BAGIAN SEPULUH
Para ahli ḥikmah bersepakat bahwa rasa cinta berasal dari menyebut ni‘mat-ni‘mat Allah s.w.t. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muḥammad s.a.w. yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Abbās r.a.
أَحِبُّوا اللهَ لِمَا يَغْذُوْكُمْ بِهِ مِنْ نِعْمَتِهِ وَ أَحِبُّوْانِيْ لِحُبِّ اللهِ وَ أَحِبُّوْا أَهْلَ بَيْتِيْ لِحُبِّيْ.
“Cintailah Allah karena apa-apa yang Dia karuniakan dari berbagai ni‘mat-Nya kepada kalian. Cintailah aku karena sebab kecintaan kalian kepada Allah. Dan cintailah keluargaku karena sebab kecintaan kalian kepadaku.”
Di samping itu, ada juga firman Allah s.wt. yang berkaitan dengan masalah cinta ini. Yaitu:
وَ الَّذِيْنَ آمَنُوْا أَشَدُّ حُبًّا للهِ
“Dan orang-orang yang beriman itu sangat kuat rasa cintanya kepada Allah.” (al-Baqarah 2: 165)
Selain itu, konon pernah diceritakan bahwa Allah s.w.t. telah mewahyukan kepada Nabi ‘Īsa ā.s.: “Wahai ‘Īsā! Camkanlah apa yang akan Kukatakan padamu: “Sesungguhnya Aku lebih dicintai oleh hamba-Ku yang Mu’min daripada mencintai dirinya sendiri.” Cerita lain disampaikan oleh al-Ḥasan al-Bashrī r.a. bahwa pada suatu waktu ada beberapa sahabat yang berkata kepada Rasūlullāh s.a.w. : “Wahai Rasūl! Sungguh kami telah mencintai Tuhan kami dengan sebenarnya.” Maka Nabi pun menjawabnya dengan wahyu firman Allah s.w.t. yang menjadi pertanda bagi cinta manusia kepada-Nya, yaitu:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللهُ
“Katakan (wahai Muḥammad)! Jika kalian benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian.” (Āli ‘Imrān 3: 31)
Dengan demikian, syarat disebut cinta yang benar kepada Allah s.w.t. adalah mengikuti perintah Nabi Muḥammad s.a.w. dalam segala urusan hidupnya; dalam zuhudnya, akhlaknya, dan dalam menjauhi kemewahan dan keindahan dunia. Karena Allah s.w.t. telah menjadikan beliau sebagai tauladan bagi umatnya. Dan sebagai salah satu tanda benarnya cintamu kepada Allah s.w.t. adalah adanya keharusan agar kamu melebihkan cinta kepada-Nya daripada urusanmu dan hawa nafsumu. Selain itu, kamu pun harus memuliakan dan juga menjunjung perintah Allah s.w.t. daripada perintah dirimu sendiri.
Konon telah diceritakan bahwa Nabi Mūsā a.s. pernah memohon kepada Allah: “Ya Tuhanku! Berikanlah suatu pesan untukku!” Maka Allah berfirman: “Kuwasiatkan engkau akan Dzāt-Ku,” “Ya Tuhanku! Bagaimana Engkau mewasiatkanku akan Dzāt-Mu?” tanya Nabi Mūsā a.s. “Jika ada dua perkara di hadapanmu, yang satu untuk-Ku dan yang lain untukmu, maka hendaklah engkau dahulukan yang untuk-Ku daripada yang untuk dirimu sendiri, karena cintamu kepada-Ku.”
Seorang pencinta Allah s.w.t. akan menjadikan dzikir kepada-Nya dalam hati dan lisan sebagai suatu kewajiban atas dirinya. Dia akan menjauhkan diri dari kelalaian dan beristighfār sebanyak mungkin. Demikian pula dengan semua anggota badannya, yang akan ditugaskan untuk berkhidmat kepada Dzāt yang dicintainya semata.
Dia tidak pernah lupa atau pun lalai, dan justru semua perhatiannya akan selalu tertuju untuk memperoleh ridhā Dzāt yang dicintainya. Dia akan menghabiskan seluruh energinya untuk memenuhi kehendak Dzāt yang dicintainya itu, seperti menunaikan segala yang difardhukan dan meninggalkan segala yang dilarang. Dia selalu menghias dirinya seindah mungkin untuk Dzāt yang dicintainya, karena khawatir akan tertimpa suatu musibah yang akan menjatuhkannya dan pandangan Dzāt yang dicintainya. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muḥammad s.a.w.:
يَقُوْلُ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ: مَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِمِثْلِ أَدَاءِ مَا اقْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَ لَا يَزَالُ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ لَهُ سَمْعًا وَ بَصَرًا وَ يَدًا وَ مُؤَيَّدًا دَعَانِيْ فَأَحْبَبْتُهُ وَ نَصَحَ لِيْ فَنَصَحْتُ لَهُ.
“Allah s.w.t. telah berfirman: “Tidak ada seorang hamba yang mendekatkan diri kepada-Ku dengan seperti menunaikan segala yang Aku fardhukan kepadanya dan senantiasa mengerjakan amalan-amalan sunnah, hingga Aku mencintainya. Apabila ia telah Kucintai, maka Aku akan menjadi sarana pendengarannya, alat penglihatannya, dan kekuatan yang membantunya. Jika ia memohon kepada-Ku, niscaya akan Kupenuhi permintaannya dan jika ia meminta nasehat, niscaya akan Kutunjukkan.”
Dengan demikian, tanda bahwa seseorang telah menjadi pencinta Allah s.w.t. adalah apabila dirinya mengikuti segala petunjuk Dzāt yang dicintainya, menjunjung semua perintah-Nya, mendekatkan diri kepada-Nya, serta menjaga diri dari segala yang akan menjauhkannya dari jalan Allah.
T: “Apakah cinta itu menurut kadar kenikmatan yang diperoleh?”
J: “Cinta itu berawal dari mengingat nikmat Allah s.w.t., lalu berkembang menurut pandangan hamba terhadap Tuhannya serta menurut apa yang dikira sesuai untuk dilaksanakan atas nama cinta. Sebab orang yang sungguh mencintai Allah s.w.t., akan tetap terus mencintai-Nya, baik kala menerima ni‘mat atau pun tidak. Sehingga ia terus mencintai Allah s.w.t. dalam segala kondisi. Cintanya sangat mendalam di dalam hati, baik apakah Allah memberinya ni‘mat atau pun tidak, baik apakah Allah mencobanya dengan berbagai bencana ataupun memeliharanya dalam kondisi sehat dan selamat. Dengan demikian, cintanya terhadap Allah s.w.t. akan senantiasa kukuh di dalam hati dalam segala kondisi, bahkan semakin hari rasa cinta itu akan semakin tambah berkembang.
Jika kamu mempunyai pemikiran bahwa eksistensi cinta sesuai dengan kadar keni‘matan yang diperoleh, dan karena itu, maka ia akan berkurang manakala ni‘mat yang diterimanya juga berkurang. Bahkan, bukan mustaḥīl jika cinta itu sampai lenyap apabila kamu ditimpa kesusahan dan bala bencana. Sebenarnya, kenyataan yang terjadi tidaklah demikian. Dan justru sebaliknya, di mana seluruh pikiran orang yang mencintai Allah s.w.t. akan senantiasa ingat kepada-Nya dan anggota badannya akan sibuk mengabdi guna memperoleh keridhāan-Nya.
Dengan demikian, dalam rasa syukurnya atas anugerah ni‘mat Allah s.w.t. dan penyebutannya terhadap semua karunia-Nya, orang yang sungguh telah mencintai Allah, akan senantiasa merasa gembira atas anugerah ni‘mat Allah yang diberikan kepada orang lain sekali pun. Dalam sepanjang waktu, jiwanya akan sibuk dengan rasa cintanya kepada Allah s.w.t. dengan tidak memperdulikan segala yang terjadi di sekitarnya. Oleh karena itu, segala perasaan sombong, congkak, khianat, hasad, aniaya dan zhālim telah lenyap dari dalam hatinya dan tertutup oleh kecintaannya terhadap Allah s.w.t. Demikian pula dengan segala urusan dunia yang telah sirna dari dalam hatinya. Dan apalagi dengan segala perkara yang tidak ada kaitan dengan dirinya.
Menurut sebagian orang waskita: “Barang siapa dianugerahi sedikit cinta oleh Allah s.w.t., tetapi tidak dikarunai keseimbangan akan rasa takut kepada-Nya, maka orang itu sebenarnya telah terpedaya.” (321)
Pernah diriwayatkan bahwasanya al-Fudhail r.a. telah berkata: “Cinta lebih utama dari rasa takut.” Ismā‘īl Ibn Muḥammad telah menceritakan dari Zuhair al-Bashrī bahwasanya ia telah berkata: “Aku bertemu dengan seorang perempuan tua, yang lalu berkata kepadaku: “Sungguh baik kelakuanmu, cuma sayang engkau mengingkari kecintaan!” “Salah, aku tidak mengingkari kecintaan!” jawab al-Bashrī. “Jadi, apakah engkau mencintai Tuhanmu?” tanya si perempuan lagi. “Benar!” jawab al-Bashrī. “Apakah kau khawatir Dia tidak mencintaimu, padahal engkau sangat mencintai-Nya?!” tanya si perempuan lagi. “Aku mencintai-Nya karena Dia mencintaiku dan telah bermurah hati memberiku ‘ilmu pengetahuan dan keni‘matan. Selain itu, aku pun mempunyai banyak dosa yang membuatku selalu khawatir dan takut kalau-kalau Dia tidak mencintaiku lagi.” Mendengar jawabanku, si perempuan tua tersebut jatuh pingsan dan ketika tersadar ia langsung memujiku: “Bagus jika demikian.”
Menurut Abū Sa‘īd r.a. bahwa jawaban yang diberikan oleh al-Bashrī sangatlah tepat dan bagus. Semoga, demikian doa beliau, Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada rūḥ beliau. Dan menurut seorang wali agung (waliy-ul-abdāl): “Barang siapa yang mencintai Tuhan yang Mulia dan Agung, maka ia tergolong orang-orang yang dicintai Allah.” Dan hanya kepada Allah sajalah kita memohon taufīq.