Pedoman Manusia Dalam Mengatur Hidupnya – Hakikat Hikmah Tauhid & Tashawwuf

Hakikat Hikmah Tauhid dan Tashawwuf
(al-Hikam)

Karya: Dr. Muhibbuddin Waly

Penerbit: Gunung Jati – Jakarta.

4. PEDOMAN MANUSIA DALAM MENGATUR HIDUPNYA.

 

Untuk maksud ini maka al-Imām Ibnu ‘Athā’illāh telah merumuskan dalam Kalam Hikmahnya ke-4 sebagai berikut:

4. أَرِحْ نَفْسَكَ مِنَ التَّدْبِيْرِ فَمَا قَامَ بِهِ غَيْرُكَ عَنْكَ لَا تَقُمْ بِهِ لِنَفْسِكَ.

Tenangkan jiwamu dari Tadbīr, karena apa yang telah berdiri dengannya (telah mengatur padanya) oleh selainmu tentang hal keadaanmu maka janganlah engkau campur tangan pada sesuatu itu untuk (kepentingan) dirimu.”

Penjelasan kalam hikmah di atas sebagai berikut:

  1. Kita menjumpai dalam Kalam Hikmah tadi ada perkataan “TADBĪR”.

Definisinya ialah:

أَنْ يُقَدِّرَ الشَّخْصُ فِيْ نَفْسِهِ أَحْوَالًا يَكُوْنُ عَلَيْهَا عَلَى مَا تَقْتَضِيْهِ شَهْوَتُهُ وَ يُدَبِّرَ لَهَا مَا يَلِيْقُ بِهَا مِنْ أَحْوَالٍ وَ أَعْمَالٍ وَ يَهْتَمَّ لِأَجْلِ ذلِكَ.

Bahwa menentukan seseorang pada dirinya hal-hal di mana ia atas hal-hal tersebut berdasarkan atas kehendak syahwatnya (eagerness) semata-mata. Untuk itu maka diaturnya segala sesuatu menurut syahwatnya, berupa hal-hal dan pekerjaannya. Justru itulah maka ia sendiri selalu memberikan perhatiannya dan mementingkannya (dalam segala gerak-geriknya dan tindak-tanduknya.”

Dari definisi di atas dapat kita ambil pengertian bahwa Tadbīr adalah khusus dalam persoalan-persoalan yang bersifat duniawi semata-mata. Kita telah mengetahui dan meyakini bahwa segala-segalanya adalah menurut qadhā’-qadar Allah s.w.t. Di samping itu sesuai dengan kehendak syahwat kita dan keinginan kita untuk mengatur dan menentukan bahkan juga memastikan segala sesuatu dalam hidup dan kehidupan kita ini. bermacam-macam yang kita putuskan tetapi di sampingnya kita tidak tawakkal dan tidak menyerahkan diri kita kepada Allah s.w.t. Tadbīr selalu tidak sunyi dari kita, oleh karena kita melihat kepada zaman-zaman kita selanjutnya di mana banyak yang kita takuti di samping kita banyak yang kita harapkan di alam dunia ini.

Apabila Tadbīr-tadbīr kita selalu disertakan sesudahnya atau sebelumnya dengan menyerahkan segala sesuatu itu kepada Allah s.w.t., maka hal keadaan ini tidak disebut dengan Tadbīr menurut pentaḥqīqan para ‘ulamā’ Tashawwuf meskipun ia masih disebut Tadbīr juga menurut lahiriyyah.

Walhasil, tadbīr ialah merencanakan sesuatu yang bersifat memutuskan tanpa tawakkal dan menyerah diri kepada Allah s.w.t. Tetapi apabila Tadbīr itu disertai dengan tawakkal dan tafwīdh kepada Allah maka tidak apa-apa, bahkan dianjurkan oleh Islam.

Bersabda Nabi Muḥammad s.a.w.:

التَّدْبِيْرُ نِصْفُ الْمَعِيْشَةِ

Tadbīr ialah setengah dari penghidupan.”

Sebagian ‘ulamā’ berkata: “Meninggalkan Tadbīr yang begini sifatnya berarti meninggalkan penghidupan seluruhnya, sebab orang yang tidak bertadbīr maka ia akan digilas oleh Tadbīr orang lain menurut lahiriyyah ‘amaliyyah.

Kenapa kita harus menyerah diri kepada Allah di samping Tadbīr? Sebab apakah kita telah beriman kepada qadhā’ dan qadar Allah s.w.t. maka tentulah pada hakikatnya Allah telah mengatur segala-galanya. Tetapi apabila kita berfikir sempit dan melihat sepintas lalu saja maka keadaan ini dapat menjatuhkan diri kita mengatur hidup ini secara baik sesuai dengan keridhaan Allah s.w.t.

Apabila kita menunggu saja atau berpangku tangan tanpa mengatur hidup ini, maka pada ketika itulah, di samping kita malas berusaha dan bekerja, di mana kemalasan itu dapat mengakibatkan tidak beres atau tidak sukses kita dalam hidup dan kehidupan, maka tanpa disangka-sangka datanglah syaithān dan Iblīs membawa waswas dan keraguan-keraguan di dalam hati kita. Ia menghembuskan macam-macam persoalan dalam hidup yang kita hadapi ini. Maka akhirnya pikiran kita menerawang dan memikirkan segala sesuatu yang bukan-bukan hingga kita capek karenanya.

Oleh sebab itu demi jangan sampai timbal demikian, kita harus banyak berdzikir kepada Allah dalam arti yang luas. Ya‘ni apakah membaca al-Qur’ān dengan khusyu‘ dan tadabbur (meresepkan ma‘na ayat-ayat al-Qur’ān), tobat dan istighfār di waktu malam, muraqabah kepada Allah s.w.t., di mana kita melihat Allah yang tidak ada umpama dengan sesuatu, atau Allah melihat kita dalam segala gerak-gerik kita.

Apabila hal keadaan ini telah kita laksanakan dengan istiqāmah, in syā’ Allāh segala waswas syaithān dalam hati kita akan dikeluarkan oleh Allah s.w.t. Otak dan hati kita terang, tidak kusut dan letih memikirkan segala sesuatu yang kita hadapi dalam hidup dan kehidupan. Sebab rencana-rencana kita di mana kita tidak lupa kepada Allah s.w.t. in syā’ Allāh akan diperkenankan oleh-Nya.

  1. Untuk memperkuat keterangan tadi maka berkata seorang ahli Tashawwuf juga Mufassir dan ahli hukum, bernama Sahl bin ‘Abdillāh (Abū Muḥammad Sahl bin ‘Abdillāh Tustarī). Beliau hafal al-Qur’ān dalam usia 7 tahun dan beliau meninggal dunia pada tahun 283 H.) sebagai berikut:

لِلْعِبَادِ عَلَى اللهِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: (1) تَكْلِيْفُهُمْ (2) وَ آجَالُهُمْ (3) وَ الْقِيَامُ بِأَمْرِهِمْ، وَ للهِ عَلَى الْعِبَادِ ثَلَاثَةُ أَشْيَاءَ: (1) إِتْبَاعُ نَبِيِّهِ (2) وَ التَّوَكُّلُ عَلِيْهِ (3) وَ الصَّبْرُ عَلَى ذلِكَ إِلَى الْمَوْتِ.

“Hak Allah untuk hamba-hambaNya ada 3 persoalan:

  1. Menentukan hukum-hukumnya untuk dilaksanakan oleh hamba-hambaNya.
  2. Menentukan tentang ajal (waktu mati) dari hamba-hambaNya dan
  3. Menentukan segala sesuatu yang dihadapi oleh hamba-hambaNya di dunia dan di akhirat.”

Dan hak hamba (yang wajib dilaksanakannya) untuk Allah ada 3 pula:

  1. Mengikuti Nabi-Nya.
  2. Tawakkal dan menyerah diri kepada-Nya dan
  3. Sabar atas ketentuan-ketentuan Allah hingga kita meninggalkan dunia yang fana’ ini.

Adapun arti “Hak Allah untuk hamba-hambaNya”, maksudnya ialah tidak ada jalan bagi hamba-hambaNya untuk campur-tangan pada segala sesuatu di mana hal keadaan ini Tuhan menentukan dengan kehendak-Nya dan kekuasaan-Nya.

Adapun “Hak hamba untuk Allah” maksudnya ialah bahwa hamba-hambaNya diperintah oleh Allah untuk menjalankan hal-hal di atas. Karena itu barang siapa yang tidak patuh kepada ajaran-ajaran agama-Nya sebagaimana yang telah disampaikan oleh nabi-nabi dan ‘ulamā’-‘ulamā’Nya, maka disebut dengan “MUBTADI‘”, ya‘ni orang yang mengada-adakan sesuatu di luar ajaran Islam.

Barang siapa yang tidak bertawakkal kepada-Nya berarti ia bermaksud mengatur hal keadaannya dengan tidak memerlukan bantuan Allah s.w.t.

Kesimpulannya, barang siapa yang melaksanakan hak-hak kewajibannya seperti tersebut tadi, maka orang-orang itu sejahteralah mata hatinya, dan bersinarlah jiwanya, akal dan qalbunya dengan rahmat Allah s.w.t.

Inilah tujuan dan keterangan dari Kalam Hikmah di atas yang telah dirumuskan oleh beliau al-Imām Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī r.h. wa nafa‘anā bi ‘ulūmihī. Āmīn!

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *