Al-Faqīh al-Ḥanafī al-Ashfukī, penulis kitab ad-Durr-ul-Mukhtar, berkata: “Abū ‘Alī ad-Daqqāq berkata: “Aku mengambil tarekat dari Abū Qāsim an-Nash Abadzī, beliau berkata: “Aku mengambil dari asy-Syiblī, beliau dari Sarī as-Saqathī, beliau dari Ma‘rūf al-Karkhī, beliau dari Dāwūd ath-Thā’ī, beliau mengambil ilmu dan tarekat dari Abū Ḥanīfah an-Nu‘mān. Dan semua ‘ulamā’ memuji dan mengakui keutamaan beliau.” (91).
Imām Aḥmad bin Ḥanbal pada mulanya pernah berpesan kepada putranya agar belajar ilmu hadits dan menjauhi para shūfī. Menurut beliau, golongan shūfī adalah orang-orang yang minim pengetahuan hukum syarī‘at Allah. Namun setelah beliau tertemu tokoh shūfī, Abū Ḥamzah al-Baghdādī, dan memahami pola pikir dan prilakunya, beliau berubah pikiran dan kembali berpesan kepada putranya:
يَا وَلَدِيْ عَلَيْكَ بِمُجَالَسَةِ هؤُلَاءِ الْقَوْمِ، فَإِنَّهُمْ زَادُوْا عَلَيْنَا بِكَثْرَةِ الْعِلْم وَ الْمُرَاقَبَةِ وَ الْخَشْيَةِ وَ الزُّهْدِ وَ عُلُوِّ الْهِمَّةِ.
“Wahai putraku, bersamalah selalu dengan para shūfī itu. Karena sesungguhnya mereka melebihi kita dengan banyaknya ilmu, muraqabah, takut kepada Allah, zuhud dan luhurnya cita-cita.”
Menurut riwayat lain, tatkala Imām Aḥmad tidak bisa menjawab suatu masalah, beliau selalu bertanya kepada Syaikh Abū Ḥamzah al-Baghdādī. Misalnya bentuk pertanyaan: “Wahai Shūfī, apa jawaban anda tentang masalah ini?”. Dan ketika Syaikh Abū Ḥamzah menjawabnya, Imām Aḥmad pun mengambil jawaban tersebut. (102).
Imām Tāj-ud-Dīn as-Subkī, murid al-Ḥāfizh adz-Dzahabī, pernah berkata: “Kesimpulannya, para shūfī adalah keluarga Allah dan orang-orang pilihan-Nya yang diharapkan turun rahmat dengan menyebut mereka dan turun hujan dengan doanya. Semoga Allah meridhai mereka dan juga kami lantaran mereka.” (113).
Imām Abū Isḥāq Ibrāhīm asy-Syāthibī, penulis kitab al-Muwāfaqāt dan al-I‘tishām, berkata: “Sungguh banyak orang bodoh yang meyakini jika para shūfī menganggap remeh ittibā‘ dan mengikuti sesuatu yang dalam syarī‘at tidak ditetapkan. Aduhai sangat tidak mungkin mereka meyakini atau mengucapkan seperti itu. Pertama kali yang mereka lakukan dalam membangun jalannya adalah mengikuti as-Sunnah dan menjauhi apa yang menyelisihinya.” (124) Beliau juga pernah bertanya tentang hukum bertarekat kepada Ibnu ‘Abbād ar-Randī. Hal itu menunjukkan jika beliau bukan ‘ulamā’ antipati ajaran tashawwuf.
Imām Ibnu Taimiyyah dalam al-Fatawa (juz 11 hal. 18), berkata: “Yang benar, mereka (para shūfī) adalah orang yang taat pada Allah sama seperti orang-orang selain mereka yang juga taat kepada Allah”
Beliau juga memuji shūfī seperti Fudhail bin ‘Iyādh, Ibrāhīm bin Adham, Abū Sualaimān ad-Dāranī, Ma‘rūf al-Karkhī, Sarī as-Saqathī, Junaid al-Baghdādī, ‘Abd-ul-Qādir al-Jilānī, Syaikh Ḥammād, Abū Bayān, dan lain-lain. (135).
*Missing: (146).
Al-Ḥāfizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Madārij-us-Sālikīn juz 2 hal. 177 juga memberikan apresiasi yang sama seperti Ibnu Taimiyyah di atas, dan berkata: “Semua komentator dalam bidang ilmu telah menyepakati bahwa tashawwuf adalah akhlāq, dan semua ajaran shūfī berpusar pada satu titik yaitu melakukan kebaikan dan sabar terhadap prilaku buruk orang lain.”
Imām Junaid al-Baghdādī, seorang yang disepakati keilmuan dan keutamaannya, berkata: “Andai aku tahu di bawah langit ada ilmu yang lebih mulia dibandingkan ilmu ini (ilmu tashawwuf) yang sedang kami bicarakan bersama dengan sahabat-sahabat kami, niscaya aku akan mendatanginya (untuk mencari).”
Imām Ibnu Khaldūn dalam al-Muqaddimah berkata: “Ilmu ini (tashawwuf) adalah termasuk ilmu syarī‘at yang baru dalam agama. Pondasinya adalah bahwa jalan mereka yang merupakan jalan para salaf-ul-ummah, baik dari sahabat dan tābi‘īn agung dan orang-orang setelahnya adalah jalan yang ḥaqq dan hidāyah.” (157).
Imām yang bergelar Sulthān ‘Ulamā’, ‘Izz-ud-Dīn bin ‘Abd-is-Salām, dalam kitabnya, ar-Ri‘āyah, berkata: “Semua manusia duduk di garis bekas (rusum) syarī‘at, sedangkan para shūfī duduk di tiang-tiang syarī‘at. Hal itu dikuatkan dengan karāmah dan hal-hal luar biasa yang muncul dari mereka. Dan hal itu tidak pernah muncul dari seorang ‘ālim meskipun ilmunya sangat tinggi, kecuali mereka mau mengambil jalan ajaran bersama dengan para shūfī.” (168).
Sebelum memasuki dunia shūfī, Imām ‘Izz-ud-Dīn pernah mengingkari ajaran tashawwuf. Beliau berkata: “Barang siapa mempunyai persepsi bahwa ada batin (intisari) syarī‘at selain yang kami pelajari, maka itu adalah persepsi batil yang mendekati zindiq.” Namun, setelah beliau bertemu dengan Syaikh Abul-Ḥasan asy-Syādzilī di Mesir dan mengambil ilmu darinya, beliau sangat memuji ajaran shūfī. Kemudian mengatakan bahwa ajaran tashawwuf adalah ajaran yang menghimpun akhlāq para rasūl. (179).
Muḥammad ‘Abduh, tokoh pembaharu pujaan warga Muḥammadiyyah berkata: “Tidak ada umat yang dalam ilmu akhlāq dan pembersihan jiwanya menyerupai para shūfī. Muḥammad Rasyīd Ridhā, muridnya, berbicara tentang gurunya di atas, bahwa beliau adalah seorang shūfī yang bersih. (1810).
Dan masih banyak lagi berbagai komentar yang sangat apresiatif dari berbagai kalangan ‘ulamā’ yang tidak mungkin kami sebutkan semua di sini. Tetapi jika anda adalah orang yang mendapatkan hidāyah dan taufīq dari Allah, kutipan di atas sudah lebih dari cukup sebagai pencerahan dan peringatan supaya mulut kita tidak sembrono menuduh ajaran shūfī sebagai ajaran yang keluar dari syarī‘at Islam. Selanjutnya, masihkah tashawwuf dianggap sebagai ilmu atau ajaran yang sesat dan menyeramkan sehingga harus dijauhi sejauh-jauhnya dan dihapus dari percaturan syarī‘at Islam?