Hati Senang

Masalah Shalat di dalam Ka‘bah & Sutrah (pembatas) – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd


Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Masalah Ketiga: Shalat di dalam Ka‘bah.

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat dalam masalah ini:

  1. Melarang secara mutlak.
  2. Membolehkan secara mutlak.
  3. Membedakan antara shalat wajib dan sunnah.

Sebab perbedaan pendapat: Kontradiksi antara berbagai atsar, dan perbedaan persepsi pada sebuah pertanyaan bagi seseorang yang shalat menghadap ke salah satu temboknya dari dalam, apakah orang tersebut termasuk menghadap qiblat sebagaimana dilakukan dari luar?

Ada dua atsar tsābit yang menjelaskan hal ini:

Pertama, hadits Ibnu ‘Abbās, beliau berkata:

لَمَّا دَخَلَ النَّبِيُّ (ص) الْبَيْتَ دَعَا فِيْ نَوَاحِيْهِ كُلِّهَا وَ لَمْ يُصَلِّ حَتَّى خَرَجَ مِنْهُ فَلَمَّا خَرَجَ رَكَعَ رَكَعَتَيْنِ فِيْ قُبُلِ الْكَعْبَةِ وَ قَالَ هذِهِ الْقِيْلَةُ.

Ketika Nabi s.a.w. masuk Ka‘bah, beliau berdoa di semua sudutnya, akan tetapi beliau tidak melakukan shalat hingga keluar darinya, setelah keluar beliau melakukan shalat dua rakaat ke arah Ka‘bah seraya bersabda: “Inilah Qiblat.” (2251).

Kedua, hadits ‘Abdullāh bin ‘Umar:

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ (ص) دَخَلَ الْكَعْبَةَ وَ أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ وَ عُثْمَانُ بْنُ طَلْحَةَ وَ بِلَالٌ بْنُ رَبَاحٍ، فَأَغْلَقَهَا عَلَيْهِ وَ مَكَثَ فِيْهَا، فَسَأَلْتُ بِلَالًا حِيْنَ خَرَجَ مَاذَا صَنَعَ النَّبِيُّ (ص)؟ فَقَالَ: جَعَلَ عَمُوْدًا عَنْ يَسَارِهِ وَ عَمُوْدًا عَنْ يَمِيْنِهِ وَ ثَلَاثَةَ أَعْمِدَةٍ وَرَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى.

Bahwa Rasūlullāh s.a.w. masuk ke dalam Ka‘bah bersama Usāmah bin Zaid, ‘Utsmān bin Thalḥah, dan Bilāl bin Rabāḥ, lalu beliau menguncinya dan berdiam di sana, ketika Bilāl keluar aku bertanya kepadanya: “Apa yang dilakukan Rasūlullāh s.a.w.?” dia menjawab: “Menancapkan satu tongkat di sebelah kiri, satu tongkat di sebelah kanan, dan tiga tongkat di belakangnya kemudian melakukan shalat.”(2262).

Kelompok ‘ulamā’ yang menempuh jalan penghapusan (naskh) atau tarjīḥ, memiliki dua pilihan, yaitu melarangnya secara mutlak jika menguatkan hadits Ibnu ‘Abbās, atau membolehkannya secara mutlak jika menguatkan hadits Ibnu ‘Umar.

Sementara kelompok ‘ulamā’ yang berusaha mengkompromikan dua hadits tersebut, mereka memahami hadits Ibnu ‘Abbās untuk shalat fardhu, dan hadits Ibnu ‘Umar untuk shalat sunnah.

Sebenarnya sulit mengkompromikan kedua hadits di atas, karena dua rakaat yang beliau lakukan di luar Ka‘bah, tepatnya ketika Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Ini adalah qiblat” adalah shalat sunnah.

Lalu kelompok ‘ulamā’ yang menggugurkan kedua atsar lantaran adanya kontradiksi terbagi dua:

  1. ‘Ulamā’ yang memandang berlakunya hukum (istisḥabb) ijma‘ sampai ada dalil yang membuktikan, mereka berpendapat tidak dibenarkan melakukan shalat dalam Ka‘bah secara mutlak.
  2. ‘Ulamā’ yang tidak memandang berlakunya hukum ijma‘, mereka melakukan pertimbangan kembali, apakah orang yang melakukan shalat dalam Ka‘bah termasuk menghadap qiblat? Jika dia menamakannya qiblat maka diperbolehkan shalat di dalamnya, dan yang tidak menamakannya qiblat – dan inilah pendapat yang lebih jelas – tidak membolehkan shalat di dalamnya.

Masalah Keempat, Sutrah (pembatas) di hadapan orang yang melakukan shalat.

Para ‘ulamā’ sepakat dianjurkan menggunakan sutrah yang diletakkan antara orang yang melakukan shalat dan qiblat, shalat sendiri atau sebagai imām, hal ini berdasarkan sabda Nabi s.a.w.:

إِذَا وَضَعَ أَحَدُكُمْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلَ مُؤَخَّرَةِ الرَّحْلِ فَلْيُصَلِّ.

Jika salah seorang di antara kalian meletakkan seperti sandaran pelana di hadapannya, maka lakukanlah shalat.” (2273).

Mereka berbeda pendapat jika menggunakan garis saat tidak mendapatkan sutrah (pembatas):

  1. Jumhur menyatakan tidak boleh menggunakan garis.
  2. Aḥmad bin Ḥanbal: boleh menggunakan garis di hadapannya.

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mereka dalam penilaian shahih tidaknya hadits tentang garis, atsar tersebut diriwayatkan oleh Abū Hurairah, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَجْعَلْ تِلْقَاءَ وَجْهِهِ شَيْئًا فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فَلْيَنْصِبْ عَصًا، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ مَعَهُ عَصًا فَلْيَخْطُطْ خَطًّا، وَ لَا يَضُرُّهُ مَنْ مَرَّ بَيْنَ يَدَيْهِ.

Jika salah seorang di antara kalian melakukan shalat, maka letakkanlah sesuatu di hadapannya, jika tidak ada maka tancapkanlah tongkat, jika tidak ada tongkat maka buatlah garis, dengannya dia tidak terganggu oleh orang yang melintas di hadapannya.” (2284).

Diriwayatkan oleh Abū Dāūd, Aḥmad bin Ḥanbal menilainya shaḥīḥ, sementara Syāfi‘ī tidak menilainya shaḥīḥ.

Telah diriwayatkan pula: “Bahwa Rasūlullāh s.a.w. pernah melakukan shalat tanpa menggunakan sutrah.” (2295) Demikian pula sebuah hadits yang menjelaskan bahwa Nabi s.a.w. pernah membawa tongkat (yang dijadikan sebagai sutrah). (2306).

Catatan:

  1. 225). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (398), Muslim (1331), an-Nasā’ī (5/2190), dan dalam al-Kubrā (3896), dan Aḥmad (1/283, 311).
  2. 226). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (505), Muslim (1329), Abū Dāūd (2023, 5025), an-Nasā’ī (2/63), (5/216), dan Aḥmad (2/23, 55), dan al-Baihaqī (2/326. 327).
  3. 227). Shaḥīḥ. HR. Muslim (499), Abū Dāūd (685), at-Tirmidzī (335), Aḥmad (1/162), dan ath-Thayālisī (231).
  4. 228). Dha‘īf. HR. Abū Dāūd (6889), Ibnu Mājah (943), Aḥmad (2/249, 254, 266), ‘Abd-ur-Razzāq (2286) dan dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Khuzaimah (811, 812), diriwayatkan pula oleh al-Baihaqī (2/270, 271) dan dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īfu Abī Dāūd.
  5. 229). Dha‘īf. HR. Abū Dāūd (819), an-Nasā’ī (2/65), Aḥmad (10211), dan dinilai dha‘īf oleh al-Albānī dalam Dha‘īfu Abī Dāūd.
  6. 230). Muttafaq ‘Alaihi. HR. al-Bukhārī (494, 498, 972), Muslim (501), Abū Dāūd (687), dan Aḥmad (2/13, 18) semuanya dari hadits Ibnu ‘Umar.
Alamat Kami
Jl. Zawiyah, No. 121, Rumah Botol Majlis Dzikir Hati Senang,
RT 06 RW 04, Kp. Tajur, Desa Pamegarsari, Parung, Jawa Barat. 16330.