Membaca Basmalah – Rukun-rukun Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah keempat: Membaca Basmalah.

 

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat tentang membaca basmalah di awal bacaan al-Qur’ān dalam shalat:

  1. Imām Mālik berpendapat bahwa membaca basmalah dalam semua shalat fardhu itu dilarang, ketika shalat jahr (suara keras) maupun sirr (tidak diperdengarkan) untuk mengawali surah al-Fātiḥah atau ayat-ayat al-Qur’ān yang lainnya. Namun, bacaan basmalah diperkenankan untuk shalat sunnah.
  2. Abū Ḥanīfah, ats-Tsaurī, dan Aḥmad berpendapat bahwa basmalah hanya dibaca pelan bersama surah al-Fātiḥah pada setiap rakaat.
  3. Syāfi‘ī berpendapat bahwa basmalah itu harus dibaca ketika shalat jahr ataupun sirr. Menurut Imām Syāfi‘ī, basmalah itu merupakan satu ayat dari surah al-Fātiḥah. Imām Aḥmad, Abū Tsaurī, dan Abū ‘Ubaid, juga berpendapat seperti itu.

Dalam hal ini, pendapat Syāfi‘ī tidak begitu jelas, apakah bacaan basmalah itu merupakan satu ayat untuk setiap surah atau hanya untuk surah an-Naml saja? (????? Pernyataan di atas: Menurut Imām Syāfi‘ī, basmalah itu merupakan satu ayat dari surah al-Fātiḥah. Imām Aḥmad, Abū Tsaurī, dan Abū ‘Ubaid, juga berpendapat seperti itu.?????).

Kedua pendapat ini diriwayatkan dari Imām Syāfi‘ī.

Sebab perbedaan pendapat kembali pada dua masalah:

Pertama, perbedaan hadits dalam masalah ini.

Kedua, adanya perbedaan pendapat, apakah basmalah merupakan salah satu ayat dari surah al-Fātiḥah atau bukan?

Adapun hadits yang dipakai sebagai pedoman para ‘ulamā’ yang tidak mewajibkan bacaan basmalah di antaranya:

Hadits Ibnu Mughaffal, dia berkata:

سَمِعَنِيْ أَبِيْ وَ أَنَا أَقْرَأُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، فَقَالَ: يَا بُنَيَّ إِيَّاكَ وَ الْحَدَثَ، فَإِنِّيْ صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ (ص)، وَ أَبِيْ بَكْرٍ، وَ عُمَرَ، فَلَمْ أَسْمَعْ رَجُلًا مِنْهُمْ يَقْرَؤُهَا.

Ayahku mendengar bacaanku ketika aku membaca bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm. Lalu dia berkata: “Wahai anakku, jauhkanlah hal-hal bid‘ah. Sebab aku pernah melakukan shalat bersama Rasūlullāh s.a.w., Abū Bakar, dan ‘Umar, aku tidak mendengar seorang pun (dari mereka) yang membacanya.” (2571).

Ibnu ‘Abd-il-Barr berkata: “Ibnu Mughaffal itu orang yang tak dikenal.

Demikian pula apa yang diriwayatkan Imām Mālik dari hadits Anas, dia berkata:

قُمْتُ وَرَاءَ أَبِيْ بَكْرٍ، وَ عُمَرَ، وَ عُثْمَانَ، فَكُلُّهُمْ كَانَ لَا يَقرَأُ بِسْمِ اللهِ إِذَا افْتَتَحُوا الصَّلَاةَ.

Aku pernah berdiri (shalat) di belakang Abū Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsmān, mereka itu tidak membaca basmalah jika mengawali shalat.” (2582).

Abū ‘Umar menyatakan dalam satu riwayat bahwa Anas berkata:

خَلْفَ النَّبِيِّ (ص) فَكَانَ لَا يَقْرَأُ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.

Di belakang Nabi s.a.w., beliau tidak membaca bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm.” (2593).

Namun, para ahli hadits mempertanyakan hadits Anas di atas. Dikatakan bahwa periwayatannya mudhtaharib (rancu) sehingga tidak bisa dijadikan ḥujjah.

Terkadang riwayat di atas diriwayatkan dari Nabi s.a.w. secara marfū‘. Di lain tempat diriwayatkan tidak marfū‘. Di antara perawi, ada yang menyebutkan nama ‘Utsmān, di lain tempat nama tersebut tidak disebutkan sama sekali, ada perawi yang menyatakan:

فَكَانَ لَا يَقْرَؤُوْنَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.

“Mereka tidak membaca bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm.

Ada pula yang menyatakan:

فَكَانُوْا لَا يَجْهَرُوْنَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.

“Mereka tidak mengeraskan (bacaan) bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm.

Sedang hadits-hadits yang berlawanan dengan hadits-hadits di atas di antaranya:

Hadits Nu‘mān bin ‘Abdillāh al-Mujammir:

صَلَّيْتَ خَلْفَ أَبِيْ هُرَيْرَةَ، فَقَرَأَ بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ، قَبْلَ أُمِّ الْقُرْآنِ، وَ قَبْلَ السُّوْرَةِ، وَ كَبَّرَ فِي الْخَفْضِ وَ الرَّفْعِ، وَ قَالَ: أَنَا أَشْبَهُكُمْ بِصَلَاة رَسُوْلِ اللهِ (ص).

Aku shalat di belakang Abū Hurairah, kemudian ia membaca bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm sebelum membaca Umm-ul-Qur’ān (al-Fātiḥah) dan ayat al-Qur’ān, ia juga membaca takbir ketika merunduk dan bangkit. Ia berkata: “Aku adalah orang yang paling sesuai shalatnya dengan shalat Rasūlullāh s.a.w.”.” (2604).

Demikian pula hadits Ibnu ‘Abbās:

أَنَّ النَّبِيَّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ كَانَ يَجْهَرُ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ.

Sesungguhnya Nabi s.a.w. membaca bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm dengan keras.” (2615).

Banyaknya kontradiksi antara hadits-hadits di atas adalah salah satu penyebab timbulnya perbedaan pendapat di kalangan fuqahā’ dalam hal membaca basmalah ketika shalat.

Sebab kedua – sebagaimana telah kami katakan – adalah apakah kalimat bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm termasuk salah satu ayat dari surah al-Fātiḥah, atau setiap surah atau bahkan bukan sama sekali?

‘Ulamā’ yang berpendapat bahwa basmalah adalah salah satu ayat dari surah al-Fātiḥah, maka kalimat basmalah harus dibaca, terkait dengan kewajiban membaca al-Fātiḥah dalam shalat.

Adapun ‘ulamā’ yang menganggap bahwa basmalah itu termasuk ayat pertama setiap surah, mereka berkesimpulan bahwa basmalah harus dibaca pada setiap surah al-Qur’ān.

Perlu diketahui bahwa masalah ini banyak diperdebatkan, dan masalahnya pun bersifat relatif. Kendati demikian, ada satu hal yang cukup mencengangkan, ya‘ni di antara yang diperdebatkan adalah apakah basmalah merupakan ayat setiap surah di dalam al-Qur’ān, selain surah an-Naml, atau hanya merupakan ayat di dalam surah an-Naml?

Sebagian ‘ulamā’ tampak menolak pendapat Imām Syāfi‘ī dengan menyatakan bahwa jika basmalah merupakan satu ayat pada selain surah an-Naml, niscaya akan dijelaskan oleh Rasūlullāh s.a.w., sebab al-Qur’ān diriwayatkan secara mutawātir. Itulah pertanyaan al-Qādhī yang membantah pendapat Imām Syāfi‘ī, dan menduga bahwa penolakan ini adalah sebuah kebenaran yang qath‘ī (pasti).

Lalu Abū Ḥāmid al-Ghazālī membenarkan pendapat Imām Syāfi‘ī, ia mengatakan bahwa jika basmalah bukan salah satu ayat al-Qur’ān, niscaya Rasūlullāh s.a.w. memberikan penjelasan yang demikian.

Ini semua tidak benar, bahkan sulit dipahami bagaimana bisa satu ayat dikatakan sebagai ayat dari surah-surah tertentu dalam al-Qur’ān, dan tidak pada surah-surah lainnya dalam al-Qur’ān, bahkan dikatakan bahwa basmalah adalah merupakan dari al-Qur’ān di mana saja disebutkannya, dan basmalah merupakan salah satu ayat dari surah an-Naml.

Apakah basmalah ini termasuk salah satu surah al-Fātiḥah, setiap kali membuka surah lainnya maka harus dibaca, ini masalah khilāfiyyah dan jawabannya pun relatif, karena pada setiap surah dalam al-Qur’ān ada pembukanya (basmalah) dan basmalah bagian dari surah an-Naml?

Camkan persoalan ini! karena masalahnya cukup jelas, wallāhu a‘lam.

Catatan:

  1. 257). Dha‘īf, HR. at-Tirmidzī (244), Ibnu Mājah (815), Aḥmad (5/55), ath-Thahawī dalam Syarḥu Ma‘ānī-l-Atsar (1/202), dan dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īfut-Tirmidzī.
  2. 258). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (743), Muslim (399), Abū Dāūd (836), an-Nasā’ī (2/135), dan ath-Thayālisī (1975), Ibn-ul-Jarūd (183), Ibn-ul-Ja‘d (923), ad-Dāruquthnī (1/315), dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (495) serta Ibnu Ḥibbān (1799).
  3. 259). Telah dijelaskan takhrīj-nya.
  4. 260). Ḥasan lighairihi. HR. an-Nasā’ī (2/134), Aḥmad (2/497), Ibn-ul-Jarūd (184) dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (499), al-Ḥākim (1/32) dan disetujui oleh adz-Dzahabī, diriwayatkan oleh ad-Dāruquthnī (1/306) dan al-Baihaqī (2/52).
  5. 261). Dha‘īf, HR. at-Tirmidzī (245), diriwayatkan pula oleh ath-Thabrānī dalam al-Kabīr (10651, 11442), dalam al-Ausath (35), ad-Dāruquthnī (1/304), dan dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īfut-Tirmidzī.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *