Bab III
Kaum muslimin sepakat bahwa menghadap qiblat merupakan salah satu syarat sahnya shalat, berdasarkan firman Allah s.w.t.:
وَ مِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ.
“Dan dari mana saja kamu (keluar). Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid-il-Ḥarām.” (Qs. al-Baqarah [2]: 150).
Jika seseorang bisa melihat Ka‘bah maka yang wajib baginya adalah langsung menghadap Ka‘bah, tak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini.
Masalahnya adalah jika Ka’bah tidak terlihat oleh mata, para ‘ulamā’ berbeda pendapat dalam dua perkara:
Pertama, apakah yang wajib itu tepat menghadap Ka‘bah atau cukup dengan menghadap ke arahnya saja?
Kedua, apakah kewajibannya itu mesti benar-benar tepat ataukah cukup dengan ijtihad?
Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa yang wajib adalah menghadap tepat qiblat, sementara yang lainnya cukup dengan hanya menghadap arah qiblat.
Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan persepsi mengenai firman Allah s.w.t.:
فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ.
“Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid-il-Ḥarām.” (Qs. al-Baqarah [2]: 150).
Apakah dalam ayat tersebut ada redaksi yang dibuang, atau tidak ada sehingga memahami ungkapan secara hakiki?
Kelompok ‘ulamā’ yang menyatakan adanya kalimat yang dibuang, mereka berpendapat bahwa yang wajib hanyalah arah, sementara ‘ulamā’ yang tidak menyatakan adanya kalimat yang dibuang, mereka berkata: “Yang wajib adalah menghadap qiblat itu sendiri.”
Mestinya sebuah redaksi dipahami secara ma‘na hakiki sehingga datang dalil yang membawanya kepada ma‘na majazi.
Ada pernyataan bahwa dalil adanya kalimat yang dibuang adalah sabda Nabi s.a.w.:
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ إِذَا تَوَجَّهَ نَحْوَ الْبَيْتِ.
“Antara timur dan barat itu ada qiblat, jika seseorang mengarahkan (badannya) ke qiblat.” (2231).
Mereka berkata: “Demikian pula kesepakatan kaum muslimin membuat shaf panjang di luar Ka‘bah menunjukkan bahwa yang wajib bukan menghadap Ka‘bah itu sendiri.” (maksudnya jika Ka‘bah tidak bisa dilihat).
Menurut saya: Seandainya yang wajib itu adalah menghadap Ka‘bah itu sendiri maka akan menjadi sebuah kesulitan padahal Allah telah berfirman:
وَ مَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّيْنِ مِنْ حَرَجٍ.
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Qs. al-Ḥajj [22]: 78).
Sesungguhnya menghadap Ka‘bah itu sendiri tidak bisa dicapai kecuali dengan bantuan ilmu ukur dan teropong, tidak mungkin hanya dengang menggunakan ijtihād, padahal kita tidak dibebangkan menggunakan ilmu ukur atau teropong jika berijtihād dengan mengukur panjang dan lebarnya suatu negeri.
Apakah orang yang berijtihād dalam menentukan arah qiblat harus tepat atau hanya sekedar ijtihād? Sehingga kita bisa menetapkan jika kefardhuannya adalah ketepatan maka seseorang wajib mengulang shalatnya jika mengetahui bahwa dia tidak menghadap ke arah qiblat, lalu jika kita menyatakan bahwa yang wajib hanya sekedar ijtihād maka dalam kasus di atas dia tidak wajib mengulang shalat, padahal sebelumnya dia telah melakukan shalat berdasarkan ijtihādnya.
Sebab perbedaan pendapat: Kontradiksi antara qiyas dengan atsar, demikian pula perbedaan dalam penilaian ke-shaḥīḥ-an atsar yang menjelaskannya.
Qiyas di sini maksudnya adalah menganalogikakan arah kepada waktu shalat, tentang masalah waktu mereka sepakat bahwa kewajibannya tepat waktu, jadi, jika seseorang melakukan shalat sebelum masuk waktu maka ia wajib mengulang shalat, kecuali sebuah pendapat syādz yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās dan asy-Sya‘bī, demikian pula apa yang diriwayatkan oleh Imam Mālik bahwa jika seorang musāfir melakukan shalat ‘Isyā’ sebelum terbenam syafaq (sinar merah) karena tidak tahu, kemudian dia mengetahui telah melakukan shalat sebelum masuk waktunya maka shalatnya itu sah, sisi kesamaannya adalah yang ini batasan waktu, sementara arah adalah batasan tempat.
Atsar dalam masalah ini adalah hadits ‘Āmir bin Rabī‘ah, dia berkata:
كُنَّا مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ لَيْلَةٍ ظَلْمَاءَ فِيْ سَفَرٍ، فَخَفِيَتْ عَلَيْنَا الْقِبْلَةُ، فَصَلَّى كُلُّ وَاحِدٍ مِنَّا إِلَى وَجْهٍ وَ عَلَّمَنَا، فَلَمَّا أَصْبَحْنَا فَإِذَا نَحْنُ قَدْ صَلَّيْنَا إِلَى غَيْرِ الْقِبْلَةِ، فَسَأَلْنَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ، فَقَالَ: مَضَتْ صَلَاتُكُمْ.
“Kami pernah bersama Rasūlullāh s.a.w. pada satu malam yang gelap dalam sebuah perjalanan, maka qiblatpun tampak samar bagi kami, akhirnya masing-masing melakukan shalat ke satu arah, dan kami meletakkan sebuah tanda, tatkala Shuhuḥ tiba ternyata kami melakukan shalat bukan ke arah qiblat, lalu kami pun bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w.: “Shalat kalian telah berlalu.” (2242).
Lalu turunlah firman Allah s.w.t.:
وَ للهِ الْمَشْرِقُ وَ الْمَغْرِبُ، فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ الله.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (Qs. al-Baqarah [2]: 115).
Dengan ulasan di atas jelaslah bahwa ayat ini muḥkamah (pasti), dan berlaku bagi seseorang yang melakukan shalat bukan ke arah qiblat karena tidak tahu, lalu dia mengetahui hal tersebut setelahnya.
Sementara jumhur ‘ulamā’ menyatakan bahwa ayat ini di-naskh (dihapus) dengan firman Allah s.w.t.:
وَ مِنْ حَيْثُ خَرَجْتَ فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ.
“Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjid-il-Ḥarām.” (Qs. al-Baqarah [2]: 150).
‘Ulamā’ yang tidak menganggap shaḥīḥ atsar di atas, mereka mengqiyaskan batasan arah dengan batasan waktu.
Sementara ‘ulamā’ yang menganggap shaḥīḥ atsar di atas menyatakan bahwa bahwa shalat yang telah dilakukannya tidak batal.
Dalam pembahasan ini ada sebuah masalah yang sangat terkenal, yaitu shalat di dalam Ka‘bah:
مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَ الْمَغْرِبِ قِبْلِةٌ
“Antara timur dan barat itu ada qiblat”.
Dari hadits Ibnu ‘Umar secara marfū‘ yang diriwayatkan oleh Ibn-ul-Ja‘d (2405), ad-Dāruquthnī (1/270, 271), al-Ḥākim (1/205), al-Baihaqī (2/9) dalam masalah ini pun ada hadits dari Abū Hurairah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzī (342, 344), Ibnu Mājah (1011), ath-Thabrānī dalam al-Ausath (794), hadits ini dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam Shaḥīḥ-ut-Tirmidzī.