Para ‘ulamā’ berbeda pendapat tentang najis yang dimaafkan menjadi tiga pendapat:
Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mereka dalam memahami qiyas sedikitnya najis terhadap keringanan adanya sisa najis bagi orang yang bersuci menggunakan batu, karena dimaklumi apabila ada najis yang tersisa.
Kelompok yang memperbolehkan qiyas, memaafkan najis yang sedikit, karena itulah mereka memberikan ukuran dengan sebesar dirham sebagai qiyas terhadap tempat keluarnya kotoran.
Adapun ‘ulamā’ yang menyatakan rukhshah (keringanan), sementara keringanan tidak bisa dianalogikan, apabila mereka melarangnya.
Dan telah dibahas mengenai pengecualian Mālik terhadap darah.
Perincian madzhab Abū Ḥanīfah adalah bahwa darah terbagi kepada Mughālazhah (berat), dan Mukhaffafah (ringan).
Mughālazhah adalah yang dimaafkan jika seukuran dirham, sementara Mukhaffafah adalah yang dimaafkan dengan seperempat baju.
Contoh Mukhaffafah menurut mereka adalah kotoran binatang, dan kotoran yang sulit dihilangkan dari jalan sesuai kebiasaan.
Pembagian ini adalah sebuah cara yang sangat baik.
Para ‘ulamā’ berbeda pendapat mengenai sperma, apakah najis atau tidak?
Ada dua hal yang menyebabkan mereka berbeda pendapat:
Pertama: Kerancuan hadits ‘Ā’isyah, dalam sebagian riwayat dijelaskan:
كُنْتُ أَغْسِلُ ثُوْبَ رَسُوْلِ اللهِ (ص) مِنَ الْمَنِيِّ، فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ وَ إِنَّ فِيْهِ لَيُقَعُ الْمَاءِ.
“Aku pernah mencuci baju Rasūlullāh s.a.w. karena sperma, lalu beliau keluar untuk melakukan shalat, dan sungguh pada baju beliau itu terdapat bekas-bekas air (sperma).” (1501).
Dalam riwayat yang lain:
أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللهِ (ص).
“Aku mengeriknya (sperma) dari pakaian Rasūlullāh s.a.w.”
Riwayat lainnya:
فَيُصَلِّيْ فِيْهِ.
“Lalu beliau melakukan shalat dengannya.”
Ini adalah tambahan yang diriwayatkan oleh Muslim.
Kedua: Ketidakjelasan status sperma yang menyerupai berbagai hadats yang keluar dari badan dengan benda-benda suci seperti susu dan yang lainnya.
Kelompak yang menggabungkan berbagai atsar, dan memahami bahwa basuhan tersebut hanya mengandung makna membersihkan, lalu kerikan dijadikan dalil sucinya sperma, sebab, kerikan tidak bisa mensucikan najis, dan mengqiyaskan kepada benda suci yang keluar dari badan seperti air susu, mereka dengan argumentasi tersebut tidak berpendapat bahwa sperma itu najis.
Sementara kelompok yang lebih menguatkan hadits membasuh daripada hadits mengerik, yang dengannya mereka memahami bahwa sperma adalah najis, ditambah dengan dalil bahwa sperma lebih menyerupai hadats, mereka berpendapat bahwa sperma adalah najis.
Demikian pula ‘ulamā’ yang berpendapat najis bisa suci dengan kerikan, mereka berkata: “Kerikan menunjukkan najisnya sperma, sebagaimana membasuh pun demikian,” ini adalah pendapat Abū Ḥanīfah.
Karena itu tidak benar berdalil dengan keterangan bahwa Nabi s.a.w. melakukan shalat dengan menggunakan baju tersebut bagi sucinya sperma, bahkan ini adalah dalil bagi Abū Ḥanīfah bahwasanya najis bisa dihilangkan selain dengan air, pendapat ini jelas bertentangan dengan pendapat Mālik.