مَنْ تَصَوَّفَ وَ لَمْ يَتَفَقَّهْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ، وَ مَنْ تَفَقَّهَ وَ لَمْ يَتَصَوَّفْ فَقَدْ تَفَسَّقَ، وَ مَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّقَ
“Barang siapa yang bertashawwuf tanpa Ilmu Fiqih, maka dia disebut zindiq (orang yang pura-pura beriman), dan barang siapa yang mendalami Ilmu Fiqih tanpa bertashawwuf maka dia disebut fāsiq. Barang siapa yang menyeimbangkan antara keduanya maka dialah ahli ḥaqīqat yang sesungguhnya.” (Al-Futūḥāt al-Ilāhiyyah fī Syarḥi al-Mabāḥits al-Ashāliyyah, halaman: 64)”
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para imam bahwa Allāh s.w.t. telah menyebutkan di dalam al-Qur’ān orang-orang yang tulus, taat (patuh), tunduk, yakin, ikhlas, berbuat baik, dan orang-orang yang takut kepada Allāh. Al-Qur’ān juga menyebutkan orang-orang yang selalu mengharap ridhā Allāh, ahli ibadah, orang-orang yang beri‘tikaf, sabar, ridhā, tawakkal, tawādhu‘, mencintai Allāh, dan bertaqwā. Mereka adalah orang-orang pilihan, berbakti, dan dekat dengan Allāh.
Tidak ada pula perbedaan pendapat bahwa mereka semua adalah umat Muḥammad s.a.w. Jika mereka tidak ada di masa Nabi Muḥammad dan memang mustaḥīl keberadaannya di semua masa, maka tentu Allāh tidak akan menyebutkannya di dalam al-Qur’ān dan Rasūlullāh tidak akan menjelaskannya di dalam Hadits, (al-Luma‘ fī Tārīkh at-Tashawwuf al-Islāmī, halaman: 20).
وَ مَوْضُوْعُ هٰذَا الْعِلْمِ: اَلذَّاتُ الْعَلِيَّةُ، لِأَنَّهُ يَبْحَثُ عَنْهَا بِاعْتِبَارِ مَعْرُوْفَتِهَا : ذَاتًا وَ صِفَاتٍ وَ أَسْمَاءٍ: تَعَلُّقًا وَ تَـخَلُّقًا وَ تَـحَقُّقًا. وَ وَاضِعُهُ: اَلرَّسُوْلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَحْيًا وَ إِلْهَامًا. وَ حَدُّهُ: صِدْقُ التَّوَجُّهِ إِلَى اللهِ تَعَالٰى مِنْ حَيْثُ يَرْضَى، بِمَا يَرْضَى. وَ اسْتِمْدَادُهُ: مِنَ الْكِتَابِ وَ السُّنَّةِ، وَ إِلْهَامَاتِ الصَّالِـحِيْنَ، وَ فُتُوْحَاتِ الْعَارِفِيْنَ. وَ ثَمْرَتُهُ: تَصْفِيَةُ الْبَوَاطِنِ بِالتَّخَلِّيَّةِ وَ التَّحَلِّيَّةِ لِتَتَهَيَّأَ لِوَارِدَاتِ الْأَنْوَارِ الْإِلٰهِيَّةِ وَ الْفُتُوْحَاتِ الرَّبَّانِيَّةِ.
Tema pembahasan tashawwuf adalah dzāt yang maha tinggi (Allāh), karena yang dibahas tentang ma‘rifatullāh baik dzāt, sifat dan nama-namaNya dengan ta‘alluq, takhalluq, dan taḥaqquq-Nya. Peletak dasar tashawwuf adalah Rasūlullāh s.a.w. melalui wahyu dan ilhām. Batas tashawwuf adalah kebenaran dalam ber-tawajjuh (menghadap) kepada Allāh dari apa saja dan dengan apapun yang diridhai-Nya.
Landasan/dasar tashawwuf adalah al-Qur’ān, Hadits, ilham para orang-orang shalih dan orang-orang yang ma’rifatullah (orang-orang yang terbuka hatinya). Buah tashawwuf adalah membersihkan batin dengan takhalliyyah (membersihkan batin dari sifat-sifat tercela) dan taḥalliyyah (membersihkan batin dengan sifat-sifat terpuji) agar siap untuk menerima nūr ilāḥiyyah (cahaya ketuhanan). (Al-Futūḥāt al-Ilāhiyyah fī Syarḥi al-Mabāḥits al-Ashāliyyah, halaman: 60).
Aḥmad bin Muḥammad bin ‘Ajībah al-Ḥasanī menjelaskan beberapa rukun tashawwuf berikut ini:
وَ قَدْ قَالُوْا: اَرْكَانُ التَّصَوُّفِ مَجْمُوْعَةٌ فِيْ أَرْبَعَةِ الْأَشْيَاءِ، وَ هِيَ: كَفُّ الْأَذَى، وَ حَمْلُ الْجَفَا، وَ شُهُوْدُ الصَّفَا، وَ رَمْيُ الدُّنْيَا بِالْقَفَا.
Rukun tashawwuf ada empat;
1). Kaff-ul-Adzā, yakni Mencegah penganiayaan/kezhaliman,
2). Ḥaml-ul-Jafā, yakni Sabar (menerima) ketidakramahan atau kebrutalan orang lain,
3). Syuhūd-ush-Shafā, yakni kejernihan hatinya tampak dalam perilakunya, dan
4). Ramy-ud-Dunyā bil-Qafā, yakni Menghilangkan kecintaan dunia (zuhud), (Al-Futūḥāt al-Ilāhiyyah fī Syarḥi al-Mabāḥits al-Ashāliyyah, halaman: 13).
نَقْضُ الْأُصُوْلِ وَ الْأَرْكَانِ هُوَ: إِهْمَالُهَا وَ الْعَمَلُ بِأَضَدَادِهَا. وَ أُصُوْلُ التَّصَوُّفِ خَمْسَةٌ: تَقْوَى اللهِ فِي السِّرِّ وَ الْعَلَانِيَةِ. وَ اِتْبَاعُ السُّنَّةِ فِي الْأَقْوَالِ وَ الْأَفْعَالِ. وَ الْإِعْرَضُ عَنِ الْـخَلْقِ فِي الْإِقْبَالِ وَ الْإِدْبَارِ. وَ الرِّضَى مِنَ اللهِ فِي الْقَلِيْلِ وَ الْكَثِيْرِ. وَ الرُّجُوْعُ إِلَى اللهِ فِي السَّرَّاءِ وَ الضَّرَّاءِ.
1). Taqwā kepada Allāh di kala sepi dan dalam keramaian,
2). Mengikuti sunnah Nabi dalam segala ucapan dan perbuatan,
3). Tidak bergantung terhadap makhluk baik di hadapan maupun di belakangnya,
4). Ridha dengan pemberian Allāh baik banyak maupun sedikit, dan
5). Semua permasalahan di kembalikan kepada Allāh baik dalam waktu gembira maupun susah. (Al-Futūḥāt al-Ilāhiyyah fī Syarḥi al-Mabāḥits al-Ashāliyyah, halaman: 354).
وَ أَمَّا ثُبُوْتُ شَرَفِهِ بِاالنَّقْلِ، فَلَا شَكَّ أَنَّ الْكِتَابَ وَ السُّنَّةَ وَ إِجْمَاعَ الْأُمَّةِ وَرَدَتْ بِمَدْحِ جُزْئِيَّاتِهِ وَ مَسَائِلِهِ، كَالتَّوْبَةِ، وَ التَّقْوَى، وَ الْإِسْتِقَامَةِ، وَ الصِّدْقِ، وَ الْإِخْلَاصِ، وَ الطُّمَأْنِيْنَةِ، وَ الزُّهْدِ، وَ الْوَرَعِ، وَ التَّوَكُّلِ، وَ الرِّضَى، وَ التَّسْلِيْمِ، وَ الْمَحَبَّةِ، وَ الْمُرَاقَبَةِ، وَ الْمُشَاهَدَةِ، وَ غَيْرِ ذٰلِكَ مِنْ مَسَائِلِهِ.
Keutamaan dan kemuliaan ilmu tashawwuf tidak diragukan di dalam al-Qur’ān, Hadits dan Ijmā‘ ‘Ulamā’ tentang bagian-bagian dan berbagai permasalahannya, seperti taubat, taqwā, istiqāmah, jujur, ikhlas, thuma’nīnah, zuhud, wara‘, tawakkal, ridhā, berserah diri, kecintaan kepada Allāh, murāqabah, musyāhadah, dan lain sebagainya. (Al-Futūḥāt al-Ilāhiyyah fī Syarḥi al-Mabāḥits al-Ashāliyyah, halaman: 61).
Ilmu tashawwuf adalah ilmu yang mengetahui perilaku hati (yang baik atau yang tercela) dan cara membersihkan dari sifat-sifat tercela serta menghiasi diri dengan akhlak yang baik dan meninggalkan akhlak yang tercela. Sasaran tashawwuf adalah perilaku hati dan panca indra, sedangkan buahnya adalah sucinya hati dan ma‘rifat, juga selamat di akhirat dan ridha Allāh serta kebahagiaan yang abadi.
Sedangkan kemuliaannya adalah:
(وَفَضْلُهُ) أَنَّهُ أَشْرَفُ الْعُلُوْمِ لِتَعَلُّقِهِ بِمَعْرِفَةِ اللهِ تَعَالَى وَ حُبِّهِ وَ هِيَ أَفْضَلُ عَلَى الْإِطْلاَقِ (وَ نِسْبَتُهُ إِلَى غَيْرِهِ مِنَ الْعُلُوْمِ) أَنَّهُ أَصْلٌ لَهَا وَ شَرْطٌ فِيْهَا إِذْ لَا عِلْمَ وَ لَا عَمَلَ إِلَّا بِقَصْدِ التَّوَجُّهِ إِلَى اللهِ فَنِسْبَتُهُ لَهَا كَالرُّوْحِ لِلْجَسَدِ.
Keutamaannya ilmu tashawwuf sesungguhnya paling mulia karena berhubungan dengan ma‘rifat dan cinta kepada Allāh s.w.t., sementara hubungan ilmu tashawwuf dengan ilmu yang lainnya adalah menjadi pokok dan syarat atas keberadaan ilmu-ilmu yang lain, karena tidak ada ilmu dan amal kecuali bertujuan tawajjuh kepada Allāh s.w.t. bisa disimpulkan bahwa hubungan ilmu tashawwuf dengan ilmu-ilmu yang lain seperti halnya rūḥ dengan jasad. (Tanwīr-ul-Qulūb, halaman: 406).
Tashawwuf adalah sebuah ilmu untuk menggembleng bāthin yang bertujuan agar keadaan dan perilaku diri menjadi lebih baik, dan semakin dekat dengan Allāh Sang Khāliq. Sehingga tidak salah jika tashawwuf disebut sebagai ilmu bāthin, karena sasaran utamanya adalah sisi bāthin. Tashawwuf adalah ilmu yang paling luhur dan agung, yang paling terang dalam menyinari bāthin.
وَ اعْلَمْ أَنَّ التَّصَوُّفَ وَ يُقَالُ لَهُ عِلْمُ الْبَاطِنِ. مِنْ أَجَلِّ الْعُلُوْمِ قَدْرًا وَ أَعْظَمِهَا مَحَلًّا وَ فَخْرًا. وَ أَسْنَاهَا شَمْسًا وَ بَدْرًا . وَ قَدْ فَضَّلَ اللهُ أَهْلَهُ عَلَى الْكَافَّةِ مِنْ عِبَادِهِ بَعْدَ رُسُلِهِ وَ أَنْبِيَائِهِ صَلَوَاتُ اللهِ وَ سَلَامُهُ عَلَيْهِمْ. وَ جُعِلَ قُلُوْبُهُمْ مَعْدَنَ الْأَسْرَارِ. وَ اخْتَصَّهُمْ مِنْ بَيْنِ اْلأُمَّةِ بِطَوَالِعِ الْأَنْوَارِ. فَهُمُ الْغِيَاثُ لِلْخَلْقِ. وَ الدَّائِرُوْنَ فِيْ عُمُوْمِ أَحْوَالِهِمْ مَعَ الْحَقِّ.
Sehingga para Mutashawwif atau Shūfī (orang yang mempelajari dan berperilaku Tashawwuf) adalah orang-orang yang diberikan keunggulan dari semua manusia setelah para Nabi dan Rasūl. Dalam hati mereka terkuak rahasia-rahasia langit. Hati mereka penuh dengan cahaya Ilahi dan mereka menjadi penolong dan pelindung bagi umat yang membutuhkannya. Karena hati mereka selalu bersama Allāh al-Ḥaqq (Yang Maha Benar), maka setiap ucapan dan perbuatan mereka bersumber dari al-Ḥaqq, sehingga selalu diarahkan pada kebenaran. (Tanwīr-ul-Qulūb, halaman: 404).
قَدْ عَلِّمُوْا أَنَّ دَوَامَ السَّيْرِ قَطْعًا يُؤَدِّيْ إِلَى الْوُصُوْلِ.
Sudah diketahui bahwa sebuah perjalanan seseorang yang langgeng (ber-tashawwuf) dapat mengantarkan pada wushūl (sampainya seorang shūfī kepada ma‘rifatullāh). (Al-Futūḥāt al-Ilāhiyyah fī Syarḥi al-Mabāḥits al-Ashāliyyah, halaman: 72).
Wushūl kepada Allāh s.w.t. yang dimaksud adalah ketika seorang Shūfī atau Sālik (murīd) sampai pada titik kesenangan, ketenangan, dan kerinduan kepada Allāh s.w.t. yang besar dan jernihnya cinta kepada Allāh s.w.t. hal ini lah yang kemudian seorang shūfī atau sālik mendapatkan predikat/gelar ash-Shādiq, as-Sā’irīn, dan ath-Thālibīn. Ketiga gelar ini adalah derajat yang dekat dengan Allāh s.w.t., (Nasy’at-ut-Tashawwufil-Islāmī, halaman: 265)
Oleh karena itu, ilmu untuk menggembleng dan membenahi sisi bāthin adalah sebuah ilmu yang hanya diberikan kepada orang-orang yang dipilih oleh Allāh s.w.t.
وَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ: عِلْمُ الْبَاطِنِ سِرٌّ مِنْ أَسْرَارِ اللهِ تَعَالَى وَ حُكْمٌ مِنْ حِكَمِ اللهِ يَقْذِفُهُ فِيْ قُلُوْبِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ. أَخْرَجَهُ الدَّيْلَمِيْ عَنْ عَلِيٍّ، (جامع الأصول فى الأولياء، ص: 324).
Sebagaimana sabda Nabi s.a.w.: “Ilmu bāthin adalah salah satu rahasia dari rahasia-rahasia Allāh s.w.t., dan salah satu hukum dari hukum-hukum Allāh s.w.t. yang diletakkan dalam hati para hamba yang dikehendaki-Nya”. HR. ad-Dailamī dari ‘Alī, (Jāmi‘-ul-Ushūli fil-Auliyā’, halaman: 324).
Tashawwuf atau tharīqah akan hilang sebab para ahlinya wafat, dengan demikian akan hilang pula pengetahuan atau ilmunya (ḥāliyyah, tradisi-tradisi dll.).
إِنَّ اللهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ اِنْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ النَّاسِ، وَ لكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يَبْقَ عَالِمٌ اتِّـخَذَ النَّاسُ رُؤُوْسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوْا، فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوْا وَ أَضَلُّوْا.
Sesungguhnya Allāh tidak akan mengambil suatu ilmu dari suatu kaum, akan tetapi Allāh akan mengambilnya dengan mewafatkan para ‘ulamā’ sehingga tidak ada seorangpun yang ‘ālim, kemudian mereka menjadikan pemimpin-pemimpin yang bodoh, yang ketika ditanya, maka mereka menjawab (memberikan fatwā) dengan tanpa landasan keilmuan, yang sesat dan menyesatkan. (Al-Futūḥāt al-Ilāhiyyah fī Syarḥi al-Mabāḥits al-Ashāliyyah, halaman: 15).