prasangkalah kepada-Ku”.
Hal tersebut sesuai dengan pengertian dan sebuah keyakinan bahwa Allāh s.w.t. sangat dekat dengan kita. Sehingga kedekatan itu adalah kedekatan secara hakiki.
الْقُرْبُ الْحَقِيْقِيُّ قُرْبُ اللهِ مِنْكَ قَالَ اللهُ تَعَالَى: وَ إِذَا سَأَلَكَ عِبَادِيْ عَنِّيْ فَإِنِّيْ قَرِيْبٌ. وَ قَالَ تَعَالَى: وَ نَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَ لكِنْ لَا تُبْصِرُوْنَ. وَ قَالَ عَزَّ مِنْ قَائِلٍ: وَ نَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيْدِ. وَ حَظُّكَ مِنْ ذلِكَ إِنَّمَا هُوَ مُشَاهَدَتُكَ لِقُرْبِهِ فَقَطْ، فَتَسْتَفِيْدُ بِهذِهِ الْمُشَاهَدَةِ شِدَّةَ الْمُرَاقَبَةِ وَ غَلَبَةَ الْهَيْبَةِ وَ التَّأَدُّبَ بِآدَابِ الْحَضْرَةِ وَ أَمَّا أَنْتَ فَلَا يَلِيْقُ بِكَ إِلَّا وَصْفُ الْعَبْدِ وَ شُهُوْدُهُ مِنْ نَفْسِكَ كَمَا يَقُوْلُ الْمُؤَلِّفُ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى بَعْدَ هذَا: إِلَهِيْ مَا أَقْرَبَكَ مِنِّيْ وَ مَا أَبْعَدَنِيْ عَنْكَ، (شرح الحكم، ج 2، ص: 40).
Kedekatan hakiki adalah dekatnya Allāh s.w.t. dengan dirimu. Allāh s.w.t. berfirman: “Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku dekat”, (Q.S. al-Baqarah: 186). Dan Allāh s.w.t. berfirman: “Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat”, (Q.S. al-Wāqi‘ah: 85). Dan firman Allāh: “Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya”, (Q.S. Qāf: 16). Bagianmu dari semua itu adalah persaksianmu terhadap kedekatan-Nya saja. Dengan musyāhadah ini kau ambil hikmah dengan kedekatan yang sungguh-sungguh, ketakutan yang mendalam, dan beretika dengan etika di hadapan Allāh s.w.t. Tidak pantas bagimu, kecuali dengan beretika sebagai seorang hamba, dan penyaksianmu kepada Allāh s.w.t. melalui dirimu. Sebagaimana apa yang diucapkan oleh mu’allif (Ibnu ‘Athā’illāh) setelah ini: “Tuhanku, alangkah dekatnya Engkau dariku, dan alangkah jauhnya diriku dari-Mu”. (Syarḥ-ul-Ḥikam, juz 2, halaman: 40).
Pandangan Allāh s.w.t. terhadap makhluk-Nya berbeda dengan apa yang menjadi pandangan makhluk. Allāh s.w.t. memberikan penilaian atas seorang hamba bukan dari sisi zhāhirnya, melainkan yang menjadi ukuran adalah sisi bātinnya. Seburuk apapun wajah seorang hamba dan serendah apapun derajatnya di mata manusia, namun penilaian Allāh s.w.t. hanya tertuju pada kemuliaan hatinya. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasūlullāh s.a.w.:
قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: إِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَ لَا إِلَى أَمْوَالِكُمْ وَ لكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوْبِكُمْ . رواه مسلم (تنوير القلوب، ص 419)
Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allāh s.w.t. tidak memandang penampilan kalian, juga tidak memandang harta kalian, melainkan Dia memandang hati kalian”. (Tanwīr-ul-Qulūb, halaman: 419).
Selain itu, ada pula sebuah pengakuan dosa dari seorang hamba dengan memohon ampun kepada Allāh s.w.t. akan tetapi pengakuan tersebut adalah bohong. Hal itulah yang kemudian Rasūlullāh s.a.w. menganggap mereka adalah golongan orang-orang yang menghina Allāh s.w.t.
وَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اَنَّهُ قَالَ الْمُسْتَغْفِرُ بِاللِّسَانِ الْمُصِرُّ عَلَى الذُّنُوْبِ كَالْمُسْتَهْزِئِ بِرَبِّهِ، (تنبيه الغافلين، ص: 370).
Dikisahkan dari Nabi s.a.w. bahwa beliau bersabda: “Orang yang memohon ampun dengan lisan (membaca istighfār) tapi tetap melakukan perbuatan dosa, maka dia seperti orang yang menghina Tuhannya”. (Tanbīh al-Ghāfilīn, halaman: 370).