“Tidak mengawali perbuatan dengan niat sama saja dengan tidak berbuat. Engkau berdosa ketika berbicara atau diam bila bicara dan diammu tidak disertai dengan niat baik. Tanpa niat baik, bicaramu dan diammu tidaklah sesuai dengan sunah Rasulullah s.a.w.” (Syekh ‘Abd al-Qādir al-Jailānī).
Niat itu membedakan amal yang satu dan amal yang lain, dan membedakan antara orang yang satu dan orang yang lain. Syekh Ibn Taimiyah telah meyakinkan kita betapa niat itu sangat menentukan nilai amal dan diri kita. Tapi, niat sejati itu dalam hati. Ikhlas pun karenanya ada dalam hati. Lantas, apa makna ikhlas? Imām an-Nawawī, di awal kitab al-Adzkār, menyajikan banyak keterangan para syekh tentang makna-makna ikhlas.
2
[Imām an-Nawawī ad-Dimasyqī (w. 676 H.)]
Allah berfirman: “Mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan (mengikhlaskan) ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus.” (al-Bayyinah: 5).
Allah juga berfirman: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidaklah dapat mencapai Allah, melainkan ketakwaan dari kamulah yang mencapai-Nya.” (al-Ḥajj: 37). Ibn ‘Abbas mengatakan, ketaqwaan di sini maksudnya adalah niat (tulus).
Dari ‘Umar ibn al-Khaththāb diriwayatkan bahwa Nabi s.a.w. bersabda: “Perbuatan itu bergantung pada niat. Bagi setiap orang apa yang ia niatkan. Siapa berhijrah karena Allah dan Rasūl-Nya, maka hijrahnya karena Allah dan Rasūl-Nya. Sedang siapa berhijrah karena dunia yang ingin ia kuasai atau perempuan yang ingin ia kawini, maka hijrahnya karena hal itu pula.”
Hadits ini shaḥīḥ, dan termasuk salah satu hadits yang menjadi poros ajaran Islam. Kaum salaf senang sekali mengawali kitab-kitab mereka dengan hadits ini, demi memperingatkan para penelaah agar mempunyai dan memerhatikan niat yang lurus.
Imām ‘Abd al-Raḥmān ibn Mahdī berkata: Siapa hendak menyusun suatu kitab, hendaklah ia mulai dengan hadits ini.
Imām Abū Sulaimān al-Khaththābī berkata: Syekh-syekh kita senang mendahulukan hadits ini di setiap karangan mereka, dan di saat memulai urusan agama, mengingat niat dibutuhkan dalam setiap keperluan.
Ibn ‘Abbās berkata: Orang itu dihormati sepadan dengan niatnya. Yang lain berkata: manusia itu dihargai sebanding dengan niatnya.
Al-Fudhail ibn ‘Iyādh berkata: Meninggalkan amal karena manusia itu riyā’, melakukan amal karena manusia itu syirik, dan ikhlaslah yang menyembuhkan keduanya.
Al-Ḥārits al-Muḥāsibī mengatakan: Orang yang tulus adalah orang yang tak peduli bila makhluk menilai lain dirinya demi menjaga hatinya, tak pula senang bila orang-orang mengetahui kebaikannya walau setitik, dan tak pula benci bila orang-orang mengetahui keburukannya.
Ḥudzaifah al-Mur‘isyī berkata: Ikhlas itu berarti perbuatan hamba sama saja pada saat terlihat atau tak terlihat.
Imām al-Qusyairī berkata: Ikhlas itu berarti sungguh-sungguh mengesakan Allah dalam ketaatan, yakni hanya berharap ketaatan itu mendekatkannya pada Allah, dan bukan sebagai hal lain seperti: kepura-puraan di hadapan makhluk, upaya mendapatkan kemuliaan di tengah manusia, cinta pujian dari makhluk, atau hal lain selain taqarrub kepada Allah.
Sahl at-Tustarī berkata: Orang-orang cerdas memaknai ikhlas tak lain sebagai: gerak dan diamnya seseorang pada saat sendiri ataupun terlihat orang hanya untuk Allah ta‘ala, tak tercampur dengan nafsu, hasrat, ataupun dunia.
Abū ‘Alī ad-Daqqāq berkata: Ikhlas berarti menghindar dari perhatian makhluk, dan tulus berarti bersih dari penurutan nafsu. Orang yang ikhlas tak punya sifat riyā’, dan orang yang tulus tak punya sifat ‘ujub.
Dzu an-Nūn al-Mishrī berkata: Tiga tanda ikhlas adalah: pujian dan hinaan orang dirasa sama saja, lupa akan penglihatan orang pada saat berbuat, dan berharap pahala amal diberikan di akhirat.
Syekh al-Qusyairī berkata: Ketulusan minimal adalah bila terlihat atau tak terlihat orang dirasa sama saja.
Sahl at-Tustarī berkata: Tidaklah mencium aroma ketulusan, orang yang memuji dirinya atau orang lain secara berlebihan.