Macam-macam Bangkai & Masalah Kulit bangkai – Bidayat-ul-Mujtahid

Bidāyat-ul-Mujtahid
Oleh: Ibnu Rusyd

Penerjemah: Beni Sarbeni, ‘Abdul Hadi, Zuhdi.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Buku 1

Rangkaian Pos: 005 Kitab Bersuci dari Najis - Bidayat-ul-Mujtahid

Masalah kedua: Macam-macam bangkai

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat mengenai bagian-bagian bangkai yang disepakati sebagai bangkai, sebagaimana mereka pun berbeda pendapat tentang macam-macam bangkai.

Mereka sepakat bahwa daging termasuk bagian dari bangkai, lalu mereka berbeda pendapat mengenai tulang dan bulu:

  1. Syāfi‘ī berpendapat bahwa tulang dan rambut termasuk bangkai.
  2. Abū Ḥanīfah berpendapat keduanya bukan bangkai.
  3. Adapun Mālik membedakan antara bulu dan tulang, dia berkata: “Sesungguhnya tulang termasuk bangkai, berbeda dengan bulunya.”

Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan mereka tentang persepsi kehidupan untuk berbagai anggota badan.

Kelompok yang menyatakan bahwa pertumbuhan dan makan merupakan unsur dari kehidupan, mereka berkata: “Jika rambut dan tulang kehilangan pertumbuhan dan tidak membutuhkan makan, maka ia adalah bangkai.”

Lalu kelompok yang menyatakan bahwa kehidupan hanya bertitik kepada rasa saja, mereka berpendapat bahwa tulang dan bulu bukanlah bangkai karena keduanya tidak memiliki rasa.

Kemudian kelompok yang “membedakan” menetapkan perasaan pada tulang, dan tidak pada bulu.

Lalu dalam masalah perasaan tulang pun, ada perbedaan pendapat, karena masalahnya diperdebatkan di kalangan dokter.

Di antara dalil yang menyatakan bahwa makan dan pertumbuhan bukan alasan adanya kehidupan adalah sesungguhnya mereka telah sepakat bahwa apa-apa yang dipotong dari hewan hidup adalah bangkai dengan landasan hadits, yaitu sabda beliau s.a.w.:

مَا قُطِعَ مِنَ الْبَهِيْمَةِ وَ هِيَ حَيَّةٌ فَهُوَ مَيْتَةٌ

Segala macam yang dipotong dari hewan hidup adalah bangkai.” (1441).

Mereka pun bersepakat jika bulu itu diambil dari hewan hidup maka ia suci.

Dan seandainya bangkai itu hanya dipersepsikan sebagai makhluk yang tidak makan dan berkembang, niscaya kita akan mengatakan bangkai kepada tumbuhan yang dicabut, karena pada dasarnya ketika tumbuhan itu hidup ia pun makan dan mengalami pertumbuhan.

Lalu Syāfi‘ī bisa berkata: “Sesungguhnya makan yang menentukan bangkai atau tidaknya adalah makan yang berada pada makhluk yang dapat merasa,”

Masalah ketiga: Kulit bangkai

Para ‘ulamā’ berbeda pendapat tentang memanfaatkan kulit bangkai:

  1. Sebagian ‘ulamā’ berpendapat boleh memanfaatkannya secara mutlak, baik disamak atau tidak.
  2. Sebagian yang lain berpendapat sebaliknya, tegasnya disamak atau tidak tetap tidak bisa dimanfaatkan.
  3. Membedakan antara yang disamak dan tidak, mereka berpendapat proses penyamakan bisa mensucikan, inilah pendapat madzhab Abū Ḥanīfah dan Syāfi‘ī, lalu ada dua pendapat dari Mālik tentang masalah tersebut, salah satunya seperti pendapat Syāfi‘ī, dan yang kedua: “Proses penyamakan tidak bisa mensucikan, akan tetapi bisa digunakan pada sesuatu yang kering.”

Lalu kelompok yang menyatakan bahwasanya penyamakan itu bisa mensucikan, mereka berpendapat hal itu berlaku bagi hewan yang disembelih secara Islami (bisa dimakan).

Kemudian mereka berbeda pendapat hewan yang tidak disembelih secara Islami; Syāfi‘ī berpendapat hal itu berlaku hanya untuk hewan yang disembelih secara Islami, dan penyamakan dipersepsikan sebagai penyembelihan yang bisa mensucikan.

Adapun Abū Ḥanīfah berpendapat adanya pengaruh penyamakan untuk semua bangkai hewan kecuali babi.

Lalu Dāūd berkata: “Kulit babi bisa suci dengan penyamakan.”

Sebab perbedaan pendapat: Kontradiksi antara berbagai atsar dalam masalah ini, jelasnya dalam hadits Maimūnah diungkapkan bolehnya memanfaatkan kulit secara mutlak, diceritakan bahwa beliau s.a.w. melewati sebuah bangkai, lalu bersabda:

هَلَّا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا.

Tidakkah kalian memanfaatkan kulitnya.” (1452).

Sementara dalam hadits ‘Ukaim dilarang memanfaatkan kulit secara mutlak, dalam hadits tersebut diungkapkan bahwa beliau menulis surat:

أَلَّا تَنْفَعُوْا مِنَ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَ لَا عَصَبٍ.

Janganlah kalian mengambil manfaat dari bangkai; baik kulit atau tulangnya.” (1463).

Hal itu terjadi setahun sebelum beliau wafat, sementara dalam sebagian riwayat justru ada anjuran untuk memanfaatkannya setelah disamak, dan melarangnya sebelum di samak.

Yang shaḥīḥ dalam masalah ini adalah hadtis Ibnu ‘Abbās, sesungguhnya Nabi s.a.w. bersabda:

إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ.

Jika kulit itu disamak maka ia telah suci.” (1474).

Karena berbedanya atsar-atsar ini, maka para ‘ulamā’ berbeda pula dalam menafsirkannya:

Sebagian ‘ulamā’ memadukannya dengan hadits Ibnu ‘Abbās (mereka membedakan mengenai mengambil manfaat antara yang telah disamak dan yang belum disamak).

Yang lain menempuh jalan naskh, mereka memegang teguh hadits ‘Ukaim karena hadits itu diucapkan setahun sebelum beliau wafat.

Kemudian ada juga yang memperkuat hadits Maimūnah, dan mereka melihat bahwa hadits tersebut mengandung tambahan pada apa yang ada dalam hadits Ibnu ‘Abbās, mereka mengatakan haramnya mengambil manfaat dari kulit sebelum disamak sama sekali tidak menyimpang dari hadits Ibnu ‘Abbās, karena pemanfaatan sama sekali bukan penyucian (maksudnya semua yang suci bisa dimanfaatkan), tetapi bukan berarti sebaliknya, yakni semua yang dapat dimanfaatkan itu suci.

Catatan:

  1. 144). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (2858), at-Tirmidzī (1480), Aḥmad (5/218), ad-Dārimī (2/128), Ibnu al-Jārud dalam al-Muntaqā (876), Ibnu Ja‘d (2952), ad-Dāruquthnī (4/292), al-Baihaqī (1/23) (9/245) semuanya dari hadits Abū Wāqid al-Laitsī dan dinilai shaḥīḥ oleh al-Albānī dalam Shaḥīḥ Abū Dāūd.
  2. 145). Muttafaq ‘alaih. HR. al-Bukhārī (1492, 2221, 5531, 5532), Muslim (363), Abū Dāūd (4120), Ibnu Mājah (3610), dan al-Baihaqī (1/23) dari hadits Ibnu ‘Abbās.
  3. 146). Shaḥīḥ. HR. Abū Dāūd (4127, 4128), at-Tirmidzī (1729), an-Nasā’ī (7/175), dan dalam al-Kubrā (4575, 4576, 4577), Ibnu Mājah (3613), Aḥmad (4/310, 311), ‘Abd-ur-Razzāq (202), ath-Thayālisī (1293), ‘Abdu bin Ḥumaid dalam al-Muntakhab (488), ath-Thabrānī dalam al-Ausath (104, 826) dan dalam ash-Shaghīr (618, 1050), semuanya dari Ḥumaid bin ‘Abd-il-Ḥakīm bin ‘Ukaim.
  4. 147). Shaḥīḥ. HR. Muslim (366), Abū Dāūd (4123), at-Tirmidzī (1728), an-Nasā’ī (7/173), Ibnu Mājah (3609), Aḥmad (1/219, 270, 279, 280, 343), ath-Thayālisī (1/43), ‘Abd-ur-Razzāq (190), al-Ḥumaidī (486), ath-Thabrānī dalam ash-Shaghīr (1/239), dan ad-Dāruquthnī (1/46).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *