4
Lubb (inti hati) adalah gunung yang paling agung dan lapisan yang paling selamat. Ia seperti sumbu yang tidak bergeser dan bergerak. Ia menjadi faktor utama tegaknya agama. Seluruh cahaya kembali kepadanya dan memagari sekitarnya. Cahaya-cahaya tersebut tidak sempurna dan kekuasaannya tidak terwujud kecuali dengan tegaknya lubb. Cahaya tersebut hanya bisa kokoh bila lubb kokoh dan hanya ada bila lubb ada. Ia merupakan sumber cahaya tauhid dan cahaya penyaksian keesaan-Nya. Dengannya, hakikat penghambaan yang murni dan cahaya pengagungan menjadi nyata. Lubb merupakan cahaya yang bersambung, tumbuhan yang tertanam, dan akal yang terbentuk. Ia bukan seperti berbagai bentuk susunan di tubuh yang berada di dalam. Tetapi, ia adalah cahaya yang tersebar seperti sesuatu yang orisinal. Lubb, yang merupakan akal, tertanam di ladang tauḥīd. Tanahnya berupa cahaya pengesaan. Ia disirami dengan air kelembutan yang berasal dari laut pengagungan hingga akar-akarnya terisi cahaya keyakinan. Allah yang mengurus penanamannya dan langsung melakukan lewat kekuasaan-Nya tanpa perantara. Dia menanamnya di surga keridhaan, Selanjutnya, Dia melindungi lautan tersebut dengan pagar perlindungan dan memasangnya di ruang keabadian dan kekekalan-Nya sehingga nyaris sifat binatang dalam nafs berikut syahwat atau kebodohannya tidak bisa mendekat. Demikian pula dengan hewan buas kesesatan, serta binatang lainnya yang menjadi tabiat nafs, seperti kesombongan, kedunguan, dan berbagai penyakitnya. Tuhan adalah pemilik dan pemelihara kebun tersebut – kebun terindah dari semua surga. Sebab, ia kebun īmān. Allah yang mengurus penanaman, pengairan dan pemeliharaannya hingga pohonnya memendarkan cahaya īmān berkat taufik ar-Raḥmān dan lembutnya buah iḥsān. Allah berfirman:
وَ لكِنَّ اللهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الإِيْمَانَ وَ زَيَّنَهُ فِيْ قُلُوْبِكُمْ
“ Akan tetapi, Allah membuat kalian cinta kepada īmān dan menghiaskannya di hati kalian .” (1031)
Berikut ini adalah tafsiran dari kata lubb: ia terdiri atas huruf lām dan bā’. Dimulai dengan huruf lām seperti pada kata luthfi. Kemudian diikuti dengan huruf bā’ yang diberi tasydīd. Tulisannya hanya satu, tetapi dibaca ganda. Jadi, sebenarnya dua: pertama, al-birru (kebajikan) dan kedua, al-baqā’ (keabadian) disertai keberkahan atasnya. Cahaya ini hanya ada karena karunia dari Dzāt yang membuka segala pintu. Pokok-pokok agama yang Allah berikan kepada hamba sebenarnya merupakan karunia Allah tanpa ada sebab. Kemudian Dia menjadikan cabang-cabangnya lewat sebab penghambaan. Mujāhadah hamba terkait dengan bantuan dan petunjuk Tuhan. Mujāhadah tersebut hanya terwujud berkat taufīq dari Allah s.w.t. pada waktunya serta berkat pandangan yang baik sebelum waktunya lewat pengaturan dan penetapan yang tepat sehingga yang menjadi awal segala sesuatu adalah karunia-Nya. Dengan itu, seorang hamba mudah dalam melakukan berbagai kebaikan.
Ketahuilah bahwa lubb hanya diperuntukkan bagi orang-orang berīmān. Yaitu, bagi mereka yang termasuk hamba Allah yang istimewa, yang taat kepada Tuhan dan berpaling dari nafsu dan dunia. Dia pakaikan untuk mereka busana taqwā. Dia jauhkan untuk mereka dari berbagai bencana, serta Allah sebut mereka dengan nama ulil-albāb (mereka yang mempunyai lubb). Allah juga secara khusus mengarahkan pembicaraan untuk mereka, menegur dengan berbagai teguran, serta memuji mereka dalam banyak ayat-Nya. Allah berfirman dalam al-Qur’ān: “Maka, bertaqwālah kalian kepada Allah wahai ulil-albāb” (1042), “Takutah kalian kepada-Ku wahai ulil-albāb” (1053), “Mereka adalah orang-orang yang Allah beri petunjuk. Maka, ikutilah petunjuk mereka.” (1064), “Siapa yang diberi hikmah, berarti ia telah diberi kebaikan yang sangat banyak. Dan yang bisa mengambil pelajaran hanyalah ulil-albāb.” (1075), “Agar mereka mengetahui bahwa Dia adalah Tuhan Yang Esa serta agar para ulil-albāb bisa mengambil pelajaran.” (1086), “Agar mereka merenungkan ayat-ayatNya serta agar para ulil-albāb bisa mengambil pelajaran” (1097). Allah s.w.t. memuji ulil-albāb (mereka yang mempunyai lubb) sekaligus menjelaskan kedudukan dan jiwa mereka di sisi Tuhan serta keutamaan mereka dalam hal pemahaman, pengetahuan, dan kelembutan. Sehingga, orang-orang semacam kita tidak mampu memahami kondisi mereka, karena hanya mereka yang diistimewakan dengan cahaya lubb.
Bagi orang yang mengerti sastra dan pandai di bidang bahasa, yang dimaksud dengan lubb adalah akal. Tetapi, keduanya berbeda ibarat cahaya matahari dan cahaya lampu. Keduanya memang sama-sama cahaya. Ini sangat jelas. Sebab, engkau nyaris tidak menemukan dua orang berakal yang kapasitas akal dan cahaya mereka setara. Tetapi yang satu melebihi yang lain sesuai dengan keistimewaan akalnya. Hal yang sama juga terjadi pada mereka yang Allah beri keistimewaan dengan makrifat, Allah muliakan dengan kelembutan karunia-Nya, serta Allah anugerahi lautan kebajikan yang tidak Allah berikan pada yang lain.
Akal, dalam hal nama, hanya satu. Kemampuannya bisa lebih dan bisa kurang. Ia menjadi pimpinan dan mempunyai cabang. Ia menguat dengan kekuatan pilar-pilarnya dan bertambah dengan pertambahan kekuasaannya. Tingkatan akal yang menghindarkan anak kecil dan orang dewasa dari penyakit gila. Ia memahami apa yang dikatakan padanya. Sebab, ia bisa dicegah, bisa diberi perintah. Dengan akalnya bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, bisa mengetahui antara yang mulia dan yang hina, yang rugi dan yang untung, orang yang jauh dan tetangga, kerabat dan orang asing. Selanjutnya, akal ḥujjah (argumen).
Semakin kita mencinta, semakin kita membuka hati kita. Tindakan tanpa disertai cinta dan niat hati yang tulus tidak begitu berma‘na, atau bahkan sama sekali tak berma‘na.Anshārī.
Yaitu, akal yang dengannya seorang hamba layak menerima pesan Allah. Ketika beranjak dewasa, cahaya akal yang digambarkan sebagai cahaya dukungan menjadi kuat. Ia menguatkan akalnya hingga sampai kepada pesan-pesan Allah. Kemudian akal tajribah (pengalaman). Ia adalah akal yang paling bermanfaat dan paling utama. Sebab, ia menjadi bijaksana dengan berbagai pengalaman yang ada. Ia bisa mengetahui sesama yang belum terjadi dengan petunjuk yang ada sebelumnya. Ini seperti yang Rasūl s.a.w. katakan: “Tidak ada yang bijaksana kecuali orang yang mempunyai pengalaman. Tidak ada yang pemaaf kecuali yang pernah melakukan kesalahan.” (1108) Selanjutnya, akal yang diwariskan. Gambarannya adalah orang dewasa, berakal, bijaksana, pandai, pemaaf, dan berwibawa. Ia diuji dengan anak yang bodoh atau murid yang dungu yang tidak bisa mengambil pelajaran darinya. Lalu, orang tadi meninggal dunia sehingga Allah mewariskan keberkahannya, akalnya, cahayanya, manfaatnya, wibawanya, ketenangannya, dan keistimewaannya kepada orang bodoh tadi. Maka, kondisi orang bodoh itu pun berubah seketika. Ia menjadi berwibawa dan pandai seperti gurunya. Ini bisa dilihat langsung oleh manusia lewat kematian orang pandai dan lewat perubahan kondisi dari si bodoh. Ia mewarisi akal sang guru. Tetapi, di samping itu, ia mendapat keberkahan doanya dan cahaya ‘ilmunya. Allah s.w.t. menganugerahi semua itu lewat karunia dan kemurahan-Nya.
Manfaat dari semua akal di atas mempunyai ukuran masing-masing. Dengannya, manusia bisa bersahabat satu sama lain sekaligus mengambil manfaat darinya. Bisa jadi akal tersebut berhimpun pada orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Misalnya para filosof dan orang bijak yang berasal dari India, Romawi, dan lainnya. Sebab, berbagai tipe akal di atas berfungsi untuk mendukung diri kita dan untuk berinteraksi dengan penduduk dunia. Ada pun akal yang betul-betul bermanfaat adalah akal yang terbentuk lewat cahaya petunjuk Allah s.w.t. Itulah lubb yang baru saja kugambarkan dan kemudian disebut dengan akal. Istilah akal dipergunakan untuk menggambarkan pengetahuan sebagai kiasan. Namun yang dimaksud dengan ulil-albāb adalah para ‘ulama. Orang yang berakal belum tentu ‘ālim, tetapi setiap orang ‘ālim pasti berakal. Allah s.w.t. berfirman: “Ia hanya bisa diketahui oleh orang ‘ālim” (1119).
Akal mempunyai nama lain. Yaitu ḥilm, nuhā, ḥijr, ḥijā. Allah s.w.t. berfirman: “Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda kekuasaan Allah bagi uli-n-nuhā (orang yang berakal)” (11210), “Pada yang demikian itu terdapat sumpah bagi orang yang memiliki ḥijr (akal)” (11311). Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Agar mendekat kepadaku orang yang memiliki ḥilm dan nuhā (akal) di antara kalian. Kemudian orang-orang sesudah mereka.” (11412).
Ada yang berpendapat bahwa akal mengendalikan (ya‘qilu) diri ini agar tidak mengikuti hawa nafsu sebagaimana ‘iqāl menahan binatang di tempat penggembalaannya. Akal merupakan ism (nomina) yang bersifat umum. Allah s.w.t. berfirman:
إِنَّ فِيْ ذلِكَ لآيَةُ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
“Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda kekuasaan Allah bagi mereka yang berakal” (11513).
Yakni, mengetahui perintah, larangan, nasihat, janji, dan ancaman-Nya serta memahami maksud-Nya dalam segala sesuatu dengan menghormati perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Semua ini hanya terwujud dengan kelembutan Allah. Dia mengistimewakannya dengan lubb dan cahaya yang sudah dikenal. Ia pun mengetahui pokok-pokok agama berikut cabang-cabangnya. Tidak semua orang yang pandai dalam pokok-pokok agama pandai pula dalam masalah cabang. Sebab, pemahaman dalam hal hukum-hukum syarī‘at begitu banyak. Seseorang menjadi faqīh (ber‘ilmu) lewat cara mempelajari fiqh. Ia memiliki fiqh dan pengetahuan. Fiqh sering kali menjadi istilah yang menggantikan kata ‘ilmu. Misalnya, Fulan yatafaqqah (belajar dan menuntut ‘ilmu). Sebenarnya, yang dimaksud dengan fiqh adalah fiqh al-qalb (pemahaman hati). Rasūlullāh s.a.w. menuturkan, “Bisa jadi orang yang pandai dalam fiqh tidak mempunyai fiqh (pemahaman)” (11614). Al-Ḥakīm (11715) berkata: “Bukanlah faqīh orang yang tidak menganggap ujian sebagai nikmat dan kesenangan sebagai musibah.” (11816). Sementara menurut al-Ḥasan: “Seorang faqīh adalah orang yang zuhud terhadap dunia, cinta kepada akhirat, melihat pada dosanya, serta senantiasa taat kepada Tuhan.” Di awal tulisan, aku sudah menjelaskan bahwa fiqh (pemahaman) orang yang belajar bertempat di dalam shadr. Cahayanya akan bertambah lewat belajar dan meng‘amalkan. Cahaya pengetahuan dan pemahaman tersebut meluas sehingga dengannya ia bisa mengambil kesimpulan hukum atas berbagai persoalan. Ia bisa menganalogikan apa yang tidak ia ketahui dengan sesuatu yang menyerupainya. Ada pun fiqh (pemahaman) dalam urusan agama merupakan cahaya yang Allah tanamkan di hati hamba-Nya yang berīmān sama seperti lampu untuk melihat. Ia tidak diberikan kepada orang kafir dan munāfiq. Allah s.w.t berfirman: “Akan tetapi orang-orang munafik itu tidak memahami (tidak mempunyai fiqh).” (11917). Sementara seorang faqīh yang hatinya Allah terangi dengan cahaya penglihatan, ia seperti yang dijelaskan oleh Rasūlullāh s.a.w.: “Apabila Allah menginginkan kebaikan untuk hamba-Nya, Dia berikan kepadanya pemahaman dalam urusan agama, Dia perlihatkan padanya aib-aib dirinya, serta Dia perlihatkan padanya penyakit dunia berikut obatnya.” (12018). Siapa yang Allah beri kedua jenis pemahaman tersebut, ia akan menjadi ‘ālim besar dan orang yang sangat pandai.
Penetapan hukum oleh seorang faqīh dalam masalah hukum adalah penetapan hukum atas berbagai persoalan sesuai dengan sunnah dan penegakan syarī‘at. Sementara penetapan hukum seorang faqīh dalam hal ‘ilmu bāthini adalah penetapan hukum atas berbagai lintasan pikiran sesuai dengan hakikat dan penyaksian rubūbiyyah. Perbedaan antara keduanya bertambah jelas dalam penetapan makna bāthiniyyah dan lahiriah atas sebuah ayat yang Allah turunkan. Lahiriah ayat menetapkan sebuah hukum, sementara di balik itu – yakni pada ungkapan bāthiniyyahnya – ada petunjuk dan pengetahuan. Seorang faqīh menetapkan hukum sesuai dengan dalil yang Allah berikan, sementara seorang ḥākim menetapkan hukum sesuai dengan maksud Allah serta menunjuk kepada berbagai petunjuk tersembunyi yang ada, di mana ia bersesuaian dengan tauḥīd dan memberitahukan maksud yang diinginkan oleh-Nya.