Menjauhi Maksiat dan Dosa – Tutur Penerang Hati – Ibn ‘Atha’illah (1/2)

Terapi Ma‘rifat
 
Tutur Penerang Hati

Oleh: Ibnu ‘Athā’illāh as-Sakandarī
Judul Asli: Bahjat-un-Nufūs
 
 
Penerjemah: Fauzi Faishal Bahreisy
Penerbit: Zaman

Rangkaian Pos: Menjauhi Maksiat dan Dosa - Tutur Penerang Hati - Ibn 'Atha'illah

7

Menjauhi Maksiat dan Dosa

Dampak buruk Maksiat.

Perbuatan maksiat terwujud dalam berbagai bentuk perilaku. Mengingkari janji, mengurai ikatan kasih, lebih mengutamakan makhluk ketimbang Allah, menuruti hawa nafsu, melepaskan rasa malu, dan melaksanakan sesuatu yang dibenci Allah adalah di antara contoh-contoh maksiat. Maksiat-maksiat itu menimbulkan dampak-dampak lahiriah yang buruk, yakni kotornya anggota badan, keruhnya mata, kesatnya hati, lalai dan malas dalam ibadah, tidak menjaga kehormatan-Nya, memenuhi selera syahwat, serta hilangnya kesenangan untuk berbuat taat.

Sedangkan dampak batiniahnya adalah tertutupnya qalbu, kerasnya watak nafs, senangnya jiwa menuruti syahwat, tidak nikmatnya ketaatan, redupnya cahaya hati, berkuasanya hawa nafsu, serta munculnya keragu-raguan, kealpaan terhadap tempat kembali, kelalaian untuk menghisab diri, dan kerasnya siksa di hari nanti.

Perubahan nama dan julukan pada seseorang yang melakukan maksiat seharusnya sudah cukup untuk menjauhkan seseorang dari maksiat. Bila menjalankan ketaatan, engkau disebut muhsin (orang yang berbuat baik), sedangkan bila berpindah pada perbuatan maksiat sebutanmu berganti menjadi musi’ dan mu‘ridh (orang yang berbuat jahat dan orang yang ingkar). Ini baru pergantian nama dan sebutan. Lalu bagaimana dengan perubahan pengaruh dan dampaknya? Ia mengganti manisnya taat dengan manisnya maksiat, mengganti nikmatnya ibadah dengan nikmatnya syahwat. Ini baru pergantian dampak dan pengaruh, bagaimana lagi dengan pergantian sifat? Setelah di sisi Allah engkau digambarkan memiliki sifat-sifat mulia, maka ia berbalik memiliki sifat-sifat tercela.

Lalu bagaimana pula dengan pergantian martabat dan kedudukan? Tadinya engkau tergolong sebagai orang shāliḥ, kini menjadi orang-orang rusak. Tadinya engkau termasuk orang bertaqwā, kini menjadi orang fasik.

Bila dosa dan maksiat begitu terbuka di depanmu dan begitu mudah untuk kau lakukan, berlindunglah pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Teteskanlah air mata penyesalan, minumlah cawan kesedihan, taburkanlah debu di atas kepalamu, nyaringkan tangisanmu di depan Sang Kekasih, serta bermunājatlah kepada Allah di keheningan malam, lalu ucapkan: ‘Wahai Tuhan, pindahkan aku dari hinanya maksiat kepada kemuliaan taat!” Sesudah itu, bergabunglah di majelis-majelis para ‘ālim ‘ulamā’ dan orang-orang shāliḥ, kunjungilah kuburan mereka yang telah mati, perbanyaklah membaca al-Qur’ān, bersedekahlah kepada fakir miskin, dan sering-seringlah berdoa dengan membaca: “Allāhumma irḥamnī yā arḥam-ar-rāḥimīn (Ya Allah, Yang Maha Pengasih, kasihilah daku)”.

Saat melakukan maksiat, imanmu ibarat matahari yang sedang terkena gerhana atau seperti lampu penerang yang kau tutupi dengan kain penutup berwarna hitam. Dengan begitu walaupun sinarnya ada, tetapi tak tampak karena terhalang oleh penutup tadi. Demikian pula dengan kondisi imanmu. Ia ada dalam qalbu, tetapi tertutupi maksiat dan dosa. Allah berfirman: “Tidak, janganlah berbuat demikian! Hati mereka telah kotor karena perbuatan yang mereka lakukan.” (al-Muthaffifīn [83]: 14). Dalam ayat lain, Allah berfirman: “Siapa yang melakukan dosa dan dosanya itu kemudian mengelilinginya, maka ia termasuk calon penghuni neraka. Ia kekal di dalamnya.” (al-Baqarah [2]: 81).

Perumpamaan bagi Pelaku Maksiat.

Orang yang melakukan maksiat sama seperti kumbang tahi yang hidup di kotoran atau tinja. Jika ada bunga mawar di dekatnya ia bisa mati karena tidak tahan dengan aromanya. Sebagian manusia mempunyai perhatian seperti kumbang tadi atau berpikiran seperti kupu-kupu. Kupu-kupu sering kali terbang menceburkan dirinya ke api sehingga terbakar. Demikian pula denganmu. Engkau melempar diri ke api maksiat secara sengaja sehingga api maksiat tersebut memakan amal-amal perbuatan baikmu. Karena itu, Allah melarang kita melakukan hal tersebut. Allah berfirman: “Wahai orang-orang beriman, jagalah diri dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan bebatuan; pengjaganya malaikat-malaikat yang kasar dan keras, yang tak pernah mendurhakai perintah Allah serta selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (at-Taḥrīm [66]: 6)

Wahai manusia, mengapa engkau makan hanya untuk hidup dan engkau hidup hanya untuk makan. Kalau cuma itu arah dan tujuan hidupmu, berarti engkau tidak jauh berbeda dengan tempat makan hewan, bahkan dengan hewannya sendiri engkau mempunyai banyak kesamaan. Sebab hewan hidup di dunia ini untuk makan, bekerja, beristirahat dan tidur. Alangkah ruginya kalau umur hanya disia-siakan untuk itu saja.

Ketahuilah, kuda yang paling cepat adalah kuda yang kurus. Karena itu, hendaknya engkau bertekad: “Malam ini aku tidak boleh banyak makan agar badanku ringan untuk ibadah.” Kalau ada makanan, selalu engkau mendatanginya seolah-olah ia kekasih yang lama tak jumpa sehingga akhirnya pencernaanmu pun menjadi sakit.

Ketika Allah tak menghendaki kebaikan bagi seseorang
Semua nasihat dan petuah untuknya menjadi sia-sia.

Allah berfirman: “Siapa yang hendak Allah sesatkan, engkau pun tak mungkin bisa mengelakkan apa pun yang datang dari Allah.” (al-Mā’idah [5]: 41).

Engkau sungguh berada dalam kehinaan. Seringkali kau rendahkan dan kau campakkan dirimu pada tempat kebinasaan. Engkau perosokkan dirimu dengan maksiat dan perbuatan dosa.

Wahai hamba Allah, betapa engkau sangat menjaga dan memelihara tubuhmu, sementara agama bagimu begitu sepele. Andaikata ada yang berkata bahwa makanan ini mengandung racun pasti engkau menjauhinya walaupun ia sangat lezat. Bahkan, kalaupun mereka bersumpah bahwa makanan tadi tidak beracun, engkau tetap akan menghindarinya dan tidak mempercayai mereka. Lebih dari itu, walau tempat makanan beracun tadi telah dicuci berkali-kali lalu didekatkan kepadamu, engkau masih merasa risih dan tak mau mengambil makanan dari tempat tersebut. Mengapa sikap semacam itu tak diterapkan pada agamamu? Dengan demikian engkau menjaganya seperti menjaga tubuhmu, serta menjauhkannya dari racun maksiat dan dosa.

Siapa melanggar perintah-perintah Allah, niscaya kedudukannya sangat hina di sisi-Nya. Siapa berani melakukan dosa kecil, pasti jatuh ke dalam dosa besar seperti seseorang yang terbiasa mencuri. Orang yang meremehkan dosa kecil hal itu akan menggiringnya untuk melakukan dosa besar.

Allah berfirman: “Janganlah kalian mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi.” (al-An‘ām [6]: 151). Ketahuilah bahwa perbuatan maksiat bisa mengotori dan melemahkan agama seseorang, serta mengurangi kualitasnya. Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Perbaruilah iman kalian!” Kemudian ada yang bertanya: “Wahai Rasūlullāh, bagaimana caranya kami memperbarui iman?” Beliau pun menjawab: “Perbanyaklah membaca lā ilāha illā Allāh.” (H.R. Aḥmad dan ath-Thabrānī).

Hadits tersebut menunjukkan bahwa jika seorang mu’min lalai untuk mengingat Allah lalu terjerumus dalam maksiat, maka debu maksiat tersebut akan menempel pada imannya. Imannya terlumuri noda maksiat dan melemah akibat perbuatan dosa. Tentu saja tidak setiap kotoran bisa dibersihkan dengan air. Ada kotoran yang baru bisa bersih dengan api, seperti kotoran yang menempel di emas. Demikian pula dengan orang-orang yang bermaksiat. Apabila meninggal tanpa sempat bertobat, mereka tidak bisa masuk ke dalam surga kecuali kalau sudah dibersihkan oleh api neraka.

Seandainya manusia mengetahui pengaruh dan akibat dosa, entah di dunia maupun di akhirat, pastilah ia sangat malu kepada Tuhannya. Ia akan berlari meninggalkan dosa itu sebagaimana ia lari meninggalkan serangan penyakit berbahaya. Andaikata ia meyakini bahwa dirinya ada dalam genggaman Tuhan, tak mungkin ia menghadap Tuhannya dengan membawa maksiat. Maksiat itu hanya terjadi kalau ia lalai dan hatinya buta. Siapa mengetahui hakikat iman, niscaya menjauhi dosa.

Suatu saat Syaikh Makīn-ud-Dīn al-Asmar sedang bersama seorang tua yang telah berusia sembilan puluh tahun. Orang tua tersebut mengeluh dengan berkata: “Wahai Tuan, saya ini mengeluh karena telah banyak melakukan dosa.” Kemudian Syaikh Makīn-ud-Dīn menjawab: “Ini adalah sesuatu yang tak kuketahui. Aku tak ingat apakah aku pernah melakukan sebuah dosa.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *