Hati Senang

Pakaian Yang Bisa Dikenakan Untuk Melakukan Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid (2/2)

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd


Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Pasal kedua: Pakaian yang bisa dikenakan untuk melakukan shalat.

 

Dasar pembahasan ini adalah firman Allah s.w.t.:

يَا بَنِيْ آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ.

Hai anak Ādam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Qs. al-A‘rāf [7]: 31).

Demikian pula larangan yang berhubungan dengan berbagai macam model pakaian yang dikenakan saat menunaikan shalat. Karena hal itu merupakan kesepakatan para ‘ulamā’ – menurut yang saya duga – bahwa pakaian yang dilarang saat menunaikan shalat adalah baju minim yang tidak menutup pundaknya, atau mengenakan pakaian sementara bagian kemaluannya tidak tertutup, semua ini sebagai tindakan preventif agar auratnya tidak terbuka. Saya pun tidak mengetahui ada seseorang yang berpendapat: “Tidak boleh menunaikan shalat dengan berpakaian demikian sekalipun auratnya tidak terbuka, bahkan jika kita berpijak kepada ushul ahlu zhahir maka shalat tetap wajib baginya.”

Para ‘ulamā’ sepakat bahwa seorang lelaki boleh melakukan shalat hanya dengan mengenakan satu baju, dalilnya adalah sabda Nabi s.a.w. saat ditanya: “Bolehkah seseorang melakukan shalat dengan satu baju?” Beliau menjawab:

أَوَ لِكُلِّكُمْ ثَوْبَانِ.

Bukankah setiap kalian memiliki dua baju.” (2351).

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat tentang seorang lelaki yang melakukan shalat dengan punggung dan perut terbuka:

  1. Jumhur menyatakan boleh melakukan shalat dalam keadaan demikian, karena punggung dan perut tidak termasuk aurat.
  2. ‘Ulamā’ yang lainnya mengeluarkan pendapat syādzdz, mereka berkata: “Tidak boleh melakukan shalat dengan kondisi demikian karena adanya larangan dari Nabi s.a.w. terhadap seseorang yang melakukan shalat dengan satu baju sementara pundaknya terbuka, dan berpegang teguh dengan kewajiban dalam firman Allah s.w.t.:

يَا بَنِيْ آدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ.

Hai anak Ādam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Qs. al-A‘rāf [7]: 31).

Jumhur ‘ulamā’ sepakat bahwa pakaian yang mencukupi bagi seorang wanita dalam shalat adalah baju kurung dan kerudung, hal itu berdasarkan sebuah riwayat dari Ummu Salamah:

أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ (ص) مَاذَا تُصَلِّيْ فِيْهِ الْمَرْأَةُ؟ فَقَالَ فِي الْخِمَارِ وَ الدِّرْعِ السَّابِغِ الَّذِيْ غَيَّبَتْ ظُهُوْرَ قَدَمَيْهَا.

Bahwa dia bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w., pakaian apa yang harus dikenakan wanita saat melakukan shalat?” Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Kerudung dan baju kurung yang bisa menutupi kedua telapak kakinya.” (2362).

Demikian pula berdasarkan sebuah riwayat dari ‘Ā’isyah dari Nabi s.a.w., beliau bersabda:

لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلَاةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ.

Allah tidak menerima shalat wanita yang sudah haidh (bāligh) kecuali dengan mengenakan kerudung.” (2373).

Diriwayatkan pula dari ‘Ā’isyah, Maimūnah, dan Ummu Salamah, mereka semua memfatwakan demikian, mereka semua berkata: “Jika seorang wanita melakukan shalat dengan aurat yang terbuka, maka dia wajib mengulangnya pada waktu shalat tersebut atau setelahnya.” Kecuali Imām Mālik, dia berkata: “Bahwa wajib mengulangnya hanya dalam waktunya.”

Jumhur ‘ulamā’ menyatakan bahwa seorang hamba sahaya boleh melakukan shalat dengan kondisi kepala dan kaki terbuka, sementara Ḥasan al-Bashrī mewajibkannya, adapun ‘Athā’ menganjurkannya.

Sebab perbedaan pendapat berpijak dari sebuah pertanyaan apakah dalil yang ditujukan kepada satu jenis berlaku untuk orang merdeka dan hamba sahaya, atau hanya ditujukan kepada orang merdeka?

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat mengenai seorang lelaki yang melakukan shalat dengan mengenakan pakaian dari sutrah:

  1. Sebagian ‘ulamā’ membolehkannya.
  2. Sebagian yang lainnya tidak membolehkannya.
  3. Sementara sebagian ‘ulamā’ yang lainnya lagi menganjurkan untuk mengulanginya.

Sebab perbedaan pendapat: Apakah meninggalkan sesuatu yang dilarang secara mutlak merupakan syarat sah shalat?

‘Ulamā’ yang berpendapat bahwa meninggalkannya merupakan syarat, mereka menyatakan bahwa shalat tersebut tidak sah.

‘Ulamā’ yang menyatakan bahwa dia berdosa akan tetapi shalatnya sah, mereka berkata: “Bukan merupakan syarat sah shalat seperti thaharah yang merupakan syaratnya.”

Masalah ini sama dengan pembahasan shalat di atas tanah hasil rampasan, dan perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah masyhur.

Catatan:

  1. 235). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (358), Muslim (515), Abū Dāūd (625), an-Nasā’ī (2/69), dan Aḥmad (2/285, 245) dari hadits Abū Hurairah.
  2. 236). Dha‘īf. HR. Abū Dāūd (640), Mālik dalam al-Muwaththa’ (324), ad-Dāruquthnī (2/62) dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Ḥākim (1/250), diriwayatkan pula oleh al-Baihaqī (2/232, 233), dan dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īfu Abī Dāūd.
  3. 237). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (641), at-Tirmidzī (377), Ibnu Mājah (655), Aḥmad (6/150, 218, 259) dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Ḥibbān (1711/al-Iḥsān), diriwayatkan pula oleh al-Baihaqī (2/233) dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī Shaḥīḥu Abī Dāūd
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.