BAGIAN SEMBILAN
Banyak firman Allah s.w.t. berkaitan dengan keharusan untuk mengenal ni‘mat-Nya. Di antaranya adalah:
وَ لَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِيْ آدَمَ وَ حَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَ الْبَحْرِ وَ رَزَقْنَاهُمْ مِّنَ الطَّيِّبَاتِ
“Sesungguhnya Kami telah mememuliakan anak Ādam dan membawa mereka di daratan dan lautan. Mereka diberi rezeki oleh Kami dengan yang baik-baik dan diberikan kelebihan yang sempurna daripada kebanyakan makhlūq lainnya.” (al-Isrā’ 17: 70)
وَ إِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَتَ اللهِ لَا تُحْصُوْهَا
“Dan seandainya kalian mengira-ngira ni‘mat pemberian Allah, niscaya tidak akan sanggup menghitungnya.” (Ibrāhīm 14: 34)
اذْكُرُوْا نِعْمَتِيَ الَّتِيْ أَنْعَمْتُ عَلَيْكُمْ
“Ingatlah kalian semua akan ni‘mat yang telah Aku berikan kepada kalian.” (al-Baqarah 2: 40).
Apabila seorang hamba tersadar dari kekhilafannya, maka ia akan berfikir dan meneliti segala ni‘mat yang telah dikaruniakan Allah padanya sambil terus menghitung-hitungnya, baik yang lama maupun yang baru. Yang dimaksud dengan ni‘mat-ni‘mat Allah yang lama adalah yang berupa karunia pemberian-Nya di saat kamu belum menjadi apa-apa dengan menggolongkanmu dalam kelompok ahli tauḥīd dan menjadikanmu beriman dan mengenal Dzāt-Nya yang mulia. Dia telah menetapkan namamu dengan Qalam di Lauḥ Maḥfūzh sebagai seorang Muslim, pada hal telah banyak manusia dari waktu yang lampau yang dibinasakan oleh-Nya, dan kamu justru dimasukkan ke dalam golongan minoritas dari orang yang beriman dan selamat. Setelah itu, kamu dimasukkan dalam suatu umat yang menjadi sebaik-baiknya umat, menganut satu agama yang paling mulia, dan menjadi umat kekasih-Nya, yaitu Nabi Muḥammad s.a.w. Kemudian Dia memberimu hidāyah untuk terus berpegang pada sunnah Nabi, dan memberimu petunjuk dengan syarī‘at-Nya, serta menjauhkanmu dari kesesatan hawa nafsu. Lalu, Dia memeliharamu, membelamu dan memberimu makanan serta minuman hingga kamu bisa tumbuh berkembang dan mewajibkanmu dengan hukum-hukumNya.
Akan tetapi, sayangnya, kamu justru membalasnya dengan tidak baik. Air susu dibalas dengan tuba. Kamu mengingkari segala ni‘mat-Nya, lalai memelihara wasiat-Nya, dan bahkan membiarkan dirimu dikendalikan hawa nafsu sepanjang waktu. Meski demikian, Allah tetap tidak membalas kejahatanmu dengan kejahatan serupa, malah Dia menutupinya, memaafkannya, dan juga masih menyayangimu.
Sesudah itu, Dia masih tetap menunjukkan kasih-Nya terhadapmu, meskipun kamu bergelimang dosa, dengan cara memberi kesadaran atas kelalaianmu. Lalu, Dia mengingatkanmu akan banyaknya ketaatan yang masih belum kamu tunaikan dan masih terus memberimu peluang untuk kembali dan bertaubat kepada-Nya, hingga kamu diletakkan di tempat yang paling baik dan diridai-Nya.
Oleh karena itu, kamu wajib bersyukur kepadap-Nya sebanyak yang kamu bisa, meski jumlah ni‘mat Allah tidak akan bisa terhitung banyaknya. Yang pasti, kamu mesti mensyukuri-Nya! Dengam demikian, kamu harus mengenal bentuk-bentuk bersyukur dan cara-cara melaksanakannya.
Cara mensyukuri ni‘mat Allah s.w.t. terbagi atas tiga macam:
(1). Syukur dengan hati.
(2). Syukur dengan lisan.
(3). Syukur dengan badan.
Yang dimaksud syukur dengan hati adalah kamu mengetahui dan menyadari bahwasanya semua ni‘mat pada dasarnya datang hanya dari Allah s.w.t, bukan dari selain-Nya. Sedangkan arti syukur dengan lisan adalah mengucapkan pujian dan terima kasih kepada-Nya seraya menunjukkan segala karunia-Nya dan menyebut-nyebut kebaikan-Nya. Ada pun yang dimaksud syukur dengan badan adalah tidak menggunakan salah satu anggota tubuh melakukan maksiat, melainkan digunakan untuk berbakti dan mengerjakan ‘ibādah hanya kepada Allah s.w.t. Sebab, semua anggota tubuh itu diberikan oleh Allah s.w.t., lalu dipelihara-Nya dalam kondisi yang baik dan sehat, maka apakah wajar jika kemudian kamu menggunakannya justru untuk melanggar perintah-Nya?
Demikian pula terhadap segala harta kekayaan dunia yang dikaruniakan Allah kepadamu, hendaklah digunakan untuk menolongmu dalam berbakti kepada-Nya. Jangan kamu gunakan dalam perkara yang salah atau pun batil. Dan jangan pula dalam perkara yang tidak mempunyai manfaat. Semestinya, kamu menggunakannya dalam pengabdian yang akan menarik ridhā Allah s.w.t. Selain itu, kamu harus ber‘amal sebanyak mungkin dan ber‘ibādah sekuat tenaga, sebagai tanda syukurmu atas ni‘mat-Nya.
Karena itu, pernah diriwayatkan bahwasanya Rasūlullāh s.a.w. sering bangun malam untuk melaksanakan salat sunnah hingga membuat kedua tumitnya menjadi bengkak. Ketika para sahabat bertanya: “Wahai Rasūlullāh! Mengapa sampai begini keras anda beribadah? Bukankah Allah telah mengampuni segala dosamu?” “Jika demikian, bukankah aku justru lebih patut untuk menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur!” jawab Rasūlullāh s.a.w. Hal ini sesuai dengan beberapa firman Allah s.w.t.:
اعْمَلُوْا آلَ دَاودَ شُكْرًا
“Bekerjalah (ber‘amallah), wahai keluarga Dāūd sebagai tanda kesyukuran.” (Saba’ [34]: 13)
لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ
“Seandainya kalian bersyukur, niscaya akan Aku tambahkan.” (Ibrāhīm [14]: 7)
Apabila seorang hamba telah mencapai puncak syukur kepada Allah s.w.t., niscaya ia akan sungguh-sungguh merenungkan dirinya. Dengan demikian, pada dasarnya, syukur atas berbagai ni‘mat yang dikaruniakan Allah s.w.t., adalah bagian dari nikmat itu sendiri. Oleh karena itu, wajar jika kemudian ia mensyukurinya pula, karena Allah telah menjadikannya sebagai orang yang tahu berbalas budi, sehingga ia digolongkan ke dalam kategori hamba-hamba Allah yang bersyukur. Dan perbuatan yang demikian itu disebut “syukur di atas syukur”. Dan jika ia terus-menerus merenungkannya, maka limpahan karunia Allah s.w.t. akan senantiasa membanjirinya dengan membawa banyak kebajikan dan kemuliaan.
Konon pernah diceritakan bahwa dalam salah satu munajatnya kepada Allah s.w.t., Nabi Mūsā a.s. berkata: “Ya Tuhanku! Engkau telah memerintahkanku agar menyukuri ni‘mat-Mu, tapi syukur atas ni‘mat-Mu juga merupakan bagian dari ni‘mat-ni‘matMu pula!” Maka Allah s.w.t. pun mengirim wahyu kepadanya: “Sebenarnya engkau telah bertambah ilmu, karena sudah mengetahui bahwa perbuatanmu itu bersumber dari karunia-Ku. Karena itu, maka engkau bersyukur pula kepada-Ku.”
Sementara itu, ‘Umar Ibn ‘Abd-il-‘Azīz r.a. telah berkata: “Menyebut-nyebut anugerah ni‘mat Allah termasuk bentuk pengungkapan rasa syukur, sebab hal itu menunjukkan rasa cinta terhadap si Pemberi ni‘mat, yaitu Allah s.w.t.”