71. مَنْ رَأَيْتَهُ مُجِيْبًا عَنْ كُلِّ مَا سُئِلَ وَ مُعَبِّرًا عَنْ كُلِّ مَا شَهِدَ وَ ذَاكِرًا كُلَّ مَا عَلِمَ فَاسْتَدِلَّ بِذلِكَ عَلَى وُجُوْدِ جَهْلِهِ.
Bukti kebodohan seseorang adalah selalu menjawab semua pertanyaan, menceritakan semua yang dilihat, dan menyebut semua yang diketahui.
– Ibnu ‘Athā’illāh al-Iskandarī –
Seorang murīd atau orang ‘ārif dianggap bodoh jika ia selalu menjawab, dengan mengungkapkan semua yang dilihat dan dirasakan batinnya, saat ditanya tentang ilmu yang diberikan Allah kepadanya. Mengapa disebut bodoh? Karena seharusnya ia mengerti bahwa untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu dibutuhkan penguasaan yang baik atas ilmu yang bersangkutan. Dan itu amat mustahil. Allah s.w.t. berfirman: “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.” (al-Isrā’ [17]: 85).
Semestinya, ia juga memperhatikan kondisi penanya karena tidak semua orang layak bertanya seperti itu atau cukup mengerti ketika mendengar jawaban atas pertanyaan seperti itu. Menjawab pertanyaan orang semacam ini adalah sebuah kebodohan.
Mengungkapkan semua yang disaksikan sama dengan menyebarkan rahasia yang semestinya disimpan. Orang-orang bijak berkata: “Hati orang-orang merdeka merupakan kuburan rahasia. Rahasia adalah amanat Allah pada seorang hamba.”
Menyebarkan rahasia ke semua orang adalah tindakan khianat atau tidak amanah. Menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan pengalaman atau perkara-perkara gaib cukup dengan menggunakan isyarat atau anggukan. Bila dijawab dengan kata-kata, itu sama saja dengan mengumumkan dan menyebarkan rahasia ke khalayak ramai. Lagi pula, menjelaskan perkara-perkara gaib dengan kata-kata justru hanya akan membuatnya semakin tidak jelas dan tertutup karena perkara-perkara yang didasarkan pada dzauq (pengalaman perasaan) sulit diungkapkan dengan kata-kata.
Selain itu, mengungkapkan semua yang diketahui merupakan bukti tidak adanya kemampuan dalam memilih-milih ilmu pengetahuan. Bisa jadi, di antara ilmu yang diketahuinya itu ada yang tak layak untuk diberitahukan kepada orang lain karena bisa membahayakan, mendatangkan kerusakan, atau penolakan manusia. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Di antara ilmu ada yang bagaikan mutiara belumuran tanah yang tidak diketahui (bahwa itu mutiara), kecuali oleh ulama yang mengenal Allah. Jika ilmu itu diperlihatkan kepada manusia, niscaya orang-orang yang lalai kepada Allah akan menolaknya.”
‘Alī bin al-Ḥusain ibn ‘Alī berkata: “Banyak inti ilmu yang jika aku kemukakan semuanya, orang-orang akan menganggapku termasuk penyembah berhala, dan pasti banyak pula orang-orang muslim yang menghalalkan darahku. Oleh karena itu, aku selalu menyembunyikan inti ilmuku agar orang-orang bodoh tidak goncang ketika menyaksikan Yang Maha Ḥaqq.”
Abū Hurairah r.a. berkata: “Aku mendapat dua kantung ilmu dari Rasūlullāh s.a.w. Satu kantung ku sebarkan ke seluruh manusia. Yang lain tidak ku sebarkan. Sekiranya ku sebarkan, pasti kalian akan menggorok leherku ini.”
Oleh sebab itu, al-Ḥallāj dibunuh setelah menyebarkan sedikit rahasia ilmunya. Yaitu, ia berkata: “Di balik jubah ini adalah Allah.” Ini diungkapkannya karena setiap orang yang dekat kepada Allah pasti merasa bahwa yang ada hanyalah Allah atau bahwa Allah itu menampakkan Diri-Nya dalam segala sesuatu. Itulah puncak dari kemampuan mereka dalam mengungkapkan pengalaman mereka. sebetulnya, ini adalah perkara yang tidak bisa diketahui, kecuali lewat dzauq.
Kebenaran yang dilihat dan diketahui oleh setiap hamba adalah sama. Akan tetapi, itu akan berbeda manakala diungkapkan melalui kata-kata.