a. Sabar atas berlakunya ketetapan Allāh dan mengambil sikap seperti sikapnya orang-orang pilihan, tidak mengambil ‘amal yang ringan (rukhshah) karena takut dan lari dari api neraka.
b. Menghilangkan perilaku watak kemanusiaan, meletakkan sifat-sifat ruhaniah, (semua perilaku) berhubungan dengan ilmu hakikat, melakukan amal yang utama karena kehidupan akhirat yang abadi, memberi nasihat kepada seluruh umat, patuh kepada Allāh s.w.t. secara hakiki, mengikuti syarī‘at Rasūlullāh s.a.w.
c. Tidak lupa, tidak melirik, tidak berpisah dari Allāh s.w.t., berbakti kepada orang tua, meninggalkan tuntutan nafsu dan merasakan rasa yang sama ketika dipuji dan dicela.
Abū ‘Abdillāh bin Khafīf juga berpendapat, bahwaShūfīadalah orang yang memperhatikan Allāh dengan sesuatu keadaan jiwa yang wajib dijaganya.
a. Orang yang tidak gelisah dalam kegelisahannya dan orang yang tetap dalam (maqām) ketetapannya.
b. KeberadaanShūfī ada dalam al-Wujdu (sesuatu pengetahuan ghaib yang datang ke dalam hati tanpa disengaja) dan sifatnya dalah ḥijāb(penghalang).
c. Orang yang tidak bisa angkat oleh bumi dan langit tidak bisa menaunginya (menurut Hadits qudsi bahwa langit dan bumi tidak bisa memuat Allāh, yang bisa memuat Allāh hanya hati hamba Allāh)
لَايَسَعَنِيْ أَرْضِيْ وَلَاسَمَائِيْ وَلَكِنْ يَسَعَنِيْ قَلْبُ عَبْدِيْ التَّقِى، (فيض القدير، ج 2 حديث 4969)
Dunia adalah alam jasmani sementara hati adalah alam ruhani. Alam jasmani tidak bisa memuat alam ruhani sehingga dikatakan bumi tidak mampu mengangkat dan langit tidak bisa menaungi orangShūfī.
d. Lebih mulia dibanding ungkapan bahasa akan tetapi barang siapa yang menyicipinya maka dia menemukan rasanya.
a. Keadaan jiwa yang tegak bersama dengan Allāh al-Ḥaqq.
b.Tashawwufdapat membuahkan tawādhu‘, meninggalkan memandang selain Allāh dan meninggalkan merasa bahagia dengan kefakiran (merasa lebih utama dari orang lain), melihat keutamaan orang-orang fakir, berbuat kebaikan kepada seluruh makhluq baik mu‘min dan kafir selama tidak merobohkan syarī‘at dan masuk pada kemakruhan.
Selanjutnya, Sayyidinā ‘Usmān bin ‘Affān berkata:Tashawwuf adalah mencari washīlah menuju keutamaan, (Ḥilyat al-Auliyā’ wa Thabaqāt al-Ashfiyā’, juz 1 halaman: 100). Keterangan lain menyebutkan bahwa tashawwuf adalah berakhlaq dengan akhlaq ketuhanan, (Mu’jam al-Kalimāt ash-Shūfiyyah, halaman: 22).
Berikut ini penjelasan beberapa ‘Ulamā’ tentangtashawwuf yang terdapat di dalam kitab Ḥilyah:
Menurut Imām Qusyairī terdapat ciri-ciri kepribadian dan perilaku orangShūfī:
عَلاَمَةُ الصُّوْفِيّ الصَّادِقِ: أَنْ يَفْتَقِرَّ بَعْدَ الْغِنىَ، وَيَذِلَّ بَعْدَ الْعِزِّ، وَيَخْفىَ بَعْدَ الشُّهْرَةِ، وَعَلاَمَةُ الصُّوْفِيْ اَلْكَاذِبِ: أَنْ يَسْتَغْنِيَ بِالدُّنْيَا بَعْدَ الْفَقْرِ، وَيَعِزَّ بَعْدَ الذِلِّ، وَيَشْتَهِرَ بَعْدَ الْخُلَفَاءِ (الرسالة القشيرية، ص:126-127)
Berikut ciri-cirinya yang terbagi menjadi dua;
a. Seorang Shūfī Shādiq: merasa miskin setelah memperoleh kekayaan, merasa hina setelah mendapatkan kemuliaan, dan menyamarkan dirinya setelah terkenal.
b. Seorang Shūfī Kādzib: merasa kaya akan harta sesudah faqir, merasa mulia setelah hina, merasa terkenal yang mana sebelumnya dia tidak masyhur, (ar-Risālah al-Qusyairiyyah,halaman: 126-127).
Sementara itu, maqām orangShūfīada tiga, di antaranya;
وَقِيْلَ: الصُّوْفِي مَنْ لَا يَمْلِكُ شَيْئًا وَلَا يَمْلِكُهُ شَيْءٌ،
Dalam Jāmi‘ al-Ushūl fī al-Auliyā’ disebutkan bahwa Shūfīadalah orang yang tidak memiliki apa-apa, serta tidak dikuasai oleh siapapun.
“Dikatakan bahwa seorangShūfī adalah orang yang tidak memiliki sesuatu, dan tidak pula dimiliki oleh apapun.” (Jāmi‘ al-Ushūl fī al-Auliyā’, halaman: 329).
Kemuliaan dan keutamaan paraShūfī adalah bahwa mereka bisa mencapai Ḥaqīqat Īmān dengan mewujudkan tiang atau rukun-rukun Īmān yang di antaranya adalah Īmān kepada Qadar, (baik dan buruknya, manis dan pahitnya) bagi mereka adalah sama dalam arti ridhā, pasrah, kesempurnaan ma‘rifat dan murninya keyakinan baik pada waktu gembira maupun susah, waktu dalam kehinaan maupun kejayaan, (Al-Futūḥāt al-Ilāhiyyah fī Syarḥi al-Mabāḥits al-Ashāliyyah, halaman: 69).
Fudhayl bin ‘Iyādh menceritakan kisah seorang raja yang terkenal dengan nama Sultan Hārūn ar-Rasyīd yang sedang mendengarkan nasihat seorang ‘ulamā’Shūfīyang bernama Syaikh Rajā’ bin Ḥayāt yang mengatakan: “Wahai sultan jika anda ingin selamat dari siksa Allāh s.w.t. di akhirat, maka cintailah orang-orang muslim seperti anda mencintai diri sendiri, apa yang anda benci pada diri sendiri berlakukanlah pada diri mereka (jika sudah bisa) lalu matilah sesukamu. Aku mengatakan ini kepada anda karena aku sangat khawatir pada suatu hari anda terpleset dari jalan kebenaran, apakah ada orang mengatakan hal ini pada anda sebelumnya dengan landasan belas-kasihan dan memintakan rahmat Allāh untuk anda?”
Seketika itu, Sultan Hārūn ar-Rasyīd menangis sampai tak sadarkan diri. Setelah sadar, Sultan Hārūn ar-Rasyīd minta untuk dinasihati lagi. Kemudian Syaikh Rajā’ bin Ḥayāt berkata: “Wahai pimpinan orang-orang mu’min, sesungguhnya paman Nabi yang bernama ‘Abbās datang kepada Nabi lalu bertanya tentang kepemimpinan”. Nabi s.a.w. bersabda:
إِنَّ الْإِمَارَةَحَسْرَةٌ وَنَدَامَةٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَإِنِ اسْتَطَعْتَ أَنْ لَا تَكُوْنَ أَمِيْرًا فَافْعَلْ.
“Sesungguhnya menjadi pemimpin adalah kesedihan dan penyesalan pada Hari Qiyāmat, jika engkau mampu untuk tidak jadi pemimpin maka lakukanlah”.
Mendengar nasihat ini Sultan Hārūn ar-Rasyīd menangis dengan keras lalu Sultan Hārūn ar-Rasyīd meminta nasihat lagi, Syaikh Rajā’ bin Ḥayāt berkata: Wahai orang yang wajahnya tampan anda akan ditanya oleh Allāh tentang keadaaan ini pada Hari Qiyāmat, jika anda mampu untuk menjaga wajah tampan ini dari jilatan api neraka, maka hati-hatilah tiap pagi dan sore dalam hati anda ada tipu-daya kepada salah satu rakyat anda karena Nabi s.a.w. bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ لَهُمْ غَاشًّا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ.
“Barang siapa pada pagi harinya memiliki tipu-daya kepada manusia, maka dia tidak akan mencium bau surga”.
Kemudian Sultan Hārūn ar-Rasyīd menangis, (Ḥilyat al-Auliyā’ wa Thabaqāt al-Ashfiyā’, juz 6 halaman: 341).