Para ‘ulamā’ bersepakat bahwa darah hewan darat itu najis, lalu mereka berbeda pendapat mengenai darah hewan laut, demikian pula sedikit darah dari hewan darat:
Yang pertama adalah pendapat jumhur.
Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mereka mengenai darah ikan, yaitu apakah ikan termasuk bangkai yang diharamkan?
Kelompok yang berpendapat bahwa bangkainya masuk dalam kategori yang haram dimakan, dia menyatakan demikian pula yang berlaku untuk darahnya.
Sementara yang mengecualikan ikan daripada bangkai yang diharamkan, mereka pun berpendapat demikian sebagai analogi dari hukum ikan itu sendiri.
Pendapat terakhir ini berdasarkan hadits dha‘īf yang menyatakan bahwa Nabi s.a.w. bersabda:
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ: فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ: فَالْحُوْتُ وَ الْجَرَادُ، وَ أَمَّا الدَّمَانِ: فَالْكَبِدُ وَ الطِّحَالُ.
“Dihalalkan bagi kami dua jenis bangkai dan dua jenis darah, adapun dua bangkai yaitu ikan dan belalang, dan dua darah adalah hati (liver) dan limpa.” (1481).
Adapun sebab perbedaan tentang sedikit dan banyaknya darah adalah perbedaan persepsi dalam menentukan apakah yang mutlak dibawa kepada yang muqayyad ataukah yang muqayyad dibawa kepada yang mutlak?
Jelasnya, bahwa dalil yang menunjukkan haramnya darah diungkapkan secara mutlak, tepatnya dalam firman Allah s.w.t.:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَ الدَّمُ وَ لَحْمُ الْخِنْزِيْرِ.
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, dan daging babi.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 3).
Dan diungkapkan pula dalam redaksi yang muqayyad, yaitu dalam firman-Nya:
قُلْ لَّا أَجِدُ فِي مَا أُوْحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَّسْفُوْحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيْرٍ
“Katakanlah: “Tiadalah Aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi.” (Qs. al-An‘ām [6]: 145).
Kelompok yang membawa mutlak kepada muqayyad – mereka adalah jumhur – berkata: “Hanya darah yang mengalir yang najis.”
Sementara kelompok yang membawa muqayyad kepada mutlak dengan alasan adanya tambahan, dia berkata: “Maksudnya yang mengalir atau yang banyak, dan yang tidak mengalir atau yang sedikit, semuanya adalah haram,” pendapat ini diperkuat dengan sebuah pemahaman bahwa setiap najis itu tidak bisa terbagi-bagi (banyak atau sedikit adalah sama).
Sedangkan ‘ulamā’ yang menganalogikan jenis binatang, dengan binatang-binatang ternak, berkesimpulan bahwa kotoran dan air kencing binatang itu suci alias tidak haram dan boleh dimakan.
Persoalan ini sebetulnya masih serba mungkin, walaupun pada dasarnya tidak boleh menimbulkan pendapat baru yang tidak memiliki pendahulunya menurut pendapat yang masyhur, seandainya tidak ada perbedaan dalam masalah ini niscaya dikatakan: Sesungguhnya yang berbau busuk dan menjijikkan berbeda dengan yang tidak berbau busuk dan menjijikkan, khususnya yang memiliki bau harum, karena sebelumnya mereka sepakat bolehnya memanfaatkan anbar, padahal menurut kebanyakan orang ia adalah kotoran hewan laut, demikian pula misk, padahal ia merupakan sisa darah hewan.
Para ‘ulamā’ bersepakat bahwa air kencing manusia dan kotorannya adalah najis kecuali air kencing anak kecil yang masih menyusui, lalu mereka berbeda pendapat tentang air kencing dan kotoran binatang:
Sebab perbedaan pendapat:
Pertama: perbedaan mereka mengenai makna bolehnya shalat di kandang kambing, dan sikap Rasūlullāh s.a.w. yang mengidzinkan kaum Urainiyīn (عُرَيْنِيِيْنَ) untuk meminum air kencing unta dan susunya, (1492) demikian pula pemahaman mengenai larangan shalat di kandang unta.
Kedua: Perbedaan mereka dalam mengqiyaskan hewan kepada manusia dalam masalah ini.
Kelompok yang menganalogikan binatang kepada manusia, bahkan menganggapnya sebagai qiyās aulawī, mereka tidak memahami bahwa bolehnya melakukan shalat di kandang kambing menunjukkan sucinya kotoran dan air kencing binatang, akan tetapi mereka memahami hadits itu sebagai ibadah.
Lalu kelompok yang memahami larangan melakukan shalat di kandang unta sebagai dalil yang menunjukkan najis, dia berpendapat, dan melihat bahwa petunjuk Rasūlullāh s.a.w. untuk meminum air kencing unta adalah karena alasan obat, dia berkata: “Semua kotoran dan air kencing adalah najis.”
Selanjutnya kelompok yang memiliki pemahaman sebagai berikut:
– Hadits bolehnya shalat di kandang kambing sebagai dalil sucinya kotoran dan air kencing kambing, demikian pula hadits kaum ‘Urainah (عُرَيْنَةَ).
– Lalu mereka memahami larangan shalat di kandang kambing sebagai sebuah ibadah yang tidak dapat dijangkau akal, atau dengan alasan lain selain najis.
– Kemudian mereka membedakan antara manusia dan binatang yaitu kotoran manusia itu menjijikkan, sementara kotoran binatang tidak demikian.
Mereka yang memahami tiga poin di atas berkata: “Sesungguhnya kotoran mengikuti daging.” Wallāhu a‘lam.
قَدِمَ أَعْرَابٌ مِنْ عُرَيْنَةَ إِلَى رَسُوْلِ اللهِ (ص) فَاجْتَوَوا الْمَدِيْنَةَ فَأَمَرَهُمْ أَنْ يَشْرَبُوْا مِنْ أَلْبَانِهَا وَ أَنْوَالِهَا حَتَّى صَحُّوْا فَقَتَلُوْا رُعَاتَهَا وَ اسْتَاقُوا الْإِبِلَ، فَبَعَثَ نَبِيُّ اللهُ (ص) فِيْ طَلَبِهَا فَأُتِيَ بِهِمْ فَقَطَّعَ أَيْدِيَهُمْ وَ أَرْجُلَهُمْ وَ سَمَّرَ أَعْيُنَهُمْ.
“Sekelompok kaum Badui dari Urainah kepada Rasūlullāh s.a.w., lalu mereka tertimpa sakit perut di Madīnah, akhirnya Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan mereka untuk meminum air susu dan air kencing unta sehingga mereka pun sembuh dan sehat, kemudian mereka memerangi para penggembala unta dan menggiringkan unta tersebut untuk dijual. Maka Nabi s.a.w. mengirim utusan untuk mencari mereka, kemudian mereka didatangkan kepada Nabi s.a.w., maka beliau memerintahkan untuk memotong tangan dan kaki-kaki mereka, dan menusuk mata mereka dengan paku panas.” HR. al-Bukhārī (3018, 4193, 4610, 6805, 6899), Muslim (1671), Abū Dāūd (4364), at-Tirmidzī (72, 73, 1845, 2041), an-Nasā’ī (1/160) (7/93, 95, 96), Aḥmad (2/107, 161, 186, 198, 205).