Membaca al-Qur’an dalam Shalat – Rukun-rukun Shalat – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 006 Kitab Shalat - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah kelima: Membaca al-Qur’ān dalam shalat.

 

Para ‘ulamā’ sepakat bahwa shalat tidak dianggap sah tanpa membaca al-Qur’ān, sengaja atau tidak, kecuali apa yang diriwayatkan dari ‘Umar r.a.: “Bahwa ada seorang pernah shalat lalu lupa membaca al-Qur’ān, maka hal itu ditanyakan kepada ‘Umar, ‘Umar bertanya: “Bagaimana dengan rukū‘ dan sujūdnya?” jawabnya: “Sempurna,” ‘Umar berkata: “Jika demikian keadaannya, maka tidak mengapa”.” (2621).

Menurut para ‘ulamā’, ini adalah hadits gharīb yang telah Mālik masukan dalam al-Muwaththa’ pada sebagian riwayatnya, kecuali apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās r.a., bahwa ia tidak membaca al-Qur’ān dalam shalat sirr (yang tidak boleh bersuara keras), dia pun berkata: “Rasūlullāh s.a.w. membaca al-Qur’ān dalam berbagai shalat dan tidak membacanya pada shalat lainnya, maka kami membaca pada shalat yang beliau membaca al-Qur’ān dan kami tidak membaca pada shalat-shalat yang beliau pun tidak membacanya.’ Ibnu ‘Abbās ditanya: “Apakah pada shalat Zhuhur dan ‘Ashar terdapat bacaan (al-Qur’ān)?” jawabannya: “Tidak ada.” (2632).

Dalam hal ini jumhur memegang hadits yang diriwayatkan Khabāb:

أَنَّهُ (ص) كَانَ يَقْرَأُ فِي الظُّهْرِ وَ الْعَصْرِ، قِيْلَ فَبِأَيِّ شَيْءٍ كُنْتُمْ تَعْرِفُوْنَ ذلِكَ؟ قَالَ: بِإِضْطِرَابِ لِحْيَتِهِ.

“Sesungguhnya Nabi s.a.w. membaca al-Qur’ān dalam shalat Zhuhur dan ‘Ashar. Ditanyakan: “Dengan (cara) apa kamu mengetahui hal itu?” dia menjawab: “Melalui gerakan dagunya.” (2643).

Dalam hal ini, ahli fikih Kūfah berpedoman pada hadits Ibnu ‘Abbās yang meninggalkan bacaan dalam dua rakaat terakhir, baik shalat jahr ataupun sirr sama saja, Nabi s.a.w. tidak membaca ayat-ayat al-Qur’ān ketika itu.

Dalam hal bacaan (al-Qur’ān) yang wajib mereka saling berbeda pendapat:

  1. Sebagian mereka berpendapat bahwa bacaan yang diwajibkan adalah al-Fātiḥah, ini berlaku bagi yang hafal, dan selain al-Fātiḥah tidak ditetapkan waktunya.
  2. Sebagian lainnya berpendapat bahwa bacaan al-Fātiḥah wajib untuk setiap raka‘at.
  3. Sebagian lain lagi mengharuskan bacaan al-Fātiḥah untuk sebagian besar shalat.
  4. Sebagian lainnya lagi berpendapat bahwa al-Fātiḥah harus dibaca untuk setengah shalat.
  5. Ada juga yang berpendapat bahwa al-Fātiḥah harus dibaca untuk setiap rakaat dalam shalat.

Pendapat pertama dipegang oleh Imām Syāfi‘ī. Bahkan, merupakan pendapat Imām Mālik yang sangat terkenal, diriwayatkan dari Imām Mālik bahwa jika seseorang membaca al-Fātiḥah dalam dua rakaat dari shalat yang empat rakaat, maka hal itu susah dianggap cukup.

Adapun fuqahā’ (ahli fikih) yang berpendapat bahwa al-Fātiḥah cukup dibaca pada satu rakaat saja, adalah para fuqahā’ Bashrah dan Ḥasan al-Bashrī.

Abū Ḥanīfah berpendapat bahwa bacaan yang wajib adalah membaca ayat al-Qur’ān, terlepas dari ayat atau surah apa yang dibacanya, menurut pengikut Abū Ḥanīfah, paling sedikit harus membaca tiga ayat pendek atau satu ayat panjang, seperti ayat tentang utang-piutang, bacaan ayat-ayat al-Qur’ān tersebut hanya diwajibkan untuk dua rakaat pertama, adapun dua rakaat berikutnya disarankan agar membaca tasbīḥ. Itulah pendapat Abū Ḥanīfah, dan ‘ulamā’ Kūfah. Sementara Jumhur fuqahā’ menganjurkan agar membaca al-Qur’ān di semua rakaat.

Sebab perbedaan pendapat: Adanya pertentangan antar atsar, disamping pertentangan zhahir al-Qur’ān dengan hadits shaḥīḥ. Adapun hadits yang saling bertentangan itu adalah:

Pertama, hadits Abū Hurairah yang shaḥīḥ:

أَنَّ رَجُلًا دَخَلَ الْمَسْجِدَ، فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ (ص)، فَرَدَّ عَلَيْهِ النَّبِيُّ وَ قَالَ: اِرْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ، فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَأَمَرَهُ بِالرُّجُوْعِ، فَعَلَ ذلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَقَالَ: وَ الَّذِيْ بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا أَحْسَنَ غَيْرُهُ، فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ: إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلَاةِ فَأَسْبِغِ الْوُضُوْءَ ثُمَّ اسْتَقْبِلِ الْقِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنَ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَسْتَوِيَ قَائِمًا ثُمَّ افْعَلْ ذلِكَ فِيْ صَلَاتِكَ كُلِّهَا.

“Bahwa seorang lelaki masuk masjid, lalu shalat kemudian menghadap dan memberi salam kepada Rasūlullāh s.a.w. dan Nabi s.a.w. pun membalas salamnya. Nabi s.a.w. bersabda: “Kembalilah dan kerjakan shalat, karena kamu belum mengerjakan shalat.” Ia pun mengerjakan shalat lagi, dan kembali menghadap. Rasūlullāh memerintahkannya untuk kembali berbuat seperti itu tiga kali. Lalu lelaki tersebut berkata: “Demi Dzāt yang telah mengutusmu dengan hak, aku tidak mampu lagi mengerjakan yang lebih bagus darinya.” Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka sempurnakanlah wudhū’, kemudian menghadap qiblat lalu bertakbir, bacalah ayat-ayat al-Qur’ān yang mudah bagimu, rukū‘lah hingga tuma’ninah dalam rukū‘, bangkitlah hingga lurus berdiri, sujūdlah kamu hingga tenang dalam sujūd, lalu bangkitlah hingga tegak dengan duduk, kemudian sujūdlah kamu sehingga tenang dalam sujūd, lalu angkatlah sehingga kamu tegak berdiri, lakukanlah cara seperti itu pada semua shalat-shalatmu”.” (2654).

Adapun hadits-hadits yang menentangnya adalah:

Pertama, hadits ‘Ubādah bin Shāmit, bahwa Nabi s.a.w. bersabda:

لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ.

Tidak (sah) shalat bagi orang yang tidak membaca al-Fātiḥah.” (2665).

Hadits Abū Hurairah, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيْهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ، فَهِيَ خِدَاجٌ، فَهِيَى خِدَاجٌ، ، فَهِيَى خِدَاجٌ ثَلَاثًا.

Barang siapa mengerjakan shalat tanpa membaca al-Fātiḥah, maka shalatnya kurang, maka shalatnya kurang, maka shalatnya kurang (sebanyak tiga kali).” (2676).

Zhahir hadits Abū Hurairah yang pertama menunjukkan bahwa membaca ayat al-Qur’ān mana saja sudah dianggap cukup, sedang menurut hadits ‘Ubādah bin Shāmit dan hadits Abū Hurairah dinyatakan bahwa bacaan al-Fātiḥah merupakan syarat shalat seseorang, pendapat Abū Hurairah yang di atas didukungg oleh zhahir firman Allah:

فَاقْرَؤُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ.

Karena itu, bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’ān.” (Qs. al-Muzzammil [73]: 20).

Para fuqahā’ berbeda pendapat tentang bacaan yang dimaksud, juga dalam menanggapi beberapa hadits di atas, para fuqahā’ ada yang memilih metode kompromi dan ada juga yang menggunakan metode tarjīḥ. Dan kedua metode tersebut mungkin terjadi.

‘Ulamā’ yang mengikuti pendapat bolehnya membaca ayat al-Qur’ān yang mana saja mengatakan bahwa hadits Abū Hurairah lebih kuat, karena zhahir ayat mendukungnya, mereka pun bisa mengatakan bahwa yang dimaksud dari hadits ‘Ubādah adalah menafikan kesempurnaan, dan hadits Abū Hurairah menggambarkan bacaan yang cukup, karena tujuannya adalah mengajarkan kefardhuan dalam shalat.

Sedangkan ‘ulamā’ yang mewajibkan bacaan al-Fātiḥah bisa mengambil metode di atas, yaitu kompromi dan tarjīḥ. Mereka ini berdalil bahwa hadits-hadits tersebut lebih banyak. Di samping itu, hadits Abū Hurairah yang lain memperkuatnya, hadits tersebut adalah sebagai berikut, Allah berfirman:

قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِيْ، وَ بَيْنَ عَبْدِيْ نِصْفَيْنِ، نِصْفُهَا لِيْ، وَ نِصْفُهَا لِعَبْدِيْ، وَ لِعَبْدِيْ مَا سَأَلَ، يَقُوْلُ الْعَبْدُ: الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، يَقُوْلُ اللهُ: حَمَدَنِيْ عَبْدِيْ.

Aku membagi shalat antara Aku dan hamba-Ku menjadi dua bagian: satu bagian untuk-Ku dan satu bagian untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku adalah apa yang dimintanya.” Si hamba berkata: “Segala puji hanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam” Allah menjawab: “Hamba-Ku telah memuji-Ku”.” (2687).

Selanjutnya sabda Nabi s.a.w.: “Bacalah ayat al-Qur’ān yang mudah bagimu,” (2698) ini tidak tampak jelas, sementara hadits-hadits yang lainnya jelas, yang jelas tentu akan mengalahkan yang samar.

Argumentasi di atas tampaknya sangat sulit dipertanggung-jawabkan. Sebab, jelas huruf di sini menunjukkan apa saja yang kamu anggap mudah.

Lalu menurut bahasa ‘Arab hal itu dipahami jika huruf kembali kepada sesuatu yang sudah diketahui, maka dengan alasan tersebut ma‘na ayat adalah: “Karena itu bacalah yang kamu anggap mudah dari al-Qur’ān.” Dalam hal ini adalah surat al-Fātiḥah,

Jika alif lām dalam kata (الَّذِيْ) mengandung arti lil-‘ahdi, maka persoalan ini perlu dikaji dalam gramatika bahasa ‘Arab, jika pada kenyataannya bangsa ‘Arab menggunakan kata “” sehingga kata-kata itu menunjukkan arti tertentu, maka argumentasi terakhir di atas bisa dibenarkan. Dengan kata lain, masalah ini kebenarannya memiliki banyak kemungkinan. Kemungkinan ini bisa hilang jika ada ketetapan penghapusan.

Sebab perbedaan pendapat antara ‘ulamā’ yang mewajibkan bacaan al-Fātiḥah pada setiap raka‘at dalam shalat dan ‘ulamā’ lain yang hanya mewajibkan untuk sebagian shalat, adalah adanya beberapa kemungkinan kembalinya dhamīr” dalam sabda Nabi:

لَمْ يَقْرَأْ فِيْهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ.

Tidak membaca al-Fātiḥah di dalamnya.

Apakah lafazh fīhā menyangkut keseluruhan shalat atau hanya sebagian saja. Artinya, ‘ulamā’ yang menafsirkannya dengan semua shalat atau sebagian shalat (satu atau dua raka‘at) sudah tentu tidak masuk dalam sabda Nabi di atas.

Karena kemungkinan itu, Abū Ḥanīfah berpendapat tidak membaca al-Qur’ān dalam sebagian shalat (dua rakaat terakhir).

Imām Mālik dalam hal ini memilih membaca al-Fātiḥah dan surah lain saja dalam dua raka‘at pertama dalam shalat yang empat raka‘at.

Sedangkan Imām Syāfi‘ī memilih untuk shalat Zhuhur dengan membaca al-Fātiḥah dan surah al-Qur’ān pada empat raka‘at. Namun demikian, surah yang dibaca untuk dua raka‘at pertama diharuskan lebih panjang.

Dalam hal tersebut, Imām Mālik berpedoman pada hadits Abū Qatādah yang shaḥīḥ:

أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَ السَّلَامُ كَانَ يَقْرَأُ فِي الْأُوْلَيَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ وَ الْعَصْرِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَ سُوْرَةٍ، وَ فِي الْأُخْرَيَيْنِ، مِنْهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَقَطْ.

Bahwa Nabi s.a.w. membaca al-Fātiḥah dan satu surah pada dua raka‘at pertama shalat Zhuhur dan ‘Ashar, dan (membaca) pada dua raka‘at terakhir dengan al-Fātiḥah saja.” (2709).

Adapun Imām Syāfi‘ī berpedoman pada sebuah hadits Abū Sa‘īd yang shaḥīḥ:

أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ فِي الرَّكَعَتَيْنِ الْأُوْلَيَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ قَدْرَ ثَلَاثِيْنَ آيَةً، وَ فِي الْأُخْرَيَيْنِ قَدْرَ خَمْسَ عَشَرَةَ آيَةً.

Bahwa Nabi s.a.w. membaca sekitar tiga puluh ayat pada dua raka‘at pertama shalat Zhuhur, dan pada dua raka‘at akhir membaca sekitar lima belas ayat.” (27110).

Mereka menyepakati pendapat mengenai shalat ‘Ashar lantaran ada kesesuaian dari dua hadits di atas. Di samping itu, karena di dalam hadits Abū Sa‘īd disebutkan:

أَنَّهُ كَانَ يَقْرَأُ فِي (الرَّكَعَتَيْنِ) الْأُوْلَيَيْنِ مِنَ الْعَصْرِ قَدْرَ خَمْسَ عَشَرَةَ آيَةً، وَ فِي الْأُخْرَيَيْنِ قَدْرَ النِّصْفِ مِنْ ذلِكَ.

Sesungguhnya beliau s.a.w. membaca surah seukuran lima belas ayat pada dua raka‘at pertama shalat ‘Ashar, dan pada dua raka‘at terakhir setengah darinya.” (27211).

Catatan:

  1. 262). Dha‘īf, An-Nawawī dalam al-Majmū‘ (3/285) mengaitkannya kepada Syāfi‘ī dalam al-Umm dan kepada al-Baihaqī, an-Nawawī berkata: “Riwayat ini bersambung dan sesuai dengan sunnah yang mewajibkan membaca al-Qur’ān, demikian pula berdasarkan qiyas bahwa rukū‘ tidak akan gugur hanya karena lupa.
  2. 263). Shaḥīḥ. HR. al-Bukhārī (774), Aḥmad (1/218, 334), ath-Thabrānī dalam al-Kabīr. (XI/357) (1205).
  3. 264). Shaḥīḥ. HR. al-Bukhārī (760, 761, 777), Abū Dāūd (801), Ibnu Mājah (827), Aḥmad (5/109, 110, 112), ath-Thabrānī (3683, 3684, 3686, 3687, 3688, 3689).
  4. 265). Telah dijelaskan takhrīj-nya.
  5. 266). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (756), Muslim (394), Abū Dāūd (822), an-Nasā’ī (2/137), Ibnu Mājah (837), Aḥmad (5/321), dan ad-Dārimī (1/283).
  6. 267). Shaḥīḥ. HR. al-Bukhārī (395), Abū Dāūd (821), at-Tirmidzī (2953), an-Nasā’ī (2/135), Ibnu Mājah (838), Aḥmad (2/460).
  7. 268). Telah dijelaskan takhrīj-nya, ini adalah hadits Abū Hurairah yang marfū‘, yaitu:

    مَنْ صَلَّى صَلَاةً لَمْ يَقْرَأْ فِيْهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ، فَهِيَ خِدَاجٌ.

    Barang siapa mengerjakan shalat tanpa membaca al-Fatihah, maka shalatnya kurang.”

  8. 269). Shaḥīḥ, telah terdahulu takhrīj-nya, ini adalah bagian dari hadits tentang orang yang melakukan shalat dengan tidak baik.
  9. 270). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (779), Muslim (451), Abū Dāūd (799), an-Nasā’ī (2/165, 166), Abū ‘Awānah (2/151), dan al-Baihaqī (2/95).
  10. 271). Shaḥīḥ. HR. Muslim (452), Abū Dāūd (804), an-Nasā’ī (2/137), Aḥmad (3/2), ad-Dārimī (1/295) Abū ‘Awānah (2/152), ad-Dāruquthnī(1/337), dan al-Baihaqī (2/390).
  11. 272). Sama dengan hadits terdahulu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *