Nahi (Larangan) | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

SEJARAH DAN PENGANTAR USHUL FIQH
PENYUSUN: Drs. Ramayulis dkk.

Diterbitkan: Penerbit KALAM MULIA

Rangkaian Pos: 002 Pengertian Umum | Sejarah & Pengantar Ushul Fiqh

Pasal 2

Nahi (larangan)

Nahi artinya larangan, cegahan. Menurut istilah agama ialah tuntutan meninggalkan dari atasan kepada bawahan. Dalam persoalan ini terdapat beberapa peraturan yang berhubungan dengan bentuk larangan:

  1. Untuk haram

الْأَصْلُ فِي النَّهِيْ لِلتَّحْرِيْمِ.

Asal pada larangan untuk haram.

Menurut pemikiran, tiap-tiap masalah yang sunyi dari pada qarinah yang menunjukkan kepada larangan, mengandung arti yang hakiki yaitu haram. Seperti firman Allah:

وَ لَا تَقْرَبُوا الزِّنَا. (الإسراء: 32)

Dan jangan kamu dekati zina. (Surat al-Isrā’: 32)

Dalam ayat ini terdapat bentuk kalimat larangan yang sunyi dari qarinah, menunjukkan kepada haqiqat larangan yang muthlaq, dan jika kalimat itu mempunyai qarinah, tidak menunjukkan haqiqat larangan, seperti firman Allah s.w.t.:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَ أَنْتُمْ سُكَارَى.

Hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan sembahyang dalam keadaan mabuk. (Surat an-Nisā’).

Pengertian Sighat Nahi

  1. Untuk Doa:

رَبَّنَا لَا تُآخِذْنَا إِنْ نَسِيْنَا أَوْ أَخْطَأْنَا. (البقرة: 286)

Hai Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami, jika kami lupa atau tersalah. (Surat al-Baqarah: 286).

 

  1. Untuk pelajaran:

لَا تَسْئَلُوْا عَنْ أَشْيَاءَ إِنْ تُبْدَلَكُمْ تَسُؤْكُمْ. (المائدة: 101)

Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkan kamu. (Surat al-Mā’idah: 101).

 

  1. Putus asa:

لَا تَعْتَذِرُوا الْيَوْمَ. (التحريم: 7)

Janganlah kamu cari-cari alasan hari ini. (Surat at-Taḥrīm: 7).

 

  1. Untuk menenangkan:

لَا تَحْزَنْ إِنَّ اللهَ مَعَنَا. (التوبة: 40)

Jangan kamu gentar, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita. (Surat at-Taubah: 40).

 

  1. Untuk menghardik, seperti perkataan penghulu kepada budaknya. Jangan engkau lakukan perbuatan ini.

 

  1. Larangan sesuatu, suruhan bagi lawannya.

النَّهْيُ عَنِ الشَّيْءِ أَمْرٌ بِضِدِّهِ.

Dilarang dari sesuatu, disuruh dengan lawannya.

Dilarang dari sesuatu, suruhan dengan salah satu lawan-lawannya. Jika dilarang mengerjakan suatu perbuatan, perbuatan mana kalau dikerjakan dihukumkan menurut hakikatnya (haram), mesti disuruh menghentikannya, seperti dilarang meninggalkan sembahyang, tentu disuruh mengerjakannya. Dilarang duduk dalam rumah, maka boleh duduk pada tempat lain selain dari dalam rumah.

 

  1. Larangan yang muthlaq.

النَّهْيُ الْمُطْلَقُ يَقْتَضِي الدَّوَامَ فِيْ جَمِيْعِ الْأَزْمِنَةِ.

Larangan yang muthlaq menghendaki berkekalan dalam sepanjang masa.

Dalam suatu larangan yang berbentuk muthlaq, baik membawa kebinasaan maupun menjauhinya, baru mencapai hasil yang sempurna, apabila dijauhi yang membinasakan itu selama-lamanya. Seperti perkataan seorang bapak kepada anaknya. Jangan kamu dekati singa, maka yang dituju di sini untuk menjauhi binatang tersebut salama-lamanya, untuk melepaskan diri dari kebinasaan.

 

  1. Dalam urusan Ibadat.

النَّهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ فِيْ عِبَادَاتٍ.

Larangan menunjukkan kebinasaan yang dilarang dalam beribadat.

Untuk mengetahui mana yang sah dan mana yang batal dalam urusan Ibadat, haruslah ia mengerjakan perintah dan menjauhi apa yang dilarang, kalau mengerjakan dan apa yang dilarang berarti melanggar apa yang diperintahkan. Orang yang menlanggar perintah masih dituntut untuk mengerjakannya, jika masih dituntut mengerjakan berarti dia belum bebas dari suatu perbuatan, oleh sebab itu, harus mengulangi ibadahnya. Seperti wanita yang sedang haidh dilarang mengerjakan sembahyang dan puasa, berarti masih dituntut untuk mengerjakannya apabila telah suci.

 

  1. Dalam urusan Mu‘amalat.

النَّهْيُ يَدُلُّ عَلَى فَسَادِ الْمَنْهِيِّ عَنْهُ فِي الْعُقُوْدِ.

Larangan menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang dalam ber‘aqad.

Apabila larangan itu kembali kepada ‘aqad itu sendiri bukan kepada yang lain, sebagaimana dilarang menjual anak yang masih di dalam kandungan ibunya, berarti ‘aqad jual beli tidak sah (batal), karena yang diperjualbelikan itu belum jelas, karena belum memenuhi rukun jual beli, antara lain: 1. Adanya dua orang yang ber‘aqad (penjual dan pembeli). 2. Sighat (lafazh) jual beli. 3. Ada barang yang diperjual belikan.

Sabda Rasulullah s.a.w.:

نَهَى النَّبِيُّ (ص) عَنْ بَيْعِ الْمَلَاقِيْحِ. (رواه ابن ماجه)

Melarang Nabi s.a.w. memperjual belikan anak dalam kandungan ibunya.

Adakalanya larangan itu tidak membatalkan jual beli, seperti jual beli waktu panggilan berjuma‘at, karena melalaikan untuk bersegera mengerjakan Shalat Jum‘at. Firman Allah s.w.t.:

إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللهِ وَ ذَرُوا الْبَيْعَ.

Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan Shalat Jum‘at pada hari Jum‘at, hendaklah bersegera mengigat Allah (pergi Jum‘at) dan tinggalkan jual-beli.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *