Imam-imam Hadits, selain al-Bukhārī dan Muslim, meriwayatkan sebuah hadits perpisahan yang di dalamnya antara lain Nabi s.a.w. bersabda:
… عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَ سُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ….
“Kalian harus mengikuti sunnahku dan sunnah al-Khulafā’-ur-Rāsyidūn yang memperoleh petunjuk; berpeganglah kepada sunnah-sunnah itu dan “gigitlah” sunnah-sunnah itu dengan gigi geraham kalian.” (Ḥilyat-ul-Auliyā’i wa Thabaqāt-ul-Ashfiyā’, juz 1, halaman: 18, Sunan-ul-Kubrā lil-Baihaqī, juz 10, halaman: 114).
Dalam Hadits itu tampak bahwa sunnah Nabi s.a.w. disandingkan dengan sunnah para khalīfah (pengganti) beliau; kedua jenis sunnah ini sama-sama wajib diikuti dan dipegangi secara teguh oleh setiap mu’min. Ini menunjukkan bahwa sunnah al-Khulafā’-ur-Rāsyidūn adalah sunnah yang suci sebagaimana Sunnah Nabi s.a.w. sendiri. Tidak mungkin Nabi s.a.w. memerintahkan mengikuti sunnah mereka apabila sunnah itu mengandung cacat atau hal-hal yang bertentangan dengan syara‘.
Siapakah sesungguhnya yang dimaksud dengan al-Khulafā’-ur-Rāsyidūn itu? Selama ini ungkapan al-Khulafā’-ur-Rāsyidūn dipahami sebagai pengganti Nabi s.a.w. di bidang politik, yaitu sebagai kepala negara atau pemerintahan Islam yang bertanggung-jawab atas semua urusan politik umat. Mereka adalah Abū Bakar ash-Shiddīq r.a., ‘Umar Ibn al-Khaththāb r.a., ‘Utsmān Ibn ‘Affān r.a., dan ‘Alī Ibn Abī Thālib r.a.
Belakangan nama Amīr-ul-Mu’minīn ‘Umar Ibn ‘Abd-il-‘Azīz r.a. diposisikan sebagai khalīfah kelima dan sekaligus terakhir dari al-Khulafā’-ur-Rāsyidūn, sehingga secara keseluruhannya al-Khulafā’-ur-Rāsyidūn dalam pengertian ini hanya berjumlah lima orang. Tetapi di samping pengertian sebagai pengganti Nabi s.a.w. di bidang politik, pengertian al-Khulafā’-ur-Rāsyidūn juga dapat ditinjau dari segi spiritual, sebab Nabi s.a.w. tidak sekedar sebagai kepala negara atau pemerintahan melainkan juga sebagai Nabi dan Rasūl yang membawa misi tauhid dan ‘ubūdiyyah serta penyempurnaan akhlaq yang mulia.
Beliau adalah pemimpin spiritual yang oleh al-Qur’ān digambarkan memiliki tugas-tugas:
لَقَدْ مَنَّ اللهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ إِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْ عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَ يُزَكِّيْهِمْ وَ يُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَ الْحِكْمَةَ وَ إِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلَالٍ مُّبِيْنٍ ﴿١٦٤﴾
“Sungguh Allāh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allāh mengutus di antara mereka seorang Rasūl dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allāh, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitāb dan al-Ḥikmah. Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Āli ‘Imrān: 164).
Tugas-tugas seorang khalīfah sudah sepatutnya sesuai dengan tugas-tugas Nabi s.a.w. sebagai seorang Rasūl, yaitu ta‘līm (mengerjakan al-Kitāb dan al-Ḥikmah) dalam kerangka tauhid, ‘ubūdiyyah, dan penyempurnaan akhlak yang mulia. Dengan pengertian kedua ini, al-Khulafā’-ur-Rāsyidūn pada dasarnya menunjuk kepada ‘ulamā’ yang oleh Nabi s.a.w. diposisikan sebagai waratsat-ul-Anbiyā’ (ahli waris para Nabi), dan satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa Nabi s.a.w. atau nabi-nabi lainnya tidak mewariskan dinar atau dirham, mereka hanya mewariskan al-‘Ilm (‘ilmu):
وَ إنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأنْبِيَاءِ، وَ إنَّ الْأنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَ لَا دِرْهَمًا وَ إنَّمَا وَرَّثُوا الْعِلْمَ. (صحيح ابن حبان، ج 1، ص: 289)
“Dan sesungguhnya para ‘ulamā’ adalah pewaris para nabi, dan para nabi itu tidak mewariskan dinar dan dirham. Mereka mewariskan ‘ilmu.” (Shaḥīḥu Ibni Ḥibbān, juz 1, halaman 289).
Allah berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِيْنَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَ مِنْهُمْ مُّقْتَصِدٌ وَ مِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللهِ ذلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيْرُ ﴿٣٢﴾
“Kemudian Kitāb itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan idzin Allāh. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (QS. Fāthir [35]: 32).
وَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْ إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوْا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ﴿٤٣﴾
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” (QS. al-Naḥl [16]: 43).
وَ أَنَّ السَّاعَةَ آتِيَةٌ لَّا رَيْبَ فِيْهَا وَ أَنَّ اللهَ يَبْعَثُ مَنْ فِي الْقُبُوْرِ ﴿٧﴾
“Kami tiada mengutus rasūl-rasūl sebelum kamu (Muḥammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahui.” (QS. al-Anbiyā’ [21]: 7).
Ciri khas mereka adalah bahwa mereka tidak pernah meminta upah atas upaya da‘wah mereka karena Nabi s.a.w. juga tidak meminta upah atas da‘wah beliau.
وَ مَا تَسْأَلُهُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ لِّلْعَالَمِيْنَ ﴿١٠٤﴾
“Dan kamu sekali-kali tidak meminta upah kepada mereka (terhadap seruanmu ini), itu tidak lain hanyalah pengajaran bagi semesta alam.” (QS. Yūsuf [12]: 104).
Dan Allāh s.w.t. memerintahkan agar mengikuti orang-orang yang tidak pernah meminta upah seperti mereka.
اتَّبِعُوْا مَنْ لَّا يَسْأَلُكُمْ أَجْرًا وَ هُمْ مُّهْتَدُوْنَ ﴿٢١﴾
“Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Yāsīn [36]: 21).
قُلْ مَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِلَّا مَنْ شَاءَ أَنْ يَتَّخِذَ إِلَى رَبِّهِ سَبِيْلًا ﴿٥٧﴾
“Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhannya.” (QS. al-Furqān [25]: 57).
Dengan warisan ciri khas semacam ini mereka layak menyandang gelar khalīfah (pengganti) Rasūl yang sekaligus sebagai penegak ḥujjah Allāh, dan jumlah mereka tentu tidak hanya lima orang meskipun juga tidak banyak.
Sebagai hamba-hamba pilihan Tuhan, jumlah mereka memang sedikit sebagaimana ditegaskan oleh Sayyidinā ‘Alī Ibn Abī Thālib r.a. ketika berkata kepada Kumail ibn Ziyād: “Demi Allāh s.w.t., sungguh bumi ini tidak akan pernah kosong dari orang-orang yang menegakkan ḥujjah-ḥujjah Allāh s.w.t. agar tanda-tanda kebesaran-Nya tidak hilang dan ḥujjah-Nya tidak terbantahkan. Mereka adalah orang-orang yang jumlahnya sangat sedikit, namun sangat agung dan terhormat di sisi Allāh s.w.t.
Bahwa al-Khulafā’-ur-Rāsyidūn yang dimaksud oleh Nabi s.a.w. lebih terkait dengan khalīfah-khalīfah spiritual daripada khalīfah-khalīfah di bidang politik dapat disimak pula dari kenyataan bahwa ‘Umar bin al-Khaththāb r.a. dan beberapa sahabat lainnya ternyata masih diperintahkan oleh Nabi s.a.w. agar menemui dan meminta syafaat kepada Uwais al-Qarnī r.a., seorang laki-laki dalam Hadits riwayat Imām Muslim disebut sebagai Khayr-ut-Tābi‘īn, orang terbaik di antara orang-orang yang hidup pada masa sahabat.
عن عمر رضي الله عنه، قَالَ: إنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، يَقُوْلُ: إنَّ خَيْرَ التَّابِعِيْنَ رَجُلٌ يُقَالُ لَهُ: أُوَيْسٌ، وَ لَهُ وَالِدَةٌ وَ كَانَ بِهِ بَيَاضٌ، فَمُرُوْهُ، فَلْيَسْتَغْفِرْ لَكُمْ، (رياض الصالحين، ج 1، ص: 240، تذكرة الأولياء، ص: 49)
“Sesungguhnya tābi‘īn terbaik adalah seseorang yang bernama Uwais; dia hanya punya seorang ibu dan juga punya penyakit kusta; maka mintalah kepadanya agar ia memohonkan ampunan kepada Allāh s.w.t. untuk kalian.” (Riyādh al-Shāliḥīn, juz 1, halaman: 240, Tadzkirat-ul-Auliyā’, halaman: 49).
Berkaitan dengan diri Uwais al-Qarnī r.a. inilah, dalam sebuah riwayat yang berasal dari Abū Hurairah r.a., disebutkan bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَىْهِ وَ سَلَّمَ: إِنِّيْ لَأَجِدُ نَفَسَ الرَّحْمنِ مِنْ قِبَلِ الْيَمَنِ
“Aku mencium nafas Tuhan Yang Maha Raḥmān dari arah tanah Yaman.” (Syaikh Ismā‘īl Ḥaqqī bin Musthafā al-Khalwatī al-Barsawī, Tamām-ul-Faidh fī Bāb-il-Rijāl. Libanon: Dāru Kutub-il-‘Ilmiyyah, 2010. halaman: 18)
Nafas-ur-Raḥmān yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah Uwais al-Qarnī. Dia adalah wali Allāh s.w.t. yang paling besar pada masanya; disembunyikan oleh Allāh s.w.t. di tengah-tengah rakyat jelata sehingga orang-orang tidak mengetahuinya dan bahkan sering mengejeknya. Dia berasal dariku dan aku berasal darinya, kata Rasūlullāh s.a.w.. (al-Firdausu bi Ma’tsūr-il-Khithāb, juz 1, halaman: 113).
Ungkapan Rasūl ini menunjukan kepada hubungan spiritual antara Uwais al-Qarnī r.a. dan Nabi s.a.w. meskipun ia belum pernah bertemu dengan beliau.