Macam-macam Najis & Masalah Bangkai Hewan yang Tidak Memiliki Darah – Kitab Bersuci dari Najis – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 005 Kitab Bersuci dari Najis - Bidayat-ul-Mujtahid

Bab II

Macam-macam Najis.

 

Para ‘ulamā’ sepakat bahwa najis itu ada empat macam:

  1. Bangkai hewan darat yang memiliki darah.
  2. Daging babi, dengan cara apapun ia mati.
  3. Darah yang berasal dari hewan darat itu sendiri, baik darah itu berasal dari binatang yang telah mati ataupun yang masih hidup apabila darah tersebut (terhitung) banyak.
  4. Air seni dan kotoran manusia.

Mayoritas ‘ulamā’ menyatakan bahwa khamer adalah najis, namun ada perbedaan pendapat tentangnya di kalangan ‘ulamā’ hadits. Juga, mereka berbeda pendapat pada permasalahan lainnya yang pada dasarnya ada 7 permasalahan:

Masalah pertama: Bangkai hewan yang tidak memiliki darah

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat mengenai hewan yang tidak memiliki darah dan bangkai hewan laut:

  1. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat bahwa bangkai hewan yang tidak memiliki darah dan bangkai hewan laut tidak najis, ini adalah pendapat Mālik dan para pengikutnya.
  2. Sebagian ‘ulamā’ menyamakan antara bangkai hewan yang memiliki darah dan yang tidak memiliki darah, semuanya najis, lalu mereka menetapkan bangkai laut sebagai pengecualian, inilah pendapat Syāfi‘ī, kecuali yang masuk dalam kesepakatan bahwa hewan tersebut bukan bangkai, seperti belatung cuka dan semua binatang yang timbul dari makanan.
  3. Sebagian ‘ulamā’ yang lain menyamakan antara hewan darat dan hewan laut, lalu memberikan pengecualian hewan yang tidak memiliki darah, inilah pendapat Abū Ḥanīfah.

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mereka dalam memahami firman Allah s.w.t.:

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ.

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 3).

Saya kira mereka sepakat bahwa ayat ini termasuk kalimat umum yang dipahami kekhususannya, lalu mereka berbeda pendapat mengenai kekhususan yang dimaksud?

Di antara mereka ada yang mengecualikan bangkai laut dan hewan yang tidak memiliki darah, mengecaulikan hewan laut saja, dan sebagian yang lain mengecualikan hewan yang tidak memiliki darah.

Jadi sebab perbedaan dalam pengecualian ini berotasi pada perbedaan mereka dalam dalil yang dikhususkan.

Adapun kelompok yang menetapkan hewan yang tidak memiliki darah sebagai pengecualian, hujjah mereka adalah hadits shaḥīḥ dari beliau s.a.w. tatkala memerintahkan untuk menenggelamkan lalat yang hinggap ke dalam makanan, mereka berkata: “Ini menunjukkan sucinya lalat, dan tidak ada lagi alasan kecuali bahwa lalat adalah binatang yang tidak memiliki darah.”

Sementara Syāfi‘ī berpendapat bahwa hal ini adalah kekhususan lalat dengan dalil sabda Nabi s.a.w.:

فَإِنَّ فِيْ إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَ الْأُخْرَى دَوَاءٌ.

Sesungguhnya di salah satu sayapnya terdapat penyakit dan di sayap yang lain terdapat obat penawar.” (1411).

Lalu beliau melemahkan pemahaman hadits di atas seperti itu karena zhahir ayat 3 surah al-Mā’idah menetapkan bahwa bangkai dan darah adalah dua hal dari berbagai macam najis, salah satunya mati akibat tidak disembelih sesuai syariat, yaitu bangkai, itu terjadi pada hewan-hewan yang boleh dimakan sesuai kesepakatan ‘ulamā’, dan yang kedua adalah darah yang tidak berlaku baginya hukum penyembelihan.

Walhasil keduanya adalah berbeda, maka bagaimana bisa keduanya dipadukan sehingga dikatakan bahwa darahlah yang menjadikan haramnya bangkai?

Seperti yang anda perhatikan pendapat ini sangat kuat, karena seandainya darah yang menyebabkan haramnya bangkai, niscaya ia akan tetap haram walaupun disembelih, demikian pula hewan itu tetap haram tatkala darah masih melekat di hewan sembelihan, artinya kehalalan ditetapkan setelah darah itu benar-benar terpisah.

Karena jika sebab itu telah sirna, maka hukum yang disebabkannya pun akan lenyap secara otomatis, misalnya jika haramnya perasan anggur itu hilang maka secara otomatis sifat memabukkannya pun harus lenyap. Ketika kita meyakini bahwa sifat memabukkan itulah yang menyebabkannya haram.

Lalu kelompok yang memberikan pengecualian bangkai hewan laut, mereka berpegang teguh kepada hadits shaḥīḥ dari Jābir yang di dalamnya disebutkan:

أَنَّهُمْ أَكَلُوْا مِنَ الْحُوْتِ الَّذِيْ رَمَاهُ الْبَحْرُ أَيَّامًا وَ تَزَوَّدُوْا مِنْهُ، وَ إِنَّهُمْ أَخْبَرُوْا بِذلِكَ رَسُوْلَ اللهِ (ص)، فَاسْتَحْسَنَ فِعْلَهُمْ وَ سَأَلَهُمْ هَلْ يَبْقَى مِنْهُ شَيْءٌ؟

Para sahabat memakan ikan hiu yang terdampar beberapa hari dan menjadikannya sebagai bekal, akhirnya mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada Rasūlullāh s.a.w., ternyata beliau s.a.w. menilai baik apa yang telah mereka lakukan, bahkan beliau bertanya kepada mereka apakah masih ada yang bersisa?” (1422).

Hadits ini menunjukkan bahwa beliau s.a.w. membolehkan makan bangkai laut bukan karena darurat, demikian pula mereka pun berhujjah dengan sabda Nabi s.a.w.:

هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.

Laut itu suci airnya dan bangkainya halal.” (1433).

Sementara Abū Ḥanīfah lebih menguatkan keumuman ayat daripada hadits ini, bisa jadi karena ayat bersifat pasti, sementara hadits bersifat zhanni (dugaan) yakni hadits Jābir), atau adanya kemungkinan bisa saja ikan tersebut mati karena suatu sebab, yaitu terlempar oleh air laut sampai ke pantai, karena yang namanya bangkai adalah yang mati dengan sendirinya bukan dengan sebab luar.

Demikian pula karena adanya perbedaan mereka dalam sebab lain yaitu kemungkinan kembalinya dhamīr dalam firman Allah:

وَ طَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَ لِلسَّيَّارَةِ.

Dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (Qs. Mā’idah [5]: 96).

Jelasnya apakah dhamīr hā’ tersebut kembali kepada laut atau binatang buruan.

‘Ulamā’ yang menyatakan bahwa dhamīr tersebut kembali kepada “laut” berkata: “Yang dimaksud dengan makanan yang halal itu adalah yang terapung,” sementara kelompok yang mengembalikan dhamīr kepada “buruan” berkata: “Yang halal itu adalah hasil buruan dari laut”, lalu ‘ulamā’ Kūfah pun berpegang teguh kepada atsar yang menjelaskan haramnya ikan yang terapung, padahal hadits yang dimaksud adalah lemah.

Catatan:

  1. 141). Lafazh hadits:

    إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَإِنَّ فِيْ أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءٌ وَ فِي الْآخَرِ شِفَاءٌ وَ إِنَّهُ يَتَّقِيْ بِجَنَاحِهِ الَّذِيْ فِيْهِ الدَّاءُ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَنْتَزِعَهُ.

    Jika ada lalat yang hinggap di salah satu wadah kalian, maka sesungguhnya di salah satu sayapnya terdapat penyakit dan yang lainnya terdapat obat penawar, sayapnya yang mengandung obat bisa menangkalnya, maka tenggelamkanlah ia dan angkatlah.” HR. Abū Hurairah oleh al-Bukhārī (3320, 5782), Abū Dāūd (3844), Ibnu Mājah (3503), Aḥmad (2/229, 246, 298, 443), ad-Dārimī (2/98, 99) dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Ḥibbān (1246 – al-Iḥsān) dan ini adalah lafazh dari riwayat beliau, dalam masalah ini pun ada riwayat dari Abū Sa‘īd al-Khudrī yang diriwayatkan oleh an-Nasā’ī (7/178, 179), Ibnu Mājah (3524), dan Aḥmad (3/67).

  2. 142). Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhārī (4361, 5493), Muslim (1935), Abū Dāūd (3840), at-Tirmidzī (2475), an-Nasā’ī (7/207), Aḥmad (3/306, 311), ath-Thayālisī (1744), ‘Abd-ur-Razzāq (8668), ad-Dārimī (2/91), al-Ḥumaidī (1242), Ibnu Ja‘d (2648).
  3. 143). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (83), an-Nasā’ī (1/50, 176), (7/207), at-Tirmidzī (69), Ibnu Mājah (386, 3246), Aḥmad (2/237, 361), dinilai shaḥīḥ oleh al-Ḥākim (1/140) dan disepakati oleh adz-Dzahabī dan diriwayatkan oleh al-Baihaqī (1/3) semuanya dari hadits Abū Hurairah, dalam masalah ini pun ada hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mājah (388), Aḥmad (3/373), ath-Thabrānī (1759), dan ad-Dāruquthnī (1/34).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *