Kisah Kedua Putra Adam a.s.; Qabil dan Habil – Kisah-kisah Para Nabi – Imam Ibnu Katsir (3/3)

قَصَصُ الْأَنْبِيَاءِ
Judul Asli:
QASHASH-UL-ANBIYĀ’

Penulis:
Imam Ibnu Katsir.

Judul Terjemahan:
KISAH-KISAH PARA NABI

Penerjemah: Muhammad Zaini, Lc.
Penerbit: Insan Kamil Solo.

Rangkaian Pos: 1 Kisah Nabi Adam a.s. - Kisah-kisah Para Nabi - Imam Ibnu Katsir

Allah berfirman:

هُوَ الَّذِيْ خَلَقَكُمْ مِّنْ نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَ جَعَلَ مِنْهَا زَوْجَهَا لِيَسْكُنَ إِلَيْهَا فَلَمَّا تَغَشَّاهَا حَمَلَتْ حَمْلًا خَفِيْفًا فَمَرَّتْ بِهِ فَلَمَّا أَثْقَلَتْ دَّعَوَا اللهَ رَبَّهُمَا لَئِنْ آتَيْتَنَا صَالِحًا لَّنَكُوْنَنَّ مِنَ الشَّاكِرِيْنَ. فَلَمَّا آتَاهُمَا صَالِحًا جَعَلَا لَهُ شُرَكَاءَ فِيْمَا آتَاهُمَا فَتَعَالَى اللهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ

Dia-lah yang menciptakan kamu dari jiwa yang satu (Ādam) dan daripadanya Dia menciptakan pasangannya, agar dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, (istrinya) mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah dia merasa ringan (beberapa waktu). Kemudian ketika dia merasa berat, keduanya (suami-istri) bermohon kepada Allah; Rabb mereka (seraya berkata): “Jika Engkau memberi kami anak yang shalih, tentulah kami akan selalu bersyukur.” Maka setelah Dia memberi keduanya seorang anak yang shalih, mereka menjadikan sekutu bagi Alah terhadap anak yang telah dianugerahkan-Nya itu. Maka Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. al-A‘rāf [7]: 189-190).

Hal ini merupakan bentuk peringatan yang pertama kali ditujukan kepada Ādam, dan setelah itu kepada anak keturunannya. Ayat di atas tidak hanya terbatas kepada Ādam dan Ḥawwā’, karena ketika disebut seseorang, maka itu berlaku untuk semuanya, sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla:

وَ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ مِنْ سُلَالَةٍ مِّنْ طِيْنٍ. ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِيْ قَرَارٍ مَّكِيْنٍ

Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami menjadikannya air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim).” (QS. al-Mu’minūn [23]: 12-13).

وَ لَقَدْ زَيَّنَّا السَّمَاءَ الدُّنْيَا بِمَصَابِيْحَ وَ جَعَلْنَاهَا رُجُوْمًا لِّلشَّيَاطِيْنِ وَ أَعْتَدْنَا لَهُمْ عَذَابَ السَّعِيْرِ

Dan sungguh, telah Kami hiasi langit yang dekat, dengan bintang-bintang dan Kami jadikannya (bintang-bintang itu) sebagai alat-alat pelempar syaithan, dan Kami sediakan bagi mereka adzab neraka yang menyala-nyala.” (QS. al-Mulk [67]: 5).

Sebagaimana diketahui, bahwa alat pelempar syaithan itu bukanlah bintang-bintang yang ada di langit itu sendiri, namun maknanya meluas menjadi jenisnya.

Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Imām Aḥmad yang berbunyi: (1541) Telah bercerita kepada kami ‘Abd-ush-Shamad, telah bercerita kepada kami ‘Umar bin Ibrāhīm, telah bercerita kepada kami Qatādah, dari al-Ḥasan, dari Samurah, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda: “Ketika Ḥawwā’ mengandung, Iblīs mengelilinginya hingga tak seorang pun anaknya yang terlahir dalam keadaan hidup. Iblīs lalu berkata: “Namakanlah anakmu ‘Abd-ul-Ḥārits, niscaya dia akan hidup.” Dia pun menamakannya ‘Abd-ul-Ḥārits, kemudian bayi yang terlahir hidup. Padahal, itu merupakan bagian dari bisikan dan perintah syaithan.”

Demikian juga yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzī, Ibnu Jarīr, Ibnu Abī Ḥātim dan Ibnu Mardawaih di dalam tafsir mereka, ketika menafsirkan ayat yang terdapat di dalam surat al-A‘rāf tersebut. Dan al-Ḥākim di dalam Mustadrak-nya meriwayatkan hadits tersebut dari ‘Abd-ush-Shamad bin ‘Abd-il-Wārits. (1552) al-Ḥākim berkata: “Sanad hadits tersebut shaḥīḥ, meskipun al-Bukhārī dan Muslim tidak meriwayatkannya.” At-Tirmidzī berkata: “Hadits tersebut ḥasan gharīb. Kami tidak mengetahuinya sebagai hadits marfū‘, kecuali dari jalur ‘Umar bin Ibrāhīm.” Dan sebagian yang lain meriwayatkannya dari ‘Abd-ush-Shamad, namun at-Tirmidzī tidak mengenalnya.

Hal ini merupakan sebuah cacat dalam suatu hadits, bahwasanya hadits tersebut mauqūf kepada shahabat, seperti hadits ini. Sebenarnya, hadits tersebut merupakan keterangan yang diambil dari Isra’iliyyat. Demikianlah sebagaimana yang diriwayatkan secara mauqūf dari Ibnu ‘Abbās. (1563). Sebenarnya, keterangan tersebut diriwayatkan dari Ka‘ab al-Aḥbār dan sahabat-sahabatnya. Wallāhu a‘lam.

*Missing (1574)

Juga, perlu diketahui bahwasanya Allah ‘azza wa jalla menciptakan Ādam dan Ḥawwā’ agar menjadi bapak dan ibu seluruh manusia. Dan dari keduanyalah Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Lantas, bagaimana mungkin anak-anak Ḥawwā’ tidak ada yang hidup sebagaimana yang disebutkan dalam hadits, jika memang hal itu benar-benar hadits?! Jika benar itu hadits, maka merupakan sebuah kesalahan yang sangat fatal jika dikatakan sebagai hadits marfū‘ kepada Nabi s.a.w. Akan tetapi, yang benar adalah hadits mauqūf. Wallāhu ta‘ālā a‘lam. Hal ini telah kami jelaskan di dalam kitab tafsir yang kami tulis. Sesungguhnya segala puji hanyalah milik Allah semata. (1585).

Perlu diketahui juga bahwa Ādam dan Ḥawwā’ adalah orang yang paling bertaqwa kepada Allah, karena Ādam adalah bapak seluruh umat manusia yang Allah ciptakan dengan tangan-Nya sendiri, meniupkan ruh kepadanya, memerintahkan para malaikat untuk sujud kepadanya, mengajarkan seluruh nama-nama kepadanya, dan memerintahkan kepadanya agar tinggal di dalam surga-Nya.

Ibnu Ḥibbān di dalam Shaḥīḥ-nya (1596) meriwayatkan sebuah hadits dari Abū Dzarr, dia berkata: Saya (Abū Dzarr) bertanya: “Wahai Rasūlullāh, berapa jumlah para Nabi?” Beliau menjawab: “Seratus dua puluh empat ribu (124,000).” Saya bertanya lagi: “Di antara mereka, berapa jumlah para Rasūl?” Beliau menjawab: “Tiga ratus tiga belas (313) orang.” Saya bertanya lagi: “Siapakah yang paling utama di antara mereka?” Beliau menjawab: “Ādam.” Saya bertanya lagi: “Apakah dia seorang Nabi dan Rasūl?” Beliau menjawab: “Ya. Allah telah menciptakannya dengan tangan-Nya Sendiri, meniupkan ruh kepadanya, kemudian Allah menempatkannya di sisi-Nya.”

Ath-Thabrānī (1607) berkata: Telah bercerita kepada kami Ibrāhīm bin Nailah al-Ashbahānī, telah bercerita kepada kami Syaibān bin Farūkh, telah bercerita kepada kami Nāfi‘ bin Hurmuz, dari ‘Athā’ bin Abī Rabbah, dari Ibnu ‘Abbās dia berkata, Rasūlulllāh s.a.w. bersabda: “Maukah aku kabarkan kepada kalian malaikat yang paling utama? Dia adalah Jibrīl. Nabi yang paling utama adalah Ādam, hari yang paling utama adalah hari Jum‘at, bulan yang paling utama adalah bulan Ramadhān, malam yang paling utama adalah malam Lailat-ul-Qadar, dan wanita yang paling utama adalah Maryam binti ‘Imrān.” Sanad hadits ini dha‘īf, karena Nāfi‘ adalah Abū Hurmuz. Ibnu Mu‘īn mengatakan bahwa dia adalah seorang pendusta. Sedangkan Aḥmad, Abū Zur‘ah, Abū Ḥātim, Ibnu Ḥibbān, dan yang lainnya mengatakan bahwa dia adalah dha‘īf. Wallāhu a‘lam.

Ka‘ab-ul-Aḥbār berkata: “Di dalam surga tidak ada orang berjenggot, kecuali Ādam. Jenggotnya berwarna hitam, dan panjang hingga pusarnya. Dan di dalam surga tidak ada orang yang memiliki kunyah (nama panggilan), selain Ādam. Ketika di dunia dia dipanggil Abul-Basyar (moyangnya bangsa manusia), dan di surga dia dipanggil Abū Muḥammad.” (1618).

Ibnu ‘Adī meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Syaikh bin Abī Khālid, dari Ḥammād bin Salamah, dari ‘Amru bin Dīnār, dari Jabir bin ‘Abdillāh secara marfū‘: “Seluruh penghuni surga saling memanggil dengan nama mereka sendiri, kecuali Ādam. Sesungguhnya dia dipanggil dengan nama Abū Muḥammad.” (1629).

Ibnu ‘Adī (16310) juga meriwayatkan hadits dari ‘Alī bin Abī Thālib, namun hadits tersebut dha‘īf dari segala sudut pandangnya. Wallāhu a‘lam.

Hadits terkait Isrā’ yang termaktub di dalam Shaḥīḥ-ul-Bukhārī dan Muslim (16411) menyebutkan: Tatkala Rasūlullāh s.a.w. melewati Nabi Ādam a.s. yang berada di langit dunia, Ādam berkata: “Selamat datang wahai anak yang shalih dan Nabi yang shalih.” Perawi berkata: Di sebelah kanan Nabi Ādam ada sekelompok manusia dan begitu juga di sebelah kirinya. Ketika melihat ke arah kanan, Ādam tersenyum. Namun ketika menoleh ke arah kiri, dia menangis. Rasūlullāh s.a.w. bertanya kepada Jibrīl: “Wahai Jibrīl, siapakah mereka?” Jibrīl menjawab: “Ini adalah Ādam, dan orang-orang itu adalah anak keturunannya. Setiap kali Ādam menoleh kepada orang-orang yang berada di sebelah kanannya – mereka adalah penghuni surga – , dia tersenyum. Dan jika dia menoleh ke arah orang-orang yang berada di sebelah kirinya – mereka adalah penghuni neraka – , maka dia menangis. Demikianlah makna hadits tersebut.

Abū Bakar al-Bazzār menuturkan Muḥammad bin al-Mutsannā telah bercerita kepada kami, telah bercerita kepada kami Yazīd bin Hārūn, telah mengabarkan kepada kami Hisyām bin Ḥassan, dari al-Ḥasan, dia1 berkata: “Sesungguhnya akal (pikiran) Ādam setara dengan akal seluruh anak keturunannya.” (16512).

Terkait sabda Rasūlullāh s.a.w.: “Ketika saya melewati Yūsuf a.s., ternyata dia telah dikarunia separuh ketampanan.” (16613) Sebagian ulama’ berkata: “Artinya, sesungguhnya Yūsuf a.s. telah dikarunia oleh Allah separuh dari ketampanan yang dimiliki oleh Ādam. Hal ini sangat tepat sekali, karena Allah yang menciptakan Ādam, membentuknya dengan tangan-Nya yang mulia dan meniupkan ruh kepadanya. Maka, apa yang diciptakan-Nya, pastilah yang terbaik.”

Kami juga meriwayatkan hadits dari ‘Abdullāh bin ‘Umar dan Ibnu ‘Amru secara mauqūf dan marfū‘: Sesungguhnya, ketika Allah menciptakan surga para malaikat berkata: “Wahai Rabb kami, jadikanlah surga itu buat kami, karena Engkau telah menciptakan dunia bagi anak keturunan Ādam, sehingga mereka bisa makan dan minum di sana.” Lalu Allah berfirman: “Demi kemuliaan dan keagungan-Ku, sesungguhnya Aku tidak menjadikan keshalihan anak keturunan makhluk yang telah Aku ciptakan dengan tangan-Ku sendiri, seperti sosok yang ketika Aku berkata kepadanya: “Jadi, maka jadilah dia.” (16714).

Dan di dalam sebuah hadits yang disebutkan di dalam Shaḥīḥain (16815) dan yang lainnya dari banyak jalur disebutkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menciptakan Ādam dengan segala ciri-Nya.”

Dan di dalam selain kitab Shaḥīḥ-ul-Bukhārī dan Muslim disebutkan, bahwa sesungguhnya Allah telah menciptakan Ādam seperti wajah Allah ‘azza wa jalla. (16916) Para ulama’ telah membicarakan hadits ini, dan mereka menyebutkan beberapa sikap mengenai hadits ini, namun kita tidak perlu menjabarkannya di sini. Wallāhu a‘lam.

Catatan:

  1. 154). HR. Aḥmad (5/11).
  2. 155). HR. at-Tirmidzī (3077), ath-Thabarī (9/146), Ibnu Abī Ḥātim (8637), al-Ḥākim (2/545), Ibnu Mardawaih – sebagaimana yang disebutkan di dalam Tafsīr-ul-Mushannaf (3/529), dan ad-Durr-ul-Mantsūr (3/151). Namun hadits tersebut di-dha‘īf-kan oleh al-Albānī di dalam Silsilatu Ḥadītsi Dha‘īf (342).
  3. 156). Diriwayatkan oleh Sa‘īd bin Manshūr (973 – tafsīr), ath-Thabarī di dalam Tafsīrnya (9/146), dan Ibnu Abī Ḥātim di dalam Tafsīrnya (8654).
  4. 157). Diriwayatkan oleh ath-Thabarī di dalam Tafsīrnya (9/148), dan di dalam ad-Durr-ul-Mantsūr (3/152). As-Suyūthī menisbatkannya kepada Ibnu Syaikh.
  5. 158). Lihat Tafsīr-ul-Mushannaf (3/527-431).
  6. 159). HR. Ibnu Ḥibbān (361).
  7. 160). Ath-Thabrānī di dalam al-Kabīr (11361), al-Albānī mengatakan hadits ini maudhū‘ (palsu) sebagaimana yang disebutkan di dalam Silsilatu Ḥadītsi Dha‘īf (446).
  8. 161). Tārīkh Dimasq (7/389).
  9. 162). Ibnu ‘Adī (4/1368).
  10. 163). Ibnu ‘Adī (6/2303).
  11. 164). HR. al-Bukhārī (349, 3342), Muslim (162).
  12. 165). Diriwayatkan oleh Abusy-Syaikh di dalam al-‘Azhamah (1032), dan Ibnu ‘Asākir (7/444) dari jalur Yazīd.
  13. 166). HR. Muslim (162).
  14. 167). Diriwayatkan oleh Ibnu Jauzī di dalam al-‘Ilal-ul-Mutanahiyah (32) dari hadits Ibnu ‘Umar secara mauqūf, dan ad-Dārimī di dalam ar-Raddu ‘alal-Muraisi hal. 36 dari hadits Ibnu ‘Amru secara marfū‘.
  15. 168). HR. al-Bukhārī (3326, 6227), Muslim (2841) dari hadits Abū Hurairah.
  16. 169). Disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah oleh Ibnu Abī ‘Āshim (521), dan Ibnu Khuzaimah di dalam at-Tauḥīd (41), serta ath-Thabrānī di dalam al-Kabīr (12/430), namun hadits tersebut di-dha‘īf-kan oleh al-Albānī di dalam as-Sunnah karya Ibnu Abī ‘Āshim (517).