Bab II
Para ‘ulamā’ sepakat bahwa najis itu ada empat macam:
Mayoritas ‘ulamā’ menyatakan bahwa khamer adalah najis, namun ada perbedaan pendapat tentangnya di kalangan ‘ulamā’ hadits. Juga, mereka berbeda pendapat pada permasalahan lainnya yang pada dasarnya ada 7 permasalahan:
Para ‘ulamā’ berbeda pendapat mengenai hewan yang tidak memiliki darah dan bangkai hewan laut:
Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mereka dalam memahami firman Allah s.w.t.:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ.
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai.” (Qs. al-Mā’idah [5]: 3).
Saya kira mereka sepakat bahwa ayat ini termasuk kalimat umum yang dipahami kekhususannya, lalu mereka berbeda pendapat mengenai kekhususan yang dimaksud?
Di antara mereka ada yang mengecualikan bangkai laut dan hewan yang tidak memiliki darah, mengecaulikan hewan laut saja, dan sebagian yang lain mengecualikan hewan yang tidak memiliki darah.
Jadi sebab perbedaan dalam pengecualian ini berotasi pada perbedaan mereka dalam dalil yang dikhususkan.
Adapun kelompok yang menetapkan hewan yang tidak memiliki darah sebagai pengecualian, hujjah mereka adalah hadits shaḥīḥ dari beliau s.a.w. tatkala memerintahkan untuk menenggelamkan lalat yang hinggap ke dalam makanan, mereka berkata: “Ini menunjukkan sucinya lalat, dan tidak ada lagi alasan kecuali bahwa lalat adalah binatang yang tidak memiliki darah.”
Sementara Syāfi‘ī berpendapat bahwa hal ini adalah kekhususan lalat dengan dalil sabda Nabi s.a.w.:
فَإِنَّ فِيْ إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَ الْأُخْرَى دَوَاءٌ.
“Sesungguhnya di salah satu sayapnya terdapat penyakit dan di sayap yang lain terdapat obat penawar.” (1411).
Lalu beliau melemahkan pemahaman hadits di atas seperti itu karena zhahir ayat 3 surah al-Mā’idah menetapkan bahwa bangkai dan darah adalah dua hal dari berbagai macam najis, salah satunya mati akibat tidak disembelih sesuai syariat, yaitu bangkai, itu terjadi pada hewan-hewan yang boleh dimakan sesuai kesepakatan ‘ulamā’, dan yang kedua adalah darah yang tidak berlaku baginya hukum penyembelihan.
Walhasil keduanya adalah berbeda, maka bagaimana bisa keduanya dipadukan sehingga dikatakan bahwa darahlah yang menjadikan haramnya bangkai?
Seperti yang anda perhatikan pendapat ini sangat kuat, karena seandainya darah yang menyebabkan haramnya bangkai, niscaya ia akan tetap haram walaupun disembelih, demikian pula hewan itu tetap haram tatkala darah masih melekat di hewan sembelihan, artinya kehalalan ditetapkan setelah darah itu benar-benar terpisah.
Karena jika sebab itu telah sirna, maka hukum yang disebabkannya pun akan lenyap secara otomatis, misalnya jika haramnya perasan anggur itu hilang maka secara otomatis sifat memabukkannya pun harus lenyap. Ketika kita meyakini bahwa sifat memabukkan itulah yang menyebabkannya haram.
Lalu kelompok yang memberikan pengecualian bangkai hewan laut, mereka berpegang teguh kepada hadits shaḥīḥ dari Jābir yang di dalamnya disebutkan:
أَنَّهُمْ أَكَلُوْا مِنَ الْحُوْتِ الَّذِيْ رَمَاهُ الْبَحْرُ أَيَّامًا وَ تَزَوَّدُوْا مِنْهُ، وَ إِنَّهُمْ أَخْبَرُوْا بِذلِكَ رَسُوْلَ اللهِ (ص)، فَاسْتَحْسَنَ فِعْلَهُمْ وَ سَأَلَهُمْ هَلْ يَبْقَى مِنْهُ شَيْءٌ؟
“Para sahabat memakan ikan hiu yang terdampar beberapa hari dan menjadikannya sebagai bekal, akhirnya mereka melaporkan peristiwa tersebut kepada Rasūlullāh s.a.w., ternyata beliau s.a.w. menilai baik apa yang telah mereka lakukan, bahkan beliau bertanya kepada mereka apakah masih ada yang bersisa?” (1422).
Hadits ini menunjukkan bahwa beliau s.a.w. membolehkan makan bangkai laut bukan karena darurat, demikian pula mereka pun berhujjah dengan sabda Nabi s.a.w.:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
“Laut itu suci airnya dan bangkainya halal.” (1433).
Sementara Abū Ḥanīfah lebih menguatkan keumuman ayat daripada hadits ini, bisa jadi karena ayat bersifat pasti, sementara hadits bersifat zhanni (dugaan) yakni hadits Jābir), atau adanya kemungkinan bisa saja ikan tersebut mati karena suatu sebab, yaitu terlempar oleh air laut sampai ke pantai, karena yang namanya bangkai adalah yang mati dengan sendirinya bukan dengan sebab luar.
Demikian pula karena adanya perbedaan mereka dalam sebab lain yaitu kemungkinan kembalinya dhamīr dalam firman Allah:
وَ طَعَامُهُ مَتَاعًا لَكُمْ وَ لِلسَّيَّارَةِ.
“Dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan.” (Qs. Mā’idah [5]: 96).
Jelasnya apakah dhamīr hā’ tersebut kembali kepada laut atau binatang buruan.
‘Ulamā’ yang menyatakan bahwa dhamīr tersebut kembali kepada “laut” berkata: “Yang dimaksud dengan makanan yang halal itu adalah yang terapung,” sementara kelompok yang mengembalikan dhamīr kepada “buruan” berkata: “Yang halal itu adalah hasil buruan dari laut”, lalu ‘ulamā’ Kūfah pun berpegang teguh kepada atsar yang menjelaskan haramnya ikan yang terapung, padahal hadits yang dimaksud adalah lemah.
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِيْ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَإِنَّ فِيْ أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءٌ وَ فِي الْآخَرِ شِفَاءٌ وَ إِنَّهُ يَتَّقِيْ بِجَنَاحِهِ الَّذِيْ فِيْهِ الدَّاءُ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ لِيَنْتَزِعَهُ.
“Jika ada lalat yang hinggap di salah satu wadah kalian, maka sesungguhnya di salah satu sayapnya terdapat penyakit dan yang lainnya terdapat obat penawar, sayapnya yang mengandung obat bisa menangkalnya, maka tenggelamkanlah ia dan angkatlah.” HR. Abū Hurairah oleh al-Bukhārī (3320, 5782), Abū Dāūd (3844), Ibnu Mājah (3503), Aḥmad (2/229, 246, 298, 443), ad-Dārimī (2/98, 99) dinilai shaḥīḥ oleh Ibnu Ḥibbān (1246 – al-Iḥsān) dan ini adalah lafazh dari riwayat beliau, dalam masalah ini pun ada riwayat dari Abū Sa‘īd al-Khudrī yang diriwayatkan oleh an-Nasā’ī (7/178, 179), Ibnu Mājah (3524), dan Aḥmad (3/67).