Niat dan Tata Caranya dalam Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Bab VIII

Niat dan Tata Caranya dalam Shalat

 

Para ‘ulamā’ sepakat bahwa niat merupakan syarat sah shalat, karena shalat merupakan pokok ibadah yang dijelaskan dalam syara‘ yang bukan karena kemaslahatan secara akal (atau tidak memiliki kemaslahatan yang terlihat nyata).

Lalu para ‘ulamā’ berbeda pendapat, apakah niat seorang ma’mum mesti sama dengan niat imam dalam menentukan macam shalat dan kewajiban atau sunnahnya sehingga seorang ma’mum yang melakukan shalat Zhuhur tidak bisa berma’mum kepada imam yang sedang shalat ‘Ashar? Tidak boleh pula berjama‘ah antara imam yang melakukan shalat Zhuhur (dengan hukum sunnah baginya) sementara ma’mum melakukan shalat Zhuhur (dengan hukum wajib baginya)?

  1. Mālik dan Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa niat ma’mum mesti sesuai dengan niat imam.
  2. Syāfi‘ī berpendapat niat imam tidak mesti sama dengan niat ma’mum.

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan persepsi dalam memahami sabda Nabi s.a.w.:

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ.

Dijadikannya imam hanya untuk diikuti.” (2471).

Dalam hadits Mu‘ādz, dijelaskan bahwa Mu‘ādz melakukan shalat bersama Nabi s.a.w., kemudian beliau melakukannya kembali bersama kaumnya.

‘Ulamā’ yang berpendapat bahwa peritiswa itu khusus untuk Mu‘ādz dan bahwa keumumam hadits di atas mencakup masalah niat, mensyaratkan kesamaan niat antara imam dan ma’mum.

Adapun ‘ulamā’ yang berpendapat bahwa kebolehan untuk Mu‘ādz juga diperuntukkan untuk yang lainnya – dan inilah hukum asal – mereka berkata: “Hadits umum mengandung dua kemungkinan, pertama, bisa jadi keumuman tersebut tidak mengandung niat, karena zhahir hadits hanya membahas amalan-amalan shalat yang bersifat perbuatan. Kedua, bisa pula mengandung ma‘na niat, jadi, hadits Mu‘ādz telah membatasi keumuman hadits tersebut.

Tentang niat masih banyak masalah yang sama sekali tidak ada landasannya dari nash syara‘, karena itu kami meninggalkannya, sebab, tujuan kami adalah menghaturkan segala masalah yang memiliki kaitan dengan nash syara‘.

Catatan:

  1. 247). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (773), Muslim (411), an-Nasā’ī (2/195), Ibnu Majah (1238), Ahmad (3/110, 162) semuanya dari hadits Anas.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *