Sebaliknya, bencana dan kesempitan yang ditimpakan oleh Allah s.w.t. kepada hamba-hambaNya adalah ujian, supaya si hamba mampu menanggungnya dengan penuh kesabaran, dan menunaikan segala yang diwajibkan oleh Allah atas dirinya. Dan dalam hal ini, sebagian ahli ḥikmah berkata: “‘Ilmu pengetahuan akan membawa bencana, kecuali bagi orang ber‘ilmu yang beramal dengan ‘ilmunya.” Hal ini sesuai dengan beberapa firman Allah s.w.t. berikut ini:
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَ الْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ
“Dia (Allah) yang menjadikan mati dan hidup untuk mengujimu.” (al-Mulk 67: 2)
وَ لَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِيْنَ مِنْكُمْ وَ الصَّابِرِيْنَ وَ نَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ
“Dan sungguh Kami akan menguji kalian, sehingga Kami mengetahui siapa di antara kalian yang benar-benar berjuang dan bersabar, dan Kami akan menguji berita-berita kalian.” (Muḥammad 47: 31).
Para nabi dan orang-orang shāliḥ sesudah mereka, telah diberitahu oleh Allah s.w.t. bahwa mereka sedang diuji dengan berbagai pemberian keni‘matan dan karunia dunia. Dengan demikian, mereka patuh dan tunduk kepada petunjuk Allah s.w.t. Mereka tidak pernah sedetik pun terpengaruh oleh hiasan dunia, dan justru sering merasa ragu dan bersedih atas semua pemberian Allah s.w.t. tersebut. Oleh karena itu, mereka senantiasa melaksanakan semua hak Allah s.w.t., dan tidak pernah melalaikan, menyalahgunakan, ataupun meletakkannya pada tempat yang tidak tepat yang bisa menimbulkan pemahaman yang salah. Selain itu, mereka pun tidak pernah menikmati kelezatan harta yang mereka miliki, mencintainya, atau pun menyombongkan diri sendiri lebih dari hamba-hamba Allah yang lain.
Hal ini dicontohkan Nabi Sulaimān a.s. yang telah diberikan Allah karunia kerajaan yang besar dan kenikmatan yang tidak ada taranya, seperti yang telah disebutkan dalam al-Qur’ān:
هذَا عَطَاؤُنَا فَامْنُنْ أَوْ أَمْسِكْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Inilah anugerah dari Kami! Boleh engkau berikan atau engkau tahan dengan tiada perhitungan.” (Shād 38: 39)
Menurut para ahli tafsir, yang maksud dengan “tiada perhitungan” adalah tidak ada pertanggungjawaban atasmu di Hari Akhirat, karena pemberian tersebut kecil di mata Allah s.w.t. sebagai bentuk penghormatan atas kedudukan Nabi Sulaimān a.s. Sebab, menurut para ‘ulamā’, setiap harinya Nabi Sulaimān a.s. menerima tamu dan selalu memberinya makan dengan tepung halus yang sudah diayak, dan beliau memberi makan putra-putranya sendiri tepung kasar yang belum diayak, sedangkan bagi dirinya sendiri, beliau hanya makan gandum yang belum ditumbuk.
Di samping ini, para ‘ulamā’ pun meriwayatkan pula, bahwa Nabi Ibrāhīm a.s. belum akan menyantap makanan, kecuali bersama-sama dengan para tamu. Beliau pernah tiga hari berturut-turut tidak makan, beliau berjalan sampai sejauh satu farsakh untuk menyambut datangnya seorang tamu.
Demikian pula Nabi Ayyūb a.s. tidak pernah mendengar orang bersumpah dengan menyebut nama Allah, melainkan beliau pulang ke rumah lalu mengeluarkan denda atas sumpah tersebut. (131) Selain itu, para ‘ulamā’ juga meriwayatkan bahwa Nabi Yūsuf a.s., bendaharawan negeri Mesir, tidak pernah mengenal kenyang semasa hidupnya. Dan jika ditanya alasannya, jawaban beliau adalah karena takut jika dirinya kenyang, akan melupakan orang-orang yang lapar.
Pada satu hari, menurut suatu riwayat, Nabi Sulaimān a.s. sedang diterbangkan angin dan diteduhi burung-burung dari panas sinar matahari dengan disertai oleh jin dan manusia. Kala itu, Nabi Sulaimān mengenakan pakaian serba baru yang menyelubungi badannya, dan beliau senang merasakan kehalusannya. Namun secara tiba-tiba, angin yang membawanya terbang berhenti dan menurunkannya ke bumi. Menyadari hal itu, Nabi Sulaimān marah dan segera bertanya pada angin: “Mengapa kamu menurunkanku?” Angin menjawab: “Saya diperintah untuk berkhidmat kepada anda selagi tuanku menaati Allah.” Mendengar jawaban angin, Nabi Sulaimān langsung merenungkan segala perbuatannya, hingga akhirnya beliau mengerti bahwa penyebab itu semua adalah pakaian barunya. Setelah itu, beliau bertaubat, dan angin pun lantas mengangkatnya kembali. Dan pernah juga diriwayatkan bahwa angin kerap sekali menurunkan Nabi Sulaimān ke bumi dalam setiap harinya, karena “kesalahan kecil” seperti telah disebutkan atau karena yang lain-lainnya.
Para nabi yang telah disebutkan di atas senantiasa menghindarkan diri dari meni‘mati segala kelezatan yang mereka miliki atas pemberian dan karunia Allah s.w.t. Mereka lebih suka menikmati dzikir kepada Allah dan beribadah kepada-Nya. Mereka tidak pernah terpikat dengan kekayaan yang mereka miliki, dan tidak pernah berduka atas kekayaan yang lenyap dari tangannya. Mereka tidak pernah merasa gembira dengan apa yang mereka miliki, sehingga tidak perlu berpikir panjang ketika hendak diberikan kepada orang lain. Mereka adalah sebagaimana yang dikatakan Allah s.w.t. dalam firman-Nya:
أُولئِكَ الَّذِيْنَ هَدَى اللهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ
“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah s.w.t dan terhadap petunjuk tersebut ikutlah!” (al-An‘ām 6: 90)
Sementara itu, Nabi Muḥammad s.a.w. sendiri pernah ditawari dengan segala kenikmatan dunia. Kala itu, malaikat Jibril a.s. sedang bersama Rasūlullāh s.a.w. Tiba-tiba parasnya berubah, karena datangnya seorang malaikat yang tidak akan pernah turun dari langit jika tidak membawa suatu tugas yang sangat penting. “Aku khawatir jangan-jangan malaikat itu membawa suatu tugas untukku.” kata Jibril. Namun kenyataannya, si malaikat tersebut terus berjalan menuju Rasūlullāh s.a.w. seraya menghaturkan salam dari Allah s.w.t. kepada beliau. Setelah sampai, malaikat itu berkata: “Saya membawa kunci-kunci perbendaharaan bumi untuk anda. Ambillah, jika anda berkehendak, niscaya semua yang anda kehendaki di atas bumi ini akan menjadi emas dan perak. Ia akan abadi bersamamu hingga Hari Kiamat, tanpa ada yang berkurang, sedikit pun dari segala sesuatu yang engkau miliki di sisi Allah s.w.t.” Mengetahui hal tersebut, Nabi Muḥammad s.a.w. tetap tidak memilih dunia yang ditawarkan Allah s.w.t. Beliau malah bersabda: “Biarlah saya terkadang lapar, dan terkadang merasakan kenyang.” (142).
Pada saat itu, Nabi Muḥammad s.a.w. menganggap tawaran Allah s.w.t. tersebut adalah semata-mata ujian, dan bukan sebagai pilihan. Sebab, andaikata beliau menganggapnya sebagai pilihan, niscaya beliau akan menerimanya. Lebih dari itu, beliau pun tahu bahwa kecintaan Allah s.w.t. akan diberikan kepada orang-orang yang meninggalkan dan menghindari keindahan dan kelezatan dunia. Dengan budi pekerti yang luhur inilah, Allah s.w.t. mendidik Nabi Muḥammad s.a.w. sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:
وَ لاَ تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِّنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيْهِ
“Dan janganlah engkau tergiur pandang oleh kesenangan yang Kami berikan kepada beberapa keluarga di antara mereka sebagai bunga kehidupan duniawi. Kami hendak menguji mereka dengan kesenangan itu.” (Thāhā 20: 131)
Di samping itu, pernah diriwayatkan bahwa pada suatu saat beliau mengenakan pakaian baru yang bermotif bagus, namun dengan tiba-tiba beliau menanggalkannya seraya berkata: “Motif pakaian ini hampir memikat hatiku. Kembalikan baju ini pada si pemberi dan tolong ganti dengan pakaian biasa saja.” Dalam riwayat lain, diceritakan bahwa beliau mempunyai sebuah cincin emas yang biasa dipergunakan untuk menciap surat-surat yang dikirimkan kepada siapa saja yang akan diberi peringatan atas perintah dari Allah s.w.t. Kala itu, sesaat beliau mengenakannya, dan sejurus kemudian melepaskannya, seraya berkata: “Ia mempunyai tempat tersendiri dalam hatiku, dan kalian mempunyai tempat tersendiri yang lain.” Selain itu, pernah diriwayatkan pula bahwa pernah tali sepatu lama beliau ditukar dengan yang baru, namun kala itu justru beliau memerintahkan untuk kembali menukarkannya lagi.
Demikian pula setiap orang yang hatinya bersih dan suci dengan fikiran yang senantiasa terfokus kepada Akhirat semata, seraya menyadari betapa banyak ni‘mat yang telah dicurahkan Allah kepadanya, niscaya akan selalu merasa tidak nyaman di kala dirinya terpikat kepada kelezatan dan keindahan dunia.