Kisah Nabi Idris a.s. – Kisah-kisah Para Nabi – Imam Ibnu Katsir

قَصَصُ الْأَنْبِيَاءِ
Judul Asli:
QASHASH-UL-ANBIYĀ’

Penulis:
Imam Ibnu Katsir.

Judul Terjemahan:
KISAH-KISAH PARA NABI

Penerjemah: Muhammad Zaini, Lc.
Penerbit: Insan Kamil Solo.

2

KISAH NABI IDRĪS a.s.

 

وَ اذْكُرْ فِي الْكِتَابِ إِدْرِيْسَ إِنَّهُ كَانَ صِدِّيْقًا نَّبِيًّا. وَ رَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا

Dan ceritakanlah (Muḥammad) kisah Idrīs di dalam Kitāb (al-Qur’ān). Sesungguhnya dia seorang yang sangat mencintai kebenaran dan seorang Nabi, dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS. Maryam [19]: 56-57).

Allah ‘azza wa jalla memuji Idrīs a.s. dan mensifatinya dengan seorang Nabi, dan yang suka berkata jujur. Dia adalah Khanūkh. Dia adalah silsilah teratas (tiang utama – عمود) dari garis nasab Rasūlullāh s.a.w., sebagaimana yang disebutkan oleh banyak ulama. Idrīs merupakan bani Ādam pertama yang mendapat karunia kenabian setelah Ādam dan Syīts a.s.

Ibnu Isḥāq mengatakan bahwa dia (Idrīs) adalah orang pertama yang mengenalkan tulis menulis menggunakan pena. Dia hidup bersama Adam selama 308 tahun. (11) Sebagian orang mengatakan bahwa hal itu sebagaimana ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan dari Mu‘āwiyah bin Ḥakam as-Sulamī, ketika dia bertanya kepada Rasūlullāh s.a.w. tentang tulis-menulis menggunakan media pasir. Beliau menjawab:

إِنَّهُ كَانَ نَبِىٌّ يَخُطُّ بِهِ فَمَنْ وَافَقَ خَطَّهُ فَذَاكَ

Dia (Idrīs) adalah seorang Nabi yang (pandai) menulis. Siapa saja yang sesuai dengan (syariat) yang dia tulis, maka seperti itulah (yang benar).” (22).

Mayoritas ulama tafsir dan ahli hukum berpendapat bahwa dia (Idrīs) adalah orang yang pertama kali memperbincangkan masalah tulis-menulis. Dia dikenal dengan sebutan: (هرمس الهرامسة) “Raut datar yang ahli perbintangan.” Namun banyak orang yang mendustakan keahlian yang dimilikinya, sebagaimana mereka mendustakan para Nabi yang lain, ulama’, ahli hikmah, dan para wali.

Allah ‘azza wa jalla berfirman: “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi.” (QS. Maryam [19]: 57). Serupa dengan yang disebutkan di dalam Shaḥīḥain, terkait hadits tentang Isrā’ dan Mi‘rāj Rasūlullāh s.a.w., bahwasanya beliau melewati Idrīs di lapisan langit ke empat.

Ibnu Jarīr (33) meriwayatkan sebuah hadits dari Yūnus, dari ‘Abd-ul-A‘lā, dari Ibnu Wahab, dari Jarīr bin Ḥāzim, dari al-A‘masy, dari Syamr bin ‘Athiyyah, dari Hilāl bin Yūsuf dia menuturkan: Suatu ketika Ibnu ‘Abbās pernah bertanya kepada Ka‘ab, sementara aku berada di samping mereka: “Apakah yang dimaksud dengan firman Allah: “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi?” Ka‘ab menjawab: “Mengenai Idrīs, sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu kepadanya berupa: “Sesungguhnya setiap hari Aku akan mengangkat amalmu, setara dengan seluruh anak keturunan Ādam – nampaknya dia termasuk orang yang hidup di zamannya – sehingga dia senang menambah amalnya.” Kemudian datanglah seorang malaikat kepadanya, lalu Idrīs berkata: “Sesungguhnya Allah telah menurunkan wahyu kepadaku berupa ini dan itu. Maka sampaikanlah kepada malaikat maut agar dia menunda ajalku, sehingga aku bisa menambah amalku.” Lalu malaikat itu pun meletakkan Idrīs di antara kedua sayapnya dan membawanya ke langit. Ketika dia sampai di langit ke empat, mereka menjumpai malaikat maut sedang turun, lalu malaikat itu menyampaikan pesan Idrīs kepada malaikat maut. Malaikat maut bertanya: “Lantas, di mana Idrīs sekarang?” Dia menjawab: “Dia berada di atas punggungku.” Malaikat maut berkata: “Sungguh menakjubkan; sesungguhnya engkaulah yang diutus, namun dikatakan kepadaku: “Cabutlah nyawa Idrīs di langit ke empat.” Sehingga aku katakan: “Bagaimana mungkin aku mencabut ruhnya di langit ke empat, sementara dia berada di bumi?!” Lalu malaikat maut pun mencabut nyawa Idris di langit ke empat. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah ‘azza wa jalla: “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi”.”

Ibnu Abī Ḥātim (44) meriwayatkan tafsir ayat tersebut, dia berkata: “Idrīs berkata kepada malaikat tersebut: “Tanyakanlah kepada malaikat maut, berapa sisa umurku?” Malaikat itupun bertanya kepada malaikat maut: “Berapa sisa umur Idrīs?” Malaikat maut menjawab: “Saya tidak tahu. Coba nanti saya lihat.” Lalu malaikat maut berkata: “Sesungguhnya engkau bertanya kepadaku tentang umur seseorang (Idrīs). Ketahuilah, bahwa umurnya tinggal beberapa saat.” Kemudian malaikat itu melihat ke bawah sayapnya (Idrīs berada di bawah sayap malaikat tersebut), dan ternyata nyawa Idrīs telah dicabut oleh malaikat maut sementara malaikat tersebut tidak menyadarinya.” Namun keterangan ini termasuk bagian dari Isra’iliyat, dan sebagiannya mengandung kemungkaran.

Sedangkan Ibnu Abī Nājiḥ meriwayatkan dari Mujāhid tentang firman Allah: “dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi”, dia berkata: “Sesunggunya Idris diangkat ke langit dan dia belum meninggal dunia, sebagaimana ‘Īsā diangkat ke langit.” (55) Jika dia mengatakan bahwa Idrīs sampai saat ini belum meninggal, maka pendapatnya perlu dikaji ulang. Namun jika dia mengatakan bahwa Idrīs diangkat ke langit dalam keadaan hidup, kemudian nyawanya dicabut di sana, maka pendapat tersebut tidak bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh Ka‘ab al-Aḥbar di atas. Wallāhu a‘lam.

Al-‘Aufī meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbās tentang firman Allah: “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi,” dia berkata: “Sesungguhnya Idrīs diangkat ke langit ke enam, kemudian dia meninggal di sana.” (66) Demikian juga pendapat adh-Dhaḥḥāk. Namun, hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhārī dan Muslim yang menyebutkan bahwa Idrīs berada di langit keempat itu lebih shaḥīḥ, sebagaimana yang diungkapkan oleh Mujāhid dan para ulama yang lainnya.

Al-Ḥasan al-Bashrī berkata tentang firman Allah: “Dan Kami telah mengangkatnya ke martabat yang tinggi,” dia berkata: “(Yakni) diangkat ke surga.” Orang-orang berkata: “Sungguh, Idrīs diangkat ketika bapaknya (Yard bin Mahlāyīl) masih hidup.” Wallāhu a‘lam. Sebagian mereka juga menganggap bahwa Idrīs tidak hidup sebelum Nūḥ, namun dia hidup di masa Bani Isrā’īl.

Al-Bukhārī menuturkan: (77) Diriwayatkan dari Ibnu Mas‘ūd dan Ibnu ‘Abbās bahwa Ilyās itu adalah Idrīs. Mereka sepakat dengan hal itu, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits az-Zuhrī yang diriwayatkan dari Anas tentang Isrā’ Nabi Muḥammad s.a.w. Bahwasanya, ketika Nabi s.a.w. melewati Idrīs dia berkata kepada beliau: “Selamat datang saudara yang shalih dan Nabi yang shalih.” Dan dia tidak mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Ādam dan Ibrāhīm, yakni: “Selamat datang wahai Nabi yang shalih dan anak yang shalih.” Mereka berkata: “Seandainya Idrīs merupakan silsilah nasab tertinggi beliau, niscaya dia akan mengatakan kepadanya sebagaimana yang dikatakan oleh Ādam dan Ibrāhīm. Dan semestinya hal itu harus demikian; karena terkadang hafalan seorang perawi kurang naik, atau barangkali dia mengatakan hal itu sebagai bentuk ketawadhu‘an, namun tidak memposisikannya sebagai bapak, sebagaimana Ādam yang mendapat julukan bapak manusia, dan Ibrāhīm sebagai Khalīl-ur-Raḥmān (kekasih Allah) dan Rasūl Ulul-Azmi yang paling utama setelah Rasūlullāh Muḥammad s.a.w. Semoga shalawat dan salam Allah senantiasa terlimpahkan kepada mereka semua.

Catatan:

  1. 1). Diriwayatkan oleh ath-Thabarī di dalam Tafsīrnya (1/171).
  2. 2). HR. Muslim (537).
  3. 3). Tafsīr-uth-Thabarī (16/96).
  4. 4). Ibnu Abī Ḥātim – sebagaimana yang disebutkan di dalam Tafsīr-ul-Mushannaf (5/236), dan ad-Durr-ul-Mantsūr (4/274).
  5. 5). Tafsīru Mujāhid (1/387), Tafsīr-uth-Thabarī (16/96-97), dan di dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (4/274) as-Suyūthī menisbatkannya kepada Ibnu Abī Syaibah, ‘Abdun bin Ḥumaid, Ibnu-ul-Mundzir, dan Ibnu Abī Ḥātim.
  6. 6). Di dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (4/274) as-Suyūthī menisbatkannya kepada Ibnu Abī Ḥātim, dan Ibnu Mardawaih.
  7. 7). Fatḥ-ul-Bārī (6/373).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *